BLANTERORBITv102

    SIKAP MENGKAFIRKAN (TAKFIR)

    Minggu, 07 Maret 2021

    Penulis: Muhammad Yusuf

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Manggarupi-Gowa, 10-03-2021

    Catatan Pendahuluan

    Para mahasiswa dan segenap pembaca yang bijaksana! Kemarin saya menulis tentang dampak politik dan teologis dari kudeta dan pembunuhan Utsman bin Affan. Namun, saya lupa mengirim kepada grup-grup pembaca, sebab sejak pagi hingga malam disibukkan dengan aktivitas akademik dan pengabdian pada masyarakat. Hari ini, Rabu 10-03-2021 sejak pagi hingga sore memenuhi undangan sebagai Pemateri pada kegiatan workshop di depan para dosen pembimbing penulisan karya ilmiah para mahasiswa. Insyaallah. Meskipun begitu, saya menyempatkan diri membuat tulisan ini. Semoga bermanfaat.

    Tulisan ini merupakan lanjutan dari tiga artikel sebelumnya mengenai sejarah takfirisme (takfiriyah) dan tentang dampak kudeta yang berbuntut panjang terhadap perpecahan umat Islam selama kurang lebih 14 abad hingga kini. Pada tulisan sebelumnya, saya sudah menuliskan tentang kudeta Khalifah Utsman bin Affan dan tentang sejarah takfirisme. Kudeta tersebut berdampak lebih lanjut terhadap persoalan teologis. Persoalan teologis diangkat menjadi isu pembenaran atas kepentingan politik.

    Sebenarnya, embrio khawarij itu sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Masa itu kader-kader terbaik Rasulullah Saw. dari Sahabat beliau masih menjadi pendamping beliau. Mereka sangat disegani oleh lawan dari kelompok ekstrimis. Hingga puncaknya ketika pembunuhan Utsman bin Affan, peperangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Embrio takfiri (golongan ekstrimis yang suka mengkafirkan) lawan politiknya. Embrio takfiri sudah mulai terlihat ketika Fathu Makkah. Beberapa hadis Nabi Saw. yang memberi ultimatum dan peringatan keras kepada orang-orang yang suka mengkafirkan dan menyesatkan orang mukmin. Sikap takfiriyah ini dimotori oleh kelompok khawarij.

    Munculnya Khawarij Takfiri

    Sejarah tentang kemunculan kelompok takfiri itu cukup panjang. sebagiannya telah saya kemukakan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Tulisan ini tidak mengulangi kronologi peristiwa itu. Meskipun Khawarij merupakan kelompok ekstremis takfiri yang muncul setelah Rasulullah Saw. wafat, namun bibitnya bisa dilacak sejak beliau masih hidup. Embrio watak Khawarij tergambar dalam sosok Dzul Khuwaishirah, seorang Muslim pedesaan yang merasa dirinya lebih baik dari Rasulullah Saw. 

    Suatu kali, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, ia pernah mengkritik Nabi Muhammad kala terjadi pembagian hasil rampasan perang Hunain. Latar belakang kritik pedas Dzul Khuwaishirah itu, menurut Ibnul Jauzi dalam kitab Kasyf al-Musykil Min Hadits as-Shahîhain, lantaran Rasulullah mengutamakan pembagian rampasan kepada orang-orang non-Muslim yang diharapkan masuk Islam. Inilah yang kemudian membuat Dzul Khuwaishirah berkata, “Demi Allah, ini adalah pembagian yang Rasulullah tidak ada melakukannya”. 

    Lalu ia pun mendatangi Rasulullah Saw. karena merasa hal itu tidak adil dan mengkritiknya. Pertimbangan Rasulullah Saw. mengutamakan orang-orang non-Muslim yang diharapkan masuk Islam sama sekali tidak salah. Sebab, salah satu misi utama Rasulullah Saw. memang untuk membujuk manusia sebanyak-banyaknya agar masuk Islam. Makna al-muallafatu qulubuhum adalah "orang-orang yang dibujuk hati mereka" agar memeluk Islam. Jadi, wajar jika Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah beliau pernah menghentikan pemberian zakat kepada orang-orang baru masuk Islam, yaitu ketika umat Islam sudah kuat.

    Dalam menghadapi kebijakan Rasulullah itu, seluruh sahabat saat itu sama sekali tak merasa Rasulullah Saw. melakukan ketidakadilan. Tapi Dzul Khuwaishirah, yang merasa pendapatnya lebih baik dan lebih benar dari pendapat Nabi, berani menuduh Rasulullah berlaku tidak adil. Tuduhan macam ini kepada Nabi Muhammad tentu sangat serius, sehingga Umar bin Khatab meminta izin untuk memberi hukuman mati pada orang tersebut. Akan tetapi, dengan kelapangan hati yang luar biasa, Rasulullah melarangnya.  

     Sikap Takfir

    Dzul Khuwaishirah, yang menuduh Rasulullah Saw. tidak berlaku adil dan menganggap dirinya lebih baik daripada Rasulullah Saw. adalah gambaran sepanjang zaman bahwa kelompok ekstrimis selalu merasa lebih daripada pihak yang dikritik. Dengan kata lain, hanya pemahamannya yang dianggap baik. Pemahaman yang berbeda atau kontradiktif pasti salah, dan karenanya mesti diluruskan.

    Ciri-ciri kelompok ekstrimis biasanya tidak toleran terhadap perbedaan dan cenderung memaksakan. Bahkan lebih ekstrim, mereka tidak segan mengkafirkan yang berbeda dengannya. Kelompok ini disebut pula kelompok takfiri (mengkafirkan). Sikap itulah cenderung memicu konflik dan perpecahan internal umat Islam. Ini yang menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi Islam untuk memastikan seluruh sarjana yang dihasilkan tidak termasuk kelompok ekstrimis. Sebab, sumber konflik dan perpecahan dibangun oleh kelompok takfiri.

    Terhadap orang yang mengkafirkan, nabi Muhammad Saw. sangat tegas. Dalam kitab Shahih al-Bukhari, dari Tsabit bin adh-Dhahhak, Rasulullah Saw. bersabda: “… dan melaknat seorang Mukmin itu seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya. (HR al-Bukhari No. 6105 dan Muslim No. 110 [146]). Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.” (HR Shahih al-Bukhari No. 6104 dan Shahih Muslim No. 60).

    Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi Saw. bersabda: “Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Mukmin), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu. (HR Imam al-Bukhari No. 6104, Imam Muslim No. 60 (110) dan Imam at-Tirmidzi No. 2637). Dalam riwayat lain: “Jika seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri. (HR Imam Muslim No. 60).

    Dari Abu Dzarr ra, Nabi Saw. bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.” [HR. Imam al-Bukhari No. 3508 dan Imam Muslim No. 61(112)].

    Yang menjadi masalah besar, di balik tuduhan mengkafirkan orang lain itu sesungguhnya terdapat sikap yang dilarang oleh Islam, yakni takabbur, ‘ujub, dan merendahkan orang lain. Selain itu juga, kelompok merasa bahwa dirinya paling benar, yang lain salah; paling baik, yang lain buruk; paling Islami, yang lain tidak Islami; bahkan bisa jadi merasa paling suci dan paling benar sendiri, sehingga surga hanya menjadi haknya.

    Sikap menganggap diri paling suci seolah melampaui pengetahuan Allah. Dan, hal inilah yang dilarang oleh Al-Qur'an.

    "Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32). ... 

    Sikap takfir semacam ini pernah terjadi pada masa lalu dalam sejarah Islam. Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian berbuntut panjang hingga memicu terjadinya perang shiffin antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, dan perang jamal antara Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina ‘Aisyah r.a, adalah akibat dari sikap mengkafirkan orang lain (takfir). Semuanya adalah sahabat dan keluarga Nabi Saw. yang kita hormati. Namun, akibat perbedaan politik yang dibungkus dengan argumentasi agama sebagian pihak mengkafirkan pihak lain. Kejam fitnah itu mengadu keluarga Rasulullah Saw. 

    Khawarij: Ali dan Mua'wiyah adalah Kafir 

    Setelah terjadinya arbitrase terdapat 3 kelompok politik yang saling bersebrangan. 1. Kelompok mu'awiyah, 2. Kelompok pengikut setia Ali bin Abi Thalib (Syi'ah), dan 3. Kelompok yang tidak setuju atas adanya arbitrase Ali bin Abi Thalib dan Mua'wiyah pada perang shiffin. Kelompok ini dikenal dengan Khawarij.

    Dalam pemahaman kelompok Khawarij bahwa Mu'awiyah adalah kafir karena dia melakukan makar terhadap pemerintahan Islam. Ali bin Abi Thalib pun menjadi kafir karena telah setuju melakukan kompromi dengan orang kafir (Mua'wiyah). Akhirnya mereka merencanakan membunuh Ali bin Abi Thalib, Mua'wiiyah, Amr bin Ash (diplomat dari mua'wiyah), dan Musa Al-Asyari (diplomat dari Ali).

    Sikap takfiri sangat berbahaya, sebab mengklaim hanya dirinya yang benar dan yang berbeda pandangan dengannya adalah sesat. Sikap memonopoli kebenaran dan yang lain sesat adalah ciri yang melekat pada takfiri. Sikap menyesatkan dan menghalalkan darah muslim yanh bersilang pendapat ini memunculkan teror. Dengan kata lain, kelompok khawarij berujung pada munculnya terorisme. 

    Analisis dan tawaran

    Berawal dari kudeta dengan pembunuhan Utsman bin Affan berbuntut panjang hingga kini. Dahsyatnya fitnah itu sama atau bahkan lebih kejam daripada pembunuhan. Fitnah dan hoax itu dapat mengakibatkan terjadinya perang berkelanjutan dan dendam sejarah berkepanjangan. Peperangan dan pembunuhan lintas generasi terjadi akibat fitnah adalah fakta yang tidak terbantahkan.

    Sekte-sekte dan aliran-aliran dalam Islam bukanlah produk wahyu. Sekte-sekte dan aliran itu merupakan produk sejarah. Sunni dan Syiah adalah dua mainstream Islam yang sama-sama post-Quranic. Walaupun bibitnya sudah ada sejak masa Rasulullah masih hidup. Namun, terbentuknya dan massifnya setelah wahyu berhenti diturunkan dan setelah nabi Muhammad Saw wafat. Perselisihan paham antar sekte dam aliran berlangsung sejak terbentuknya aliran tersebut di masa-masa awal Islam sampai hari ini. 

    Saling perang ayat dan riwayat tak terhindarkan, bahkan tidak jarang saling mengkafirkan. Kontestasi perebutan pengaruh juga berlangsung dari dulu hingga sekarang dan kontak fisik sering tidak terhindarkan. Timbul pertanyaan, sebegitu parahkah perbedaan antar aliran-aliran dan sekte sehingga tak ada secercah harapan mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini? Bacalah sejarah agar harapan untuk saling menghargai! Meskipun banyak aliran dan sekte dalam Islam, namun yang paling patut diwaspadai adalah kelompok takfiri.

    Apabila sepakat untuk bersatu, maka mesti semua bersikap yang sama. Poin+poin yang mesti disepakati adalah sebagai berikut:

    Pertama, memasuk ruang dialog dengan melewati pintu gerbang yang sama, yaitu pintu gerbang etika dan akhlak yang baik. Kesepakatan untuk memastikan terjaganya etika merupakan salah satu kunci menemukan persamaan. Semua pihak mesti mengakui etika yang baik sebagai kebaikan universal. Mereka pun membutuhkan untuk diperlakukan secara etis, wajar, dan terhormat.

    Kedua, komunikasi berkelanjutan. Komunikasi yang terbangun mesti dialog berkelanjutan dan proaktif, bukan reaktif. Hal ini dapat lihat pada petunjuk Surah An-Nahl ayat 125 untuk berdialog dengan cara terbaik. Sebelum memastikan etika terjaga, maka lebih baik menunda dialog. Tidak ada satu kesepakatan yang baik yang didasari oleh kebencian dan ketersinggungan salah satu atau semua pihak.

    Ketiga, mendialogkan persamaan-persamaan. Hal-hal yang diyakini sebagai kebaikan dan kebenaran antara keduanya harus ditonjolkan. Jangankan sesama umat Islam, dialog lintas agama dan keyakinan pun harus dimulai dari persamaan-persamaan, apalagi sesama umat Islam pasti lebih memungkinkan. Kuncinya ada pada i'tikad baik dan kesepakatan untuk membicarakan sisi persamaan.

    Keempat, hindari untuk mengungkit perbedaan-perbedaan، apalagi hal-hal yang sensitif untuk disentuh. Hal-hal yang bisa memicu ketersinggungan antar-aliran dan sekte mesti dihindari. Keduanya mesti saling memahami mengenai aspek yang sensitif pada masing-masing kelompok. Karena sudah terlanjur berbeda, maka alangkah indahnya untuk saling menghargai. Keragaman adalah sunnatullah yang mesti disikapi secara tepat. Bukankah pelangi tampak indah karena kombinasi warna? Perbedaan bukan masalah, tapi masalahnya ada pada cara kita menyikapinya. 

    Kelima, tidak saling mengkafirkan. Kesepakatan untuk menghindari dan mengakhiri sikap saling mengkafirkan dan "monopoli kebenaran" adalah salah satu sikap untuk memelihara toleransi dan kedamaian bersama. Adapun soal seseorang menjadi kafir atau bukan, atau ahli neraka atau surga, itu sepenuhnya otoritas dan hak prerogatif Allah. 

    Tugas kita adalah mendakwahkan Islam. Dakwah adalah mengajak orang lain yang belum menjadi muslim untuk masuk Islam. Bukan sebaliknya, mengeluarkan orang muslim dari Islam (dengan mengkafirkan). Dan, berita dari Nabi Saw. bahwa pintu surga itu banyak. Boleh jadi salah satu kunci pintunya adalah menghargai dan menyikapi perbedaan dengan cara yang tepat. Pintu neraka juga - menurut Nabi Saw. - banyak. Boleh jadi, salah satu kunci pintu neraka adalah sikap mengkafirkan saudara yang muslim.

    Wallahu a'lam.