BLANTERORBITv102

    WAFATNYA ULAMA, DIANGKATNYA ILMU , & DEKATNYA KIAMAT(2)

    Rabu, 24 Maret 2021

    Penulis: Muhamad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata, 27-03-2021

    Muqaddimah 

    Para mahasiswa dan pembaca yang bijaksana! Pada tulisan sebelumnya, telah dikemukakan bahwa diamnya ulama tanda dekatnya kiamat. Tulisan kali ini mengemukakan, wafatnya para ulama pertanda dekatnya kiamat dan hilangnya ilmu. 

    Ada ungkapan mengatakan, wafatnya orang baik adalah istirahat baginya. Kematiannya orang jahat adalah istirahatnya masyarakat. Sedangkan wafatnya ulama adalah musibah bagi umat, kebocoran dalam agama, dan diangkatnya ilmu.

    Wafatnya ulama adalah padamnya lampu kehidupan. Mereka merupakan penerang di saat manusia berada di kegelapan. Bila keberadaan mereka semakin sedikit, semakin redup pula lampu kehidupan dan semakin kacaulah kehidupan manusia. 

    Para ulama Rabbani semakin langka, dan semakin banyaknya orang tak cukup ilmu yang berambisi untuk menjadi ulama di mata manusia. Keadaan ini merupakan peluang besar bagi pelaku dan penyebar kesesatan untuk menjerumuskan umat ke dalam kebinasaan. Ulama yang hidup bungkam dan yang lainnya diwafatkan. Itu tanda kiamat tidak jauh. Kiamat bisa bermakna kekacauan, bisa pula bermakna berakhirnya dunia. 

    Wafatnya Ulama Musibah bagi Umat

    Wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat. Karena ulama adalah pewaris dan penerus para Nabi. Wafatnya mereka berarti hilangnya pewaris Nabi. Seperti ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya,

    مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

    “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).

    Sebagai musibah dalam agama yang diibaratkan oleh Nabi laksana bintang yang padam, wajar bila orang beriman bersedih ditinggal wafat seorang ulama. Bahkan, Rasulullah Saw. sendiri menyatakan bahwa tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah Saw. :

    مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ

    “Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik”.

    Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian.

    Seorang Tabi’in, perawi yang hadisnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya,

    إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي

    “Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.

    Hanya orang yang paham pentingnya peran dan fungsi ulama yang bersedih dengan wafatnya mereka. Manusia seolah menyusuri rimba raya dalam kegelapan. Itulah ketika umat tidak dipandu oleh ulama.

    Wafatnya Ulama Diangkatnya Ilmu

    Kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya. Kesedihan ini sejatinya adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat. Kektika ulama wafat, umat kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan.

    Kehilangan orang yang di dalam dadanya tersimpan bermacam ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan. Apakah orang makin sedikit? Bukan begitu maksudnya. Orang-orang berilmu makin banyak. Setiap hari lahir ribuan sarjana. Sekolah dan universitas makin banyak dan makin moderen. Akan tetapi, yang terjadi adalah krisis ulama rabbani.

    Mengenai hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim:

    ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

    “Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.“

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut,

    ‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .

    “Hadis ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya, mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.

    Wafatnya Ulama Dekatnya Kiamat

    Ketika ilmu pengetahuan tentang ajaran agama diangkat Allah dari muka bumi, maka ini pertanda usia bumi tidak lama lagi. Satu persatu ulama diwafatkan adalah pertanda keping-keping bumi mulai dirontokkan.

    Beberapa penafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat berikut ini adalah kehancuran bumi dengan diwafatkan para ulama,

    أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

    "Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al-Ra’d: 41). Tafsiran ini semakna dengan sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari,

    ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

    “Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan“.

    Ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, maka dari situlah kehancuran bermula. Karena manusia tidak lagi menjalani kehidupan berdasarkan ajaran agamanya. Diriwayatkan al-Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda,

    ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ

    “Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak”.

    Bagaimana sikap kita seharusnya memaknai wafatnya ulama? Wafatnya ulama adalah bermakna kebocoran dalam agama, sebagaimana dalam hadis yang disebutkan di atas. Bahkan kebocoran ini tidak bisa ditambal sepanjang masa, sebagaimana diungkapkan seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud r.a,

    موت العالم ثُلْمَة في الإسلام لا يسدُّها شيء ما اختلف الليل والنهار 

    "Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti”.

    Namun, apakah dengan melampiaskan duka cita tanpa memikirkan solusinya adalah bukti kita bersedih atas wafatnya ulama dengan kesedihan yang sesuai dengan aturan agama?Sayyidina Abdullah bin Mas’ud r.a. memberikan solusinya,

    ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ

    “Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”

    Sikap yang benar itu adalah dengan cara menjadikan diri dan generasi menjadi pengemban warisan ulama, pelanjut estafet mempertahankan keberlangsungan transfer ilmu agama dan akhlak mulia. Kita mesti menyiapkan generasi selanjutnya agar jangan terjadi kekosongan ulama.

    Hal inilah yang dimaksud Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya,

    إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه 

    "Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya".

    Kita harus mengambil ilmu sebelum ia pergi seluruhnya. Selagi masih ada ulama-ulama rabbaniyyin lain yang tersisa, kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw.

     خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ

    “Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!” Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Saw. menjawab,

    إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ

    “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”.

    Inilah cara memaknai kesedihan ditinggal wafat ulama yang sesuai dengan ajaran Islam. Seorang bijak pernah mengatakan, “It’s better to light a candle than curse the darkness”, menyalakan lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan. Menjaga warisan ulama adalah mengambil IP ilmu dari penerusnya dan melindungi dan menjaga ulama. Bukan menunggu ulama mendatangi dan membawakan ilmu-ilmu rabbani. Justru, umat harus mendatangi dan berguru kepada para ulama rabbani.

    Khatimah

    Wafatnya ulama dan diangkatnya ilmu-ilmu warisan para Nabi. Bermunculan pula masalah. Lalu, tampillah orang-orang yang tidak ahli berbicara. Mereka berfatwa berdasarkan dugaan, selera, dan kepentingan. Fatwa yang sesat dan menyesatkan bermunculan yang menimbulkan kegaduhan sosial.

    Dalam kondisi tersebut, tak ada lagi ulama yang menjadi rujukan yang memandu umat. Kegelapan jalan kebenaran menyelimuti umat. Orang tak cukup ilmu berambisi menjadi ulama. Saat itulah terasa betapa ulama itu sangat penting adanya. Ulama rabbani bagaikan pelita di kegelapan malam yang menerangi kehidupan umat.

    Orang-orang cenderung mengambil ilmu dari media seperti google. Ilmu-ilmu yang tidak terseleksi oleh ahlinya. Tidak sedikit diantaranya terdistorsi dari aslinya. Mengurangi atau menambah kata atau kalimat dari sumber aslinya maka ketika itulah terjadi penyebaran hoax dalam ilmu. Allah memerintahkan mengkonsultasikan ilmu itu kepada pakarnya.  “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43.

    Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi peran ulama makin urgen. Ulama tidak hanya menjadi sumber tapi juga menjadi filter atas berbagai informasi dan penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi. Ulama menempati posisi strategi sebagai filter dan kosultan bagi para pencari ilmu khususnya dan umat pada umumnya. Ayat di atas menganjurkan untuk mengkonsultasikan ilmu kepada Ahli zikir, yakni alim dan memiliki integritas kepada Allah. Ilmunya sekaligus menjadi zikirnya untuk senantiasa terkoneksi dengan Allah Swt.

    Wallahu a'lam.