Oleh: Muhammad Yusuf
Gowa, 02/-03-2021
Pendahuluan
Dinamika perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia dari perspektif sejarah. Beberpa kalangan mengatakan bahwa Perguruan Tinggi Islam pertama di Indonesia adalah STI (Sekolah Tinggi Islam) didirikan di Jakartanpada tahun 1945, yang tiga tahun kemudian ditransformasi menjadi UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta. Pada tahun 1951, selanjutnya, pemerintah mendirikan PTAIN di Yogyakarta dengan menegerikan fakultas agama Islam pada UII. Di samping itu, pemerintah mendirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta pada tahun 1957.
Hasil perkawinan kelembagaan antara PTAIN dan ADIA melahirkan IAIN atau al-Jamiah al-Islamiyah al-Hukumiyah didirikan pada tahun 1960 di Yogyakarta. Cabang-cabang IAIN di daerah ditingkatkan statusnya oleh pemerintah pada tahun 1997 menjadi STAIN. Perkembangan paling signifikan terjadi pada tahun 2002 dimana beberapa IAIN dan STAIN dikonversi menjadi UIN. Penulis mengklaim bahwa format terakhir ini Abstrak: Tulisan ini berupaya menganalisis dinamika perkembangan Pendidikan
Transformasi Perguruan Tinggi Islam
Abuddin Nata dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia menulis, gagasan tentang perlunya perguruan tinggi Islam mulai dikemukakan secara luas pada 1930-an. Lewat tulisan-tulisannya, Mohammad Natsir menyambut baik gagasan ini. Sayangnya, cita-cita ini tidak dapat terlaksana lantaran terjadinya political instability (ketidakstabilan politik) di Indonesia.
Universitas Islam Indonesia (UII) tercatat sebagai universitas Islam pertama di Indonesia. Situs resmi UII mengisahkan, gagasan pendirian universitas ini berawal dari sidang umum Masjoemi (Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia) 1945 atau Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) 1945.
Pertemuan itu dihadiri beberapa tokoh, termasuk Bung Hatta, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan KH Wachid Hasyim. Mereka sepakat membentuk Sekolah Tinggi Islam (STI). STI berdiri pada 8 Juli 1945, kemudian berkembang menjadi Universitas Islam Indonesia pada 1947.
Pada 1960, langkah penting diambil untuk mendorong pengembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Langkah itu dimulai pada 1950 tatkala pemerintah mengambil alih Fakultas Agama Islam UII menjadi PTAIN di Yogyakarta. Di Jakarta, Departemen Agama juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 1957. Pendirian ADIA bertujuan meningkatkan kualitas pegawai negeri di bidang keagamaan.
Pada 1960, dilakukan penggabungan PTAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN pertama diresmikan di Yogyakarta pada 24 Agustus 1960 oleh Menteri Agama RI kala itu, KH Wahib Wahab. Pada tahap awal, IAIN ini memiliki empat fakultas. Yakni, Fakultas Ushuluddin dan Syariah di Yogyakarta, serta Fakultas Adab dan Tarbiyah di Jakarta. Inilah yang kemudian berkembang menjadi UIN Yogya dan UIN Jakarta. Pada waktu-waktu kemudian, IAIN mulai bertebaran di seluruh Indonesia, termasuk IAIN Alauddin Ujung Pandang (kini UIN Alauddin Makassar).
Pendirian perguruan tinggi Islam ini membawa dampak penting bagi kaum Muslim. Santri di pondok-pondok pesantren memiliki wadah untuk melanjutkan pendidikan tinggi mereka. Azyumardi Azra dalam makalah bertajuk "The Making and Development of Islamic Studies (IIS): A Tribute to Steenbrink and van Bruinessen", mengungkapkan, lulusan IAIN/UIN adalah pembentuk utama komunitas menengah Muslim di Indonesia. Lulusan IAIN/UIN turut menyumbang tingginya angka ledakan intelektual Islam pada tahun 70-an.
Studi Islam di IAIN/UIN, dapat dikatakan masih mencari arah. Azra menjelaskan, pengkajian Islam di Indonesia dibentuk oleh dua tradisi, yaitu tradisi Timur Tengah dan tradisi Barat. Masing-masing tradisi membawa pengaruh dan pendekatan berbeda dalam membentuk corak pengkajian Islam di UIN/IAIN.
Pada tahap awal, perkembangan studi Islam banyak dipengaruhi tradisi keilmuan Islam asal Timur Tengah. Pada waktu kemudian, perkembangan studi Islam menunjukkan arah berbeda seiring bertambahnya lulusan UIN/IAIN yang melanjutkan studi di Barat.
Studi Islam tidak lagi berdasarkan pada mahzab tertentu, tetapi berbagai perspektif. Kemudian, ada pergeseran studi Islam dari pendekatan normatif kepada pendekatan sosio-historis. Harun Nasution dan Mukti Ali merupakan lokomotif (tokoh) yang banyak memengaruhi arah perkembangan studi IAIN/UIN.
Transformasi IAIN ke UIN merupakan fase bersejarah dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Transformasi itu dimulai sejak zaman Malik Fadjar menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Pada 2002, IAIN Jakarta berubah menjadi UIN, dan dua tahun kemudian diikuti oleh IAIN Yogyakarta dan IAIN Malang. Sempat terhenti pada masa Maftuh Basyuni, transformasi berlanjut kembali pada masa Suryadharma Ali. Sampai saat ini, sudah ada sepuluh IAIN dan satu STAIN berubah menjadi universitas. Yaitu STAIN Malang yang melakukan loncatan spektakuler menjadi UIN Malang di kepemimpinan transformasional Prof. Imam Suprayogo.
Paradigma
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma dimaknai sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan atau dapat pula diartikan sebagai kerangka berpikir.
Berdasarkan makna dasar dari paradigma terebut, dapat dikatakan integrasi keilmuan menjadi ciri yang membersamai tranformasi kelembagaan. Dengan memilih integrasi keilmuan sebagai paradigma ilmu pengetahuan di PTAIN, seluruh disiplin ilmu-ilmu yang ada saling menyapa, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Kekuatan paradigma ini pada komunikasi dan kolaborasi. Kompetisi menjadi tersingkirkan, sebab ini akan menghemat terjadinya ledakan dan langkah maju bersama.
Keharusan Transformasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transformasi dimaknai sebagai perubahan rupa bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Intinya, transformasi itu meniscayakan terjadinya perubahan. Dalam konteks ini, perubahan yang diharapkan adalah perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam perspektif Islam, perubahan mesti dilakukan. Perubahan ke arah yang lebih baik diisyaratkan dalam Al-Qur'an surah Ar-Ra"du/13: 11. Dan, prinsip perubahan itu mengacu pada.kaidah "al-muhafazhatu 'ala al-qasim al-shalih wa al-akhdzu Nil hadis al-ashlah". Merawat bagian-bagian tradisi yang relevan dan melakukan transformasi yang lebih baik (lebih maju).
Keharusan transformasi bukan sekedar keinginan mengubah status kelembagaan dengan porsi anggaran yang lebih besar. Transformasi pelayanan kualitas dan jangkauannya juga mesti didorong seiring. Keterbatasan ruang gerak dan daya gerak menjadikan lembaga itu mesti bertransformasi secara kelembagaan.
Respon: Global, Nasional, dan Lokal
Karakter pendidikan Islam mengakumulasi tiga skala, skala global, nasional, dan lokal.
Pertama, Pendidikan Tinggi Islam harus mampu merespon isu-isu global dan berkontribusi secara global. Saat ini ketika globalisasi menjadi kaharusan bahkan kenyataan maka pendidikan dituntut untuk mampu tak hanya mampu merespon melainkan menfasilitasi dan mengantisipasi. Ini merupakan konsekuensi logis dari pendidikan Islam yang berorientasi untuk menebar misi universal rahmatan lil alamaiin.
Kedua, Pendidikan Tinggi Islam harus mampu memfasilitasi, merepon, dan berkontribusi secara nasional. Pendidikan Islam tidak hanya melakukan adaptasi apalagi adopsi, tetapi lebih dari itu, pendidikan tinggi Islam mampu memimpin perubahan untuk pembangunan nasional. Kemampuan berpikir akademisi harus mampu melampaui seorang Presiden dan oligarki. Ketika Presiden mengeluarkan Perpres untuk legalisasi miras sebagai alternatif ekonomi, maka seharusnya perguruan tinggi Islam tak hanya berkutat pada status hukum khamr yang haram. Itu sudah selesai. Fakultas ekonomi dan bisnis Islam sudah harus melampaui dan lebih baik solusinya daripada Perpres.
Ketiga, Pendidikan Tinggi Islam harus memperhatikan, mengadaptasi nilai-nilai kearifan lokal terutama yang masih relevan Relevan tidaknya suatu nilai kearifan lokal itu dilihat pada pertimbangan kemaslahatan dan kemudaratan. Jika nilai itu membawa kemaslahatan publik maka nilai itu mesti dijaga. Sebaliknya, jika nilai itu telah kehilangan relevansinya maka mesti ditinggalkan dan itulah hakikat transformasi pendidikan.
Tradisi lokal itu dapat menjadi sumber inspirasi dan pertimbangan kebijakan terutama kebijakan OTODA dan Otsus. Al-'adatu muhakkamah. Al-Muhafazhatu 'ala al-qadims Salih wal akhzu bil jadidil ashlah. Merawat hal-hal lama yang relevan dan mengadaptasi hal-hal baru yang lebih relevan. Kearifan lokal merupakan satu sumber nilai.yang dijaga oleh suatu komunitaa masyarakat karena dipercaya kebaikannya.
0 komentar