BLANTERORBITv102

    MEMANTASKAN DIRI: SURAH AL-BAQARAH AYAT 286

    Sabtu, 03 April 2021

    Penulis: Muhammad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata-Gowa, 04-04-2021

    Pendahuluan

    Tugas manusia terhadap dirinya yaitu mengembangkan dan meningkatkan kapasitas diri serta berharap hanya kepada Allah. Kapasitas adalah kemampuan individu, organisasi atau unit-unit organisasi untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Kapasitas juga dapat diartikan dalam konteks sistem dimana suatu entitas bekerja untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan proses dan aturan-aturan baku tertentu.” (UNDP, 1998). 

    Dalam konteks individu, seorang mahasiswa misalnya, ia belajar atau menempuh proses pendidikan untuk mengubah impiannya menjadi kenyataan. Apabila kapasitas dan kemampuannya baik, lalu ia meraih impiannya maka orang-orang akan berkata, itu wajar, pantas. Karena kapasitas dirinya yang baik maka ia layak mendapatkan hal itu dan berharap hanya kepada Allah. 

    Dengan mengembangkan dan meningkatkan kapasitas diri, berarti seseorang sedangkan berikhtiar dan berproses untuk memantaskan diri menyambut impiannya. Semakin tinggi tingkat kapasitas diri seseorang semakin memungkinkan untuk meraih prestasi yang pantas untuknya. Allah pun memberi beban sesuai kemampuan dan kepatutan. Memberi pahala sesuai ikhtiarnya dan menyiksanya sesuai perbuatan buruknya.

    Makna Memantaskan Diri

    Kata kunci untuk memahami istilah ini adalah kata 'pantas'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Arti kata pantas menurut KBBI, Pantas berarti: 1) patut; layak, contoh: 'ia memang sudah pantas menjadi juara, permainannya mengagumkan'. 2) sesuai; sepadan, contoh: 'ia pantas menjadi pemain voli karena tubuhnya tinggi dan kekar'. 3) kena benar; cocok, contoh: 'gadis itu pantas mengenakan kebaya merah itu'. 4) tidak mengherankan, contoh: 'pantas anak itu tidak naik kelas, ternyata dia malas'. 5) tampak elok (bagus, cantik, tampan), contoh: 'orang.

    Jadi, memantaskan diri berarti memperelok diri dengan pakaian yang bagus-bagus, atau membenahi diri dengan memaksimalkan kemampuan sehingga layak mendapatkan sesuatu yang sepadan. 

    Dalam bahasa Bugis, "pantas" disebut sitinaja. Bersikap berdasarkan asas kepatutan itu disebut mappasitinaja. Memantaskan diri berarti berikhtiar memiliki standar diri untuk mendapatkan sesuatu. Kalau seseorang memperoleh sesuatu yang tidak sepadan dengan ikhtiarnya disebut dalam bahasa Bugis "de' nasitinaja resona appoleangengna". 

    Memantaskan diri merupakan sebuah proses panjang yang membutuhkan kerja keras dan banyak pembuktian di dalamnya. Orang-orang yang "memantaskan diri" akan mempunyai karakter yang kuat dan jiwa yang tangguh, ini dikarenakan proses pembentukan yang dijalani melalui hambatan, tantangan serta kegagalan-kegagalan selama perjalanan kehidupannya. 

    Orang yang bekerja dan berikhtiar memantaskan diri akan lebih fokus pada pengembangan potensi dirinya. Ia fokus membenahi diri sehingga layak jika ia mendapatkan sesuatu. Inilah sikap lurus atau adil. Sebab adil adalah sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, memantask nian diri adalah sikap jujur dan adil pada diri sendiri.

    Sebaliknya orang yang memperoleh sesuatu dengan cara yang instan atau menempuh cara-cara yang melanggar aturan maka itu dianggap tidak wajar atau tidak pantas. Logika publik yang sehat akan menolaknya. Sebab, dianggap sebuah capaian yang tidak pantas. 

    Memantaskan Diri untuk Menerima

    Saya membaca sumber-sumber tentang 'memantaskan diri' dan ternyata pada umumnya diarahkan kepada hal-hal yang mengarah kepada soal jodoh. Mungkin karena yang menulis tentang tema ini adalah mereka yang lagi mencari pasangan yang pantas untuk dirinya. Dan, mereka sedang menakar kepantasan dirinya untuk mendapatkan pasangan hidup.

    Ini tentu tidak salah juga. Sebab, ada ayat yang menginformasikan soal itu bahwa  "Perempuan-perempuan yang keji -(pantas) untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji (pantas) untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). sedangkan perempuan-perempuan yang baik (pantas) untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik (pantas) untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka (pantas) memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)" (Qs. An-Nur: 26).

    Tidak hanya soal jodoh. Dalam semua hal tentu Allah Maha Adil. Dia memberikan kepada hamba-hamba-Nya apa yang pantas bagi hamba itu di sisi-Nya. Allah tidak memberi beban kepada manusia kecuali menurut standar yang pantas baginya. Hal ini banyak ditemui di dalam Al-Qur'an. Antara lain Q.S. Al-Baqarah Ayat 286.

    لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

    Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

    Keterangan

    Pada tulisan sebelumnya saya menulis, apa itu kesulitan dan kemudahan. Kesulitan itu merupakan selisih antara tingkat kemampuan dengan tingkat kerumitan suatu pekerjaan. Jika tingkat kemampuan seseorang lebih rendah daripada tingkat kerumitan suatu urusan maka itu disebut sulit. Sebaliknya, jik tingkat kemampuan seseorang lebih tinggi dari pada tingkat kerumitan suatu urusan maka itu disebut mudah.  

    Ajaran Allah dalam Islam itu mudah, tidak ada unsur kesulitan di dalamnya. Allah tidak menuntut dari hamba-hamba-Nya sesuatu yang tidak mereka sanggupi. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, maka akan memperoleh ganjaran baik, dan barangsiapa yang berbuat keburukan, maka akan memperoleh balasan yang buruk. 

    Wahai Tuhan kami, jangan Engkau menyiksa kami jika kami lupa terhadap sesuatu yang Engkau wajibkan atas kami atau kami berbuat salah dengan melakukan sesuatu yang Engkau larang untuk dikerjakan. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebani kami dengan amalan-amalan yang berat yang telah Engkau bebankan kepada umat-umat yang berbuat maksiat sebelum kami sebagai hukuman bagi mereka. 

    Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau membebankan kepada kami perkara yang kami tidak mampu menanggungnya, baik dalam bentuk perintah-perintah syariat dan musibah musibah. Dan hapuskanlah dosa-dosa kami dan tutuplah kekurangan-kekurangan kami dan sudilah berbuat baik kepada kami. Engkau adalah penguasa urusan kami dan pengaturnya. maka tolonglah kami menghadapi orang-orang yang mengingkari agama-MU dan mengingkari keesaan-MU serta mendustakan nabi-MU,Muhammad Saw., dan jadikanlah kesudahan yang baik bagi kami di hadapan mereka di dunia dan akhirat.

    Dalam Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia 286, kalimat لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ yaitu Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Makna التكليف adalah urusan yang didalamnya terdapat kesukaran, beban dan pengurasan tenaga. لَهَا مَا كَسَبَتْ (Ia mendapat pahala yang diusahakannya).Yakni, baginya pahala atas kebaikan yang ia lakukan وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗۗ (dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya) Yakni dosa dari keburukan. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ(Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah). 

    Diriwayatkan sebuah hadis bahwa para sahabat ketika berdo’a dengan do’a ini, Allah menjawab: “Iya, Aku telah melakukannya”. Maka diangkatlah dosa kesalahan yang tidak disengaja dah lupa dari mereka. وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ (janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami) Makna الإصر adalah pembebanan yang berat, urusan yang rumit, dan pekerjaan yang keras. 

    Sebagaimana Bani Israil diperumit urusan mereka seperti, membunuh diri sendiri (untuk bertaubat)memotong kain yang terkena najis. Dan ayat ini mengajarkan orang-orang mukmin untuk meminta kepada Allah agar tidak dibebani dengan beban yang berat sebagaimana yang dibebankan kepada umat-umat sebelumnya.

    Oleh karena itu, رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖۖ (Ya Tuhan kami,. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya) Yakni beban yang berat yang hampir tidak mungkin untuk dipikul. وَاعْفُ عَنَّا (Berilah maaf kami) Yakni atas dosa-dosa kami dengan penghapusan dan pengampunan. وَاغْفِرْ لَنَا (ampunilah kami). Yakni, tutuplah dosa-dosa kami. وَارْحَمْنَآ ۚ(dan rahmatilah kami) Yakni muliakanlah kami dengan rahmat dari-Mu. أَنتَ مَوْلَىٰنَا (Engkaulah Penolong kami) Yakni wali dan penolong kami, dan Engkau adalah Tuhan kami sedangkan kami adalah hamba-hamba-Mu. فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِينَ (maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir) 

    Karena salah satu hak atas Tuhan adalah menolong hamba-Nya. Terdapat hadis shahih dari Rasulullah bahwa Allah berfirman setiap doa ini selesai dipanjatkan: “Iya, Aku telah melakukannya”, sehingga mereka tidak dihukum sedikitpun atas kesalahan yang tak disengaja dan lupa, tidak membebani mereka dengan beban berat yang telah dibebankan kepada orang-orang sebelum mereka, tidak membebani mereka di atas kemampuan mereka, dan memaafkan, mengampuni, merahmati, menolong mereka atas orang-orang kafir. Alhamdulillah Robbil ‘Alamiin. Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang Engkau muliakan dengan pemberian-pemberian tersebut. 

    Dari Ibnu ‘Abbas Ia berkata: Ketika Jibril sedang duduk di sisi Nabi saw., dia mendengar suara di atasnya, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata: Ini adalah pintu dari langit yang dibuka pada hari ini dan tidak pernah dibuka sebelumnya, lalu seorang malaikat turun kemudian mendatangi Nabi lalu berkata, Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumnya, yaitu Fatihat al-kitab dan ayat-ayat akhir dari surat al-Baqarah. Engkau tidak membaca satu huruf pun dari ayat-ayat itu kecuali engkau diberinya.

    Hemat Penulis

    Setiap orang yang waras pasti menginginkan yang terbaik. Orang yang punya masa lalu yang kurang baik tetap mengharapkan masa depan yang baik. Orang tua yang kurang sukses pun menginginkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang sukes. Pembohong pun bila ia mengetahui dirinya dibohongi juga tak terima. Orang yang curang (jekkong) bila ia mengetahui dirinya dicurangi maka ia tak terima dan bereaksi mencari keadilan. 

    Allah selalu memberi harapan kepada siapapun yang berikhtiar memperbaiki dan memantaskan dirinya untuk menjadi hamba-hamba Allah yang baik. Doa di atas (Qs. Al-Baqarah: 286) sesungguhnya mengajarkan asas kepatutan seseorang dalam menerima tugas, yaitu kesesuaian antara tingkat kemampuan dan tingkat kerumitan beban tugas.

    Jika seseorang menerima tugas melebihi tingkat kemampuannya ia berpotensi berbuat zalim kepada orang lain atau menzalimi diri sendiri. Misalnya kompetensi yang miliki hanya layak jadi guru SD maka tepatnya atau layaknya jadi guru SD karena ia akan lebih bermanfaat bila di posisi itu saja. Bila ia memaksakan menjadi pengajar di universitas maka selain terbebani melebihi kemampuan, juga tidak banyak manfaatnya di depan mahasiswa. Nabi bersabda: "sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat kepada orang lain".  Jadi, posisi yang tepat dan pantas akan memungkinkan seseorang menjadi lebih bermanfaat. Sedangkan kebermanfaatannya menjadi tolok ukur kemuliaannya.

    Namun, tentu saja, jika ia pantas berpindah posisi karena pertimbangan kebermanfaatannya yang lebih besar di posisi sasarannya itu juga lebih baik. Sebab prinsipnya, tetap pada tempat atau pindah ke posisi yang lain itu soal pertimbangan efektifitas dan kebermanfaatan. Nabi pun hijrah meninggalkan Kota kelahirannya ke Madinah demi efektifitas dakwahnya.

    Kita diajarkan agar kita fokus memantaskan diri untuk meraih sesuatu ketimbang menempuh cara-cara tidak terpuji untuk mendapatkannya. Atau, fokus bekerja pada pekerjaan yang pantas. Boleh jadi di situlah tempat yang paling tepat untuk menjadi orang yang bermanfaat. Umat terdahulu menjadi pelajaran bahwa mereka menjadi binasa karena beratnya beban yang mereka tanggung melampaui kapasitas dan kemampuannya. Umat Nabi Muhammad didorong agar melejitkan kemampuannya lebih dari tingkat kerumitan beban urusan yang mereka emban.

    Mengapa Allah memasukkan orang-orang baik ke dalam surga dan memasukkan orang-orang jahat ke dalam neraka? Padahal, Dia Maha Kuasa untuk memasukkan orang-orang baik ke dalam neraka dan memasukkan orang-orang jahat ke dalam surga? Karena Allah Maha Adil. Dia menempatkan hamba-hamba-Nya pada tempat yang pantas untuknya. Dia memberikan kepada orang-orang pantas menerimanya. 

    Jangan di akhirat. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat menganut asas kapantasan atau kepatutan. Misalnya, dalam budaya Bugis - seperti disebutkan sebelumnya - budaya asitinajang (kepatutan) diajarkan nilai "onroi onrongmu, tudangi tudangengmu". Artinya, tempatilah sesuai tempatmu, duduklah sesuai tempat dudukmu. Hal ini mengajarkan keteraturan dan kesesuaian serta keadilan. 

    Catatan Akhir

    Memantaskan diri merupakan istilah yang menunjukkan kesadaran diri. Bekerja memantaskan diri merupakan bentuk ekspresi kesadaran diri sebagai individu dan bagian dari masyarakat untuk mengasah kompetensi dan mengembangkan kapasitas diri untuk manjadi orang yang pantas meraih sesuatu impian. 

    Asas kepantasan sangat relevan dengan nilai-nilai keadilan. Orang menerima hasil sesuai ikhtiarnya berkata, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Sedangkan orang mendapatkan hasil lebih kecil dari ikhtiarnya akan berkata, ini tidak adil, tidak pantas, tidak wajar, curang, dan umpatan lainnya. Ini orang urusan di dunia.

    Di akhirat, tidak ada lagi hak yang salah sasaran. Orang berbuat baik pasti melihat dan menerima balasan kebaikannya meski sekecil zarrah. Begitu pula orang yang berbuat jahat ia pasti melihat dan menerima akibat kejahatannya meski sekecil zarrah. Itulah kepantasan dan keadilan. Di dunia ini, tidak semua kepatutan itu dapat terwujud. Namun percayakah, harapan keadilan di akhirat pasti terjadi. 

    Berharaplah hanya kepada Allah (bersambung), Insyaallah.

    Wallahu A'lam