Penulis: Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 05-06-2021
Catatan Pendahuluan
Penegakan hukum yang ideal adalah berdasarkan keadilan untuk semua. Hukum hanya berpatokan pada keadilan, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam Islam, penegak hukum harus berlaku adil, tidak pandang bulu, mengadili tanpa kebencian, dan tidak mengikuti hawa nafsu. Sekurang-kurangnya empat prinsip itu adalah prinsip-prinsip penting yang harus dipegang teguh oleh Muslim yang berprofesi sebagai penegak keadilan.
Empat prinsip tersebut tentu bukan hal yang mudah. Namun bagaimanapun sulitnya, mesti diwujudkan. Hanya dengan penempatan cinta yang tepat yang memungkinkan mewujudkannya. Cinta kepada Allah mesti diposisikan di atas cinta kepada selain-Nya agar tidak baper (bawa perasaan) dalam menegakkan hukum. Prinsip keadilan karena Allah harus berada di atas perasaan.
Sekali lagi, prinsip-prinsip tidak mudah untuk diterapkan. Anda bisa membayangkan jika Anda seorang hakim yang mengadili orang tua sendiri, anak, atau saudara sedang Anda tau mereka dalam posisi yang salah. Atau Anda mengadili lawan yang Anda ketahui ia berada pada posisi yang benar. Saya yakin sulit untuk memisahkan antara rasa pribadi dan rasa keadilan. Namun bagaimanapun, tetaplah berlaku adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Penegakan hukum yang berkualitas adalah soal pembuktian iman dan cinta kepada Allah.
Prinsip Penegakan Hukum
Al-Qur'an memberi prinsip-prinsip yang tegas dalam menegakkan hukum.
Pertama, berlaku adil. Berlaku adil adalah perintah Allah. Jelas, bahwa ini adalah perintah Allah. Karena itu, jika kita tidak berlaku adil, itu menyalahi perintah. Yang artinya kita berdosa.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(Q.S An-Nisa: 58)
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk berlaku adil. Misalnya, Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 42 dan Al-Quran Surat An-Nahl ayat 90. Kedua ayat ini senada dengan ayat di atas.
Kedua, Tidak pandang bulu. Bahwa, berlaku adil itu pada semua orang. Meskipun terhadap kerabat, jika salah harus dikatakan salah. Tanpa pandang bulu, apakah itu terhadap orang kaya atau orang miskin. Tidak boleh pandang bulu. Ini juga perintah Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan untuk menjadi saksi, maka ketahuilah bahwa Allah Maha teliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Q.S An-Nisa: 135)
Ketiga, mengadili tanpa kebencian. Dalam mengadili suatu perkara, kita tidak boleh mengadili berdasarkan kebencian. Kebencian terhadap salah satu pihak atau kedua pihak. Sehingga, hakim memberikan hukuman lebih berat dari yang seharusnya. Atau sebaliknya, menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari yang seharusnya. Tidak mengadili berdasarkan kebencian, ini juga perintah Allah dalam Al-Quran.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Maidah: 8)
Keempat, tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu itu kecenderungan diri. Kemauan kita sebagai seorang manusia. Sebagai manusia, tentu kita ingin yang macam-macam. Dan keinginan semacam ini akan menyesatkan. Ini tidak diperbolehkan.
“Wahai Dawud, Sesungguhnya engkau Kami jadikan sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia secara adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat disebabkan karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S Shad: 26)
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat lain yang melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu. Terlebih lagi dalam mengadili. Kita tidak boleh mengadili berdasarkan hawa nafsu. Bahkan dalam banyak hal, kita tidak boleh menuruti hawa nafsu. Kita harus melihat aturan syariat, dan juga aturan hukum yang berlaku.
Jadi, berlaku adil, tidak pandang bulu, mengadili tanpa kebencian, dan tidak men?gikuti hawa nafsu. Paling tidak, empat hal itu adalah prinsip-prinsip penting yang harus dipegang teguh oleh kalangan Muslim yang berprofesi sebagai penegak keadilan.
Penegakan Pasal Hukum Miras pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Sebagai seorang Khalifah, Umar bin Khattab terkenal sangat tegas dan tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran. Dia menghukum semua pelaku pelanggaran tanpa pandang bulu, termasuk putranya sendiri, Abdurrahman.
Berdasarkan beberapa sumber sejarah, di masa Rasulullah Saw. sanksi bagi pelaku miras itu dicambuk 40 kali cambukan. Sedangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab 80 kali cambukan (dua kali lipat lebih berat). Ini adalah ijtihad Umar yang melihat bahwa sanksi itu bukan kuantitas melainkan lebih pada efek jera yang ditimbulkan dan tegaknya hukum yang berkeadilan.
Seperti diketahui, Abdurrahman merupakan salah satu putra Umar yang tinggal di Mesir. Dia telah melakukan pelanggaran dengan meminum khamr bersama dengan temannya hingga mabuk.
Abdurrahman kemudian menghadap ke Gubernur Mesir waktu itu, Amr bin 'Ash, meminta agar dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Amr bin 'Ash pun menghukum Abdurahman dan temannya dengan hukuman cambuk.
Akan tetapi, Amr bin 'Ash ternyata memberikan perlakuan yang berbeda. Jika teman Abdurrahman dihukum di hadapan umum, maka si putra Khalifah ini dihukum di ruang tengah rumahnya.
Khalifah Umar bin Khattab pun mendengar kabar itu. Dia kemudian mengirim surat kepada Amr bin 'Ash agar memerintahkan Abdurrahman kembali ke Madinah dengan membungkuk, dengan maksud agar si anak dapat merasakan bagaimana menempuh perjalanan dengan kondisi yang sulit.
Gubernur, Amr bin 'Ash kemudian melaksanakan isi surat itu dan mengirim kembali surat balasan yang berisi permohonan maaf karena telah menghukum Abdurrahman tidak di hadapan umum. Umar tidak mau menerima cara itu.
Karena mendapat perintah itu, Abdurrahman kemudian kembali ke Madinah sesuai perintah, yaitu dengan berjalan membungkuk. Dia begitu kelelahan ketika sampai di Madinah.
Tanpa memperhatikan kondisi putranya, Khalifah Umar bin Khattab langsung menyuruh algojo untuk melaksanakan hukuman cambuk kepada putranya. Seorang sahabat sepuh, Abdurrahman bin Auf pun mengingatkan agar Umar tak melakukan hal itu.
Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Abdurrahman telah menjalani hukumannya di Mesir. Apakah perlu diulangi lagi?” kata Abdurrahman bin Auf.
Tetap pada prinsipnya. Umar pun tidak mau menghiraukan perkataan Abdurrahman bin Auf. Dia meminta Algojo segera melaksanakan penghukuman itu.
Kemudian, Umar mengingatkan kepada seluruh kaum muslim akan hadis Rasulullah tentang kewajiban menegakkan hukum, “Sesungguhnya umat sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah karena apabila di antara mereka ada orang besar bersalah, dibiarkannya, tetapi jika orang kecil yang bersalah, dia dijatuhi hukuman seberat-beratnya.”
Pokoknya, Abdurrahman lalu dicambuk berkali-kali di hadapan Umar. Dia pun meronta-ronta meminta tolong agar ayahnya mengurangi hukuman itu, tetapi Umar sama sekali tidak menghiraukan.
Bahkan, teriakan Abdurrahman semakin menjadi, dan mengatakan, “Ayah membunuh saya.” Sekali lagi, Umar tidak menghiraukan perkataan anaknya.
Hukuman itu terus dijalankan sampai Abdurrahman dalam kondisi sangat kritis. Melihat hal itu, Umar hanya berkata, “Jika kau bertemu Rasulullah Saw, beritahukan bahwa ayahmu melaksanakan hukuman.”
Akhirnya, Abdurrahman pun meninggal dalam hukuman. Umar sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. Ini berdasarkan satu versi riwayat.
Berdasarkan sumber yang lain, disebutkan bahwa Abdurahman bin Umar kemudian menghadap ayahnya, Amirul Mukiminin Umar bin Khattab. Atas kesalahannya itu, Umar mencambuknya. Setelah itu, dia dikirim ke pengasingan.
Selama sebulan keadaannya baik-baik saja. Tetapi, karena takdir Allah, setelah itu dia meninggal. Orang-orang menyangka dia meninggal dunia karena dicambuk oleh Umar. Padahal, sebab yang sebenarnya bukan karena hukuman itu.
Saya tidak menyorot mana versi yang benar dari versi yang berbeda tersebut. Namun, yang saya ingin katakan bahwa penegakan hukum pada masa Khalifah Umar bin Khattab sama dengan bunyi teks Al-Qur'an dan petunjuk hadis penegakan hukum dimulai dari diri dan keluarga selanjutnya kepada yang lain (Q.S An-Nisa: 135).
Usai hukuman terhadap Abdurrahman bin Umar dijalankan, Khalifah Umar melakukan pelacakan terhadap siapa saja penyebar khamr. Tidak hanya peminum, bahkan sampai produsen dan penjual khamr pun mendapat hukuman yang berat.
Catatan Akhir
Dalam menegakkan hukum, Islam menganut prinsip keadilan, tidak pandang bulu, mengadili tanpa kebencian, dan tidak mengikuti hawa nafsu. Tampak Umar bin Khattab menghukum dua kali lipat kepada putranya bukan karena benci. Penegakan keadilan beliau terhadap putranya bikan karena tidak menyayangi putranya itu, melainkan karena beliau menempatkan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas cintanya kepada putranya. Inilah adalah pembuktian iman.
Selain itu, hukuman cambuk terhadap putra beliau menunjukkan keteladan pemimpin dalam menegakkan hukum yang tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Beliau berpegang teguh pada hadis Rasulullah Saw.
Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwa orang-orang Quraisy sedang menghadapi persoalan yang menggelisahkan, yaitu tentang seorang wanita tokoh Bani Makhzumiyah yang mencuri lalu mereka berkata, "Siapa yang mau merundingkan masalah ini kepada Rasulullah ﷺ ?" Sebagian mereka berkata, "Tidak ada yang berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah ﷺ . Usamah pun menyampaikan masalah tersebut lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan Allah?" Kemudian beliau berdiri menyampaikan khuthbah lalu bersabda: "Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya". (HR. Al-Bukhari No. 3475)
Penegakan hukum yang tidak pandang bulu.Khalifah Umar melaksanakan konsideran Al-Qur'an. “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS.An-Nisa’:135).
Umar bin Khattab menyayangi putranya, namun beliau sadar bahwa itu bukan miliknya. Putranya adalah milik Allah. Sementara Dia pula yang menurunkan ayat itu sebagai pedoman hidup. Beliau melaksanakan hak dan ketentuan Allah.
Penegakan hukum yang berkeadilan adalah pembuktian iman dan cinta kepada Allah dan Rasulullah Saw. Orang beriman menempatkan cintanya kepada Allah di atas daripada cinta kepada selain-Nya, “Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.”(Al-Baqarah: 165).
Wallahu a'lam
0 komentar