Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 20-03-2021
Pendahuluan
Pemerintah berkewajiban memastikan rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Di Indonesia, realisasi hak atas pangan juga merupakan kewajiban konstitusional negara. Tugas pokok negara sudah jelas termaktub dalam konstitusi (UUD 1945), yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Konstitusi mengamanatkan kepada pejabat penyelenggara pemerintahan untu bertanggungjawab memenuhi hak-hak sipil-politik dan Ekosob warganegaranya. Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan dan hak azasi setiap warganegara.
UMAR & IBU MISKIN
Kisah Khalifah Umar bin Khattab tak sengaja bertemu dengan keluarga miskin yang memasak batu karena tak punya bahan makanan ribuan tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat ini, apakah juga terjadi di era sekarang? Kasus serupa juga terjadi. Tepatnya di Mombasa, Kenya. Seorang janda dengan delapan anak terpaksa merebus batu untuk mengelabuhi anaknya yang kelaparan minta makan.
Kisah perempuan miskin di Kenya, Peninah Bahati Kitsao yang merebus batu demi anak-anaknya memancing empati dari para netizen. Wanita dengan delapan anak tersebut memasak batu demi anak-anaknya yang kelaparan.
Kitsao berharap anak-anaknya tertidur saat menunggu masakannya matang. Padahal batu yang direbus tersebut tidak akan bisa disantap, namun Kitsao tak tega mengatakan sedang kondisi yang sebenarnya.
Keadaan Kitsao diketahui tetangganya Prisca Momanyi yang segera mengabarkan kondisi tersebut pada media. Setelah diwawancara stasiun televisi setempat N TV, bantuan mulai datang untuk membantu Kitsao dan anak-anaknya yang kelaparan.
"Saya tidak percaya masyarakat Kenya ternyata sangat peduli. Telepon saya terima dari seluruh negeri yang bertanya bagaimana mereka bisa menolong kami," kata Kitsao saat diwawancara situs berita Tuko.
Kondisi Kitsao mengingatkan pada cerita serupa yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu sedang terjadi bencana kekeringan yang menyebabkan kaum muslim menderita kelaparan parah.
Dikutip dari buku 'The Khalifah' karya Abdul Latip Thalib, di suatu malam Umar mengajak asistenya Aslam melakukan ronda keliling kota. Umar melihat sebuah pondok dengan kompor yang menyala di tengah jalanan yang sepi. Umar juga mendengar suara anak-anak yang menangis dari pondok tersebut.
Amirul Mukminin kemudian pergi ke pondok tersebut untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Umar melihat seorang ibu yang terlihat memasak sesuatu di tengah pondok dikelilingi anak-anak yang menangis. Umar kemudian mengetuk pintu pondok dan bertanya penyebab anak-anak tersebut menangis. Umar juga bertanya makanan yang sedang dimasak ibu tersebut untuk anak-anaknya. Apa yang ibu sedang masak di atas tungku itu? "Tanya Umar".
Ibu tersebut menjawab "saya sedang memasak batu. "Jawab ibu itu". Anak-anaknya menangis karena lapar. Di dalam panci yang dimasak sebetulnya adalah air dan batu. Sang ibu berharap anak-anaknya lelah menunggu masakan matang hingga akhirnya tertidur. Semua bahan makanan yang ada dalam rumah tersebut sudah habis, hingga dia dan anak-anaknya kelaparan selama tiga hari belakangan.
Umar bin Khattab kemudian segera ke Baitul Mal dan mengambil bahan makanan yang diperlukan ibu dan anak-anaknya. Sang khalifah membawa dan memberikan sendiri bahan makanan pada keluarga tanpa bantuan Aslam. Umar kemudian masuk ke dalam pondok dan membantu sang ibu memasak untuk anak-anaknya. Makanan tersebut kemudian diberikan pada anak-anaknya hingga tak lagi merasa lapar.
Dikutip dari buku 'Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad. Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya.
Umar yang merasa bertanggungjawab melakukan berbagai usaha untuk membantu rakyatnya, termasuk mendistribusikan makanan (logistik) dari Dar Ad-Daqeeq. Makanan dari institusi yang menangani kebutuhan logistik masyarakat tersebut, Umar membagikan sendiri untuk masyarakat yang membutuhkan. Umar bin Khattab juga berdoa memohon pengampunan dan rizki dari Allah Swt., hingga akhirnya turun hujan dan mengakhiri bencana tersebut.
KEWAJIBAN NEGARA
Kewajiban Negara Dalam Hak Atas Pangan itu tertuang dalam konstitusi. UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) mengamanatkan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Dalam konteks hak atas pangan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhinya sebagaimana hak asasi manusia lainnya. Negara dibebani kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan dan gizi yang terjangkau dan memadai. Oleh karena itu, pengabaian terhadap pangan dan gizi ini sendirinya bisa dianggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negara. Bahkan, ketika hak atas pangan diabaikan secara terus menerus, maka pelanggaran tersebut bisa disamakan dengan pemusnahan generasi secara laten (silent genocide).
Hak atas pangan yang layak, memiliki asas indivisibility, yaitu keterkaitan satu hak asasi dengan bentuk hak asasi yang lain. Artinya, hak atas pangan tidaklah berdiri sendiri, namun juga bergantung pada penghormatan akan kebebasan dasar yang lain.
Yang juga perlu menjadi perhatian adalah soal posisi tanggung jawab negara dalam mekanisme pemenuhan hak atas pangan, sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Tanggung jawab negara seringkali ditafsirkan hanya bersifat obligations of result. Artinya, bisa dilakukan secara perlahan-lahan (progressively), disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia, dan tidak bersifat absolut. Berbeda dengan pemenuhan hak-hak sipil-politik, di mana tanggung jawab negara berbentuk obligations of conduct, sehingga mutlak diadakan.
Padahal, kedua bangunan hak tersebut direlasikan indivisible dan inter-dependent, sehingga penegakan dan pemenuhannya pun wajib dilaksanakan secara bersamaan, tidak timpang antara satu dengan lainnya.
Hak atas pangan yang layak membebankan tiga jenis atau tingkat kewajiban negara penandatangan, yakni; menghormati, melindungi, dan memenuhi. Pada gilirannya, kewajiban untuk memenuhi mencakup kewajiban untuk memfasilitasi serta kewajiban menyediakan. Dalam rangka mencegah terjadinya kompetisi yang tidak adil, negara dituntut untuk bisa melakukan affirmative action di setiap level kewajibannya.
Lebih spesifik, Panduan Hak Atas Pangan telah menjelaskan tiga level kewajiban negara. Kewajiban untuk menghormati hak atas pangan, mensyaratkan negara, dengan demikian termasuk seluruh organ dan badan-badannya, untuk sejauh mungkin tidak ikut campur dalam upaya masyarakat memenuhi hak atas pangan mereka, jika bentuk campur tangan negara justru akan melanggar integritas perorangan atau melanggar kebebasan individu untuk memilih dan menggunakan sumber daya yang tersedia atau dimiliki dalam upaya mereka memenuhi keperluan dasar mereka. Dikarenakan upaya seseorang untuk memenuhi haknya tidak boleh melanggar hak orang lain, maka merupakan tugas negara untuk menjamin hal ini, sebagai bentuk tanggung jawab di tingkat kedua yaitu kewajiban untuk melindungi, yang mensyaratkan negara melalui badan-badannya untuk mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin tercegahnya seseorang atau kelompok tertentu dari pelanggaran terhadap integritas dan kebebasan bertindak orang atau kelompok lain, atau pelanggaran bentuk hak asasi yang lain, termasuk untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok lain dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, khususnya sumber daya alam.
Kewajiban melindungi berarti negara harus mengeluarkan peraturan-peraturan atau instrumen-instrumen hukum berkaitan pemenuhan hak atas pangan warganya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu, serta melaksanakannya dengan dengan konsisten.
Kewajiban untuk memenuhi, secara singkat berarti negara harus berperan aktif membantu warganya dalam upaya memenuhi hak atas pangannya, dengan tidak mengurangi hak atas pangan warganya yang lain. Negara harus memastikan setiap individu dalam wilayah hukumnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jika hal tersebut tidak dapat dilakukan mereka sendiri
Catatan
Dari institusi terkecil (rumah tangga) hingga institusi terbesar (negara) dibentuk dan diatur untuk menjamin keberlangsungan hidup anggotanya. Rumah tangga dibentuk dari sebuah dari sebuah ikatan suci untuk menjadi berlindung dan menjamin keberlangsungan hidup anggotanya. Di dalamnya minimal terdiri dari dua orang yang mempunyai hak dan kewajiban.
Kalau institusi terkecil yang bernama rumah tangga saja berkewajiban memenuhi hak azasi anggotanya maka institusi terbesar yang disebut negara tentu mempunyai kewajiban yang lebih besar yang diatur menurut Undang-Undang dan Peraturan terhadap seluruh warganegara.
Hak yang paling azasi adalah hak hidup. Untuk memastikan keberlangsungan hidup maka kebutuhan yang di paling tidak mungkin dipisahkan dari hidup ini adalah pangan. Kebutuhan pangan mendahului sandang dan papan. Tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup.tanpa pangan. Berbeda dengan sandang dan papan, meski mendesak namun masih bisa ada yang bertahan hidup tanpa itu.
Hal ini sangat disadari oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemimpin. Setiap pemimpin negara bertanggungjawab memenuhi hak hidup warnegaranya. Bila ada.yang mati kelaparan berarti negara lalai dan abai terhadap kewajibannya.
0 komentar