Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 20-03-2021
PENDAHULUAN
Para mahasiswa dan pembaca yang bijaksana! Tulisan ini dihadirkan untuk para mahasiswa sebagai calon pemimpin. Sebagai calon pemimpin publik dan pejabat publik, Anda mesti menyiapkan mental dan integritas serta karakter yang kuat. Harus mampu hidup dalam koridor aturan dan Undang-undang.
Sangat langka kita mendapati pejabat publik yang meninggalkan kemewahan demi menjaga diri dari tindakan mengambil fasilitas melebihi kadar yang disiapkan oleh negara secara sah. Misalnya ada yang meminta penambahan daya listrik rumah jabatan, menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan di luar dinas dan pada jam dinas. Misalnya, mobil ber-plat merah digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga ke pesta atau tujuan lainnya selain untuk urusan kedinasan. Bahan bakar diambil dari pagu untuk anggaran perjalanan dinas. Atau tiket perjalanan keluarga diambil dari perjalanan dinas, dan lain-lain. Sesuai aturan, fasilitas dinas hanya untuk urusan kedinasan.
Namun, adakah pemimpin publik yang mampu bertindak ideal seperti itu? Dan adakah keluarga pejabat yang mampu mendukungnya? Ini memang tentu tidak begitu mudah. Sebab, tantangan pertama yang harus dihadapi adalah diri sendiri dan keluarganya. Bahkan mungkin jika berjalan sesuai aturan ia akan dibully, difitnah, dibilangi sok bersih, bodoh, aneh, dan sejumlah stigma negatif lainnya. Meskipun sulit, tetap ada manusia langka dan aneh www, namun tetap saja ada makhluk langka yang demikian. Salah satunya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Simak kisahnya, semoga menginspirasi Anda!
PENGANGKATAN UMAR BIN ABDUL AZIZ SEBAGAI KHALIFAH
Tahukah Anda, siapa beliau itu? Ia adalah khalifah ke-8 Dinasti Umayyah. Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada 99 H, pada hari wafatnya Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik. Khalifah Sulaiman telah mewasiatkan kekhalifahan kepada Umar ketika ia ditimpa sakit demam.
Sejatinya, ia bukanlah putra mahkota. Namun, kehebatan dan kemuliaan akhlak serta tauhidnya, keturunan Khalifah Umar bin Khattab itu dianugerahi sebuah jabatan yang mulia. Umar bin Abdul Aziz memimpin Dinasti Umayyah selama tiga tahun dari 717 hingga 720 M.
Meski hanya tiga tahun, jasanya begitu besar dalam membangun dan menyebarluaskan agama Islam. Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin umat yang adil dan bijaksana. Ia begitu jujur. Selama tiga tahun memimpin, semua rakyat yang berada dalam lindungan Dinasti Umayyah hidup berkecukupan alias sejahtera.
Baginya, jabatan adalah ujian. Simak pidato kenegaraannya yang begitu diamanahi kursi khalifah, "Wahai saudara-saudara! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandanganku terlebih dahulu dan bukan juga permintaanku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiat yang kalian berikan kepadaku dan pilihlah seorang Khalifah yang kalian sukai".
Tiba-tiba orang-orang serentak berkata: Kami telah memilihmu wahai Amirul Mukminin, dan kami rida kepadamu. Maka, uruslah urusan kami dengan kebaikan dan keberkatan. Begitulah pemimpin yang sejati. Ia tak haus kekuasaan, apalagi mengejar jabatan dan kedudukan dengan menghalalkan segala cara. Umar adalah teladan bagi umat Islam. Ia tak hanya menyejahterakan rakyatnya.
Menurut Dr Syauqi, Umar bin Abdul Aziz juga sangat peduli dengan kelestarian lingkungan hidup. As-Suwaida menjadi saksi kepeduliannya. Daerah yang awalnya gersang itu oleh Khalifah yang adil dan bijaksana itu ditanami dan dihijaukan dengan pepohonan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membiayai sendiri penanaman pohon di as-Suwaida dengan harta kekayaannya, papar Dr Syauqi. Tak cuma itu, ia juga membuat sumur di as-Suwaida. Ia hidup sederhana dengan pendapatan sebesar 200 dinar dan sekantong buah kurma.
MENANGIS SAAT MENERIMA JABATAN
Siapa yang tak kenal dengan Umar bin Abdul Aziz. Selain dikenal sebagai khalifah adil dia juga dikenal dengan kezuhudannya. Bahkan dia didapuk sebagai satu-satunya khalifah yang kesalehan dan keadilannya disederajatkan dengan khulafaurrasyidin. Ia menangis ketika diangkat menjadi khalifah, bukan karena terharu bahagia, namun karena takut kepada Allah. Khawatir ia tak sanggup menjalankan amanah.
Dikisahkan, ketika diberi amanah jabatan khalifah (raja) oleh Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz justru bersedih hati. Dia menggigil karena membayangkan bahwa jabatan seorang khalifah sejati tidak terlepas dari kesukaran dan tanggung jawab. Ia takut kepada Allah kalau sampai tak mampu menjalankan amanah. Mungkin sikap itu berbanding terbalik dengan sikap sebagian besar pejabat publik saat ini.
Suatu ketika, setelah menjabat, Umar bin Abdul Aziz diketahui sedang menangis di dekat istrinya, Fatimah. Ketika ditanya mengapa menangis, dia menjawab: "Ya Fatimah! Saya telah dijadikan penguasa atas kaum Muslimin dan orang asing dan saya memikirkan nasib kaum miskin yang sedang kelaparan, kaum telanjang dan sengsara, kaum tertindas yang sedang mengalami cobaan berat, kaum tak dikenal dalam penjara, orang-orang tua renta yang patut diberi hormat, orang yang punya keluarga besar tetapi penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan serupa di negara-negara di dunia dan propinsi-propinsi yang jauh. Saya merasa bahwa Tuhanku akan bertanya tentang mereka pada Hari Kebangkitan dan saya takut bahwa pembelaan diri yang bagaimanapun tidak akan berguna bagi saya. Lalu saya menangis!"
Sepenggal kisah yang dikutip Syekh Mohd Iqbal dalam Misi Islam (Gunung Jati Jakarta, 1982) itu, hanyalah salah satu dari sekian cerita kesalehan Umar. Kisah paling populer tentangnya adalah ketika mematikan lampu fasilitas negara saat anaknya datang untuk urusan pribadi. Dia tidak mau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan diri dan keluarganya.
FASILITAS NEGARA HANYA UNTUK URUSAN NEGARA
Umar bin Abdul Aziz tidak pernah memimpikan sebuah jabatan. Apalagi untuk menduduki kursi khalifah. Sebelum diangkat menjadi khalifah, dia adalah orang yang hidup sangat berkecukupan.
Namun, setelah menjadi khalifah, terjadi sebuah perubahan yang drastis pada dirinya. Dia meninggalkan semua harta kesenangannya. Sejak saat itu, ia hidup dalam kesederhanaan dan menjadi seorang yang zahid (sederhana dan menjauhi urusan dunia) dan abid (senantiasa mengabdikan dirinya untuk umat). Dia selalu memperlakukan cara hidup yang ketat terhadap diri dan keluarganya.
Sesudah Umar diangkat menjadi khalifah dan amirul mukminin, ia langsung mengajukan pilihan kepada istrinya, Fathimah. Umar berkata kepadanya, "Istriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antara dua."
Fatimah bertanya kepada suaminya, "Memilih apa, Kakanda? Umar bin Abdul Aziz menerangkan, "Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu."
Kata Fatimah, "Demi Allah, aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya amirul mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku."
Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitul Mal, kas negara kaum Muslimin. Demikian pula, dengan semua harta yang ada pada dirinya, ia kembalikan ke Baitul Mal. Sejak saat itu, dia mengharamkan atas dirinya untuk mengambil sesuatu pun dari Baitul Mal (semisal APBN).
Masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru, membangun masjid-masjid, menghiasi jalan-jalan, membangun penginapan bagi para musafir, dan mengembalikan tanah-tanah yang disita serta menaruhnya di Baitul Mal.
Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Di masa pemerintahannya, tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah.
Tak hanya itu, Umar bin Abdul Aziz senantiasa memberi contoh dan teladan kepada umatnya. Sebagai pemimpin dan amirul mukminin, tingkah lakunya akan menjadi panutan rakyatnya. Karena itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, ia senantiasa berhati-hati dalam mempergunakan uang umat.
Di khawatir menggunakan uang umat dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu, dengan cermat ia memisahkan segala urusan pribadi dengan pemerintahan.
Suatu malam, Umar pernah kedatangan tamu di rumahnya yang sederhana. Dia menanyakan kepada tamu tersebut maksud kedatangannya. Jika urusan negara, dia akan menyalakan lampu di rumahnya. Namun, jika keperluan sang tamu untuk urusan pribadi, dia akan mematikannya dan menggantinya dengan lampu pribadi.
Sang tamu bertanya, mengapa khalifah berbuat demikian. Umar bin Abdul Aziz menjawab, cahaya listrik yang akan dipakai untuk menjamu tamu adalah milik negara. Karena itu, kalau urusannya untuk kepentingan pribadi, dia akan mematikannya dan menggantinya dengan lampu pribadi miliknya.
Namun, jika urusan tamu itu ada keperluan untuk urusan negara, dia akan menggunakan cahaya lampu negara untuk kepentingan negara dan bukan untuk kepentingan pribadi. Demikianlah kepribadian Umar bin Abdul Aziz. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling adil dan tegas dalam melaksanakan hukum Allah.
PELAJARAN PENTING
Pejabat publik dan pemimpin publik secara sepintas kedengaran sama. Akan tetapi, secara substantif, kedua frasa itu berbeda. Pejabat publik adalah orang yang secara sah mengendalikan dan mengatur urusan publik. Sedangkan pemimpin publik disamping pejabat publik yang sah untuk mengatur dan mengendalikan urusan publik, ia juga menjadi teladan yang memiliki lingkaran pengaruh.
Idealnya, pejabat publik itu adalah orang sudah selesai urusan pribadi dan keluarganya. Namun, logika ini berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi pada umumnya. Sebagian calon pejabat sibuk meraih posisi jabatan publik untuk meningkatkan taraf hidup pribadi dan keluarganya. Fasilitas publik pun digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Sekali lagi. Pemimpin atau pejabat publik yang ideal adalah orang selesai dengan urusan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, ketika menjabat maka ia tidak diganggu lagi kepentingan pribadi dan keluarganya sehingga fokus mengurusi kepentingan publik. Tanggung jawab ekonomi keluarga tidak ada hubungannya lagi dengan urusan jabatan.
Umar bin Abdul Aziz yang sama sekali tidak menginginkan jabatan khalifah. Bahkan menangis ketika diangkat, sebab beliau sangat menyadari jabatan itu adalah ujian. Ia sangat khawatir jika ujian itu tak mampu ia lewati dengan baik, penuh integritas, keadilan, dan kejujuran.
Tindakan memadamkan lampu milik negara saat menerima tamu bukan urusan negara dan menggantinya dengan lampu milik pribadinya untuk kepentingan pribadi ini ini tindakan keadilan yang direkam oleh sejarah. Anda tentu bisa membandingkan dengan pejabat publik saat ini. Mereka meminta penambahan daya karena daya yang tersedia dianggap tidak cukup.
Bahkan, tindakan beliau melampaui batas-batas keadilan. Beliau bahkan mencapai tingkat ihsan. Mengambil dan menerima lebih sedikit daripada apa yang sah menjadi haknya dan memberi lebih banyak daripada apa yang menjadi kewajibannya. Hak pribadinya digunakan untuk kepentingan publik. Sungguh bukan pemimpin biasa. Anda boleh membandingkan dengan sikap sebagian pejabat saat ini. Setiap saat ada yang terkena razia operasi tangkap tangan (OTT) oleh pejabat KPK. Itu tentu berbanding terbalik dengan karakter Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Fasilitas kendaraan dinas saja digunakan di luar jam dinas untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Masih terlihat mobil berplat merah dipakai ke pesta, mall, atau lainnya di luar urusan dinas. Penggunaan bahan pakar diambil dari pagu untuk bahan bakar kendaraan dinas untuk keperluan kedinasan. Sebuah arogansi pejabat publik yang sering terjadi.
Nah, pemimpin yang berintegritas mengetahui bahwa tantangan kepemimpinannya adalah menjadi tangguh tapi tidak kasar; ramah namun tidak lemah; bijaksana namun tidak bermalas-malasan; rendah hati namun tidak segan; berbangga namun tidak arogan, dan memiliki selera humor tanpa kebodohan (Jim Rohn). Singkatnya, keteladanan Umar bin Abdul Aziz adalah teladan.
Para mahasiswa, saya yakin bahwa diantara Anda ada beberapa orang yang memiliki sebagian karakter baik dan unggul dari Umar bin Abdul Aziz. Dan, pada waktunya nanti, Anda ditakdirkan menjadi pemimpin publik yang amanah. Insyaallah. Doa kami menyertai cita-cita dan langkah baik Anda semua.
Wallahu a'lam..
0 komentar