BLANTERORBITv102

    Konflik antara Ali dan Muawiyah

    Senin, 08 Maret 2021

    Penulis: Muhammad Yusuf

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Makassar, 05-06-2021

    Catatan Pendahuluan

    Sengketa Politik Ali dan Muawiyah

    Konflik politik dan perebutan kekuasaan kerap kita jumpai dalam catatan peradaban manusia. Tidak terkecuali dalam sejarah peradaban Islam.Bahkan, gejala semacam itu sudah ada sejak era para sahabat yang merupakan generasi terbaik sepanjang perjalanan dunia Islam.

    Perseteruan politik antara Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sufyan pada penghujung periode pemerintahan Khulafaur Rasyidun menimbulkan sejumlah perang saudara. Di antaranya yang paling terkenal adalah Pertempuran Shiffin yang terjadi pada 37 Hijriah atau hanya berselang 25 tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw.

    Catatan tersebut menunjukkan, konflik berdarah yang melibatkan sesama Muslim sudah ditemukan pada masa-masa permulaan Islam. Benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam pada era sahabat semakin berkembang sejak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan RA di tangan kaum pemberontak pada 17 Juni 656 (18 Dzulhijjah 35 H).

    Ali yang kemudian dipilih menjadi khalifah pengganti Utsman, menghadapi situasi negara yang tidak stabil lantaran adanya perlawanan dari beberapa kelompok, termasuk dari Muawiyah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Syam (Suriah).

    Muawiyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman, menginginkan supaya pembunuh Utsman diadili. Namun, Muawiyah menganggap Ali tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut, sehingga gubernur Suriah itu pun memberontak terhadap sang khalifah.

    Menanggapi pemberontakan Muawiyah, langkah pertama yang diambil Ali adalah mencoba menyelesaikan masalah secara damai, yakni dengan mengirimkan utusannya ke Suriah.

    “Proses negosiasi tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga Ali pun memutuskan untuk memadamkan pemberontakan Muawiyah lewat  jalan perang,” tulis pengamat sejarah Islam asal India, Akramulla Syed, dalam artikelnya, The Battle of Islam at Siffin.

    Untuk menghadapi Muawiyah, Khalifah Ali mengirim pasukan sebanyak 90 ribu tentara ke Syam yang dibagi menjadi tujuh unit. Sementara, Muawiyah yang didukung oleh 120 ribu prajurit juga membagi pasukannya menjadi tujuh kelompok.

    Ketika pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di wilayah Shiffin, kedua pihak langsung mengambil posisi siaga. Namun, sebelum berperang, kedua kubu terlebih dulu mengirim utusannya masing-masing untuk melakukan perundingan, dengan harapan pertempuran bisa dihindari.

    Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan, Abu Muslim al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan mengatakan, “Apakah engkau menentang Ali?”

    Muawiyah lantas menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah daripada aku. Akan tetapi, seperti yang kalian ketahui Utsman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepada Ali, serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.”

    Namun, Ali tetap tidak mau mengabulkan permintaan Muawiyah tersebut atas pertimbangan kemaslahatan.

    Negosiasi kembali menemui jalan buntu, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Kontak senjata yang paling sengit antara kubu Ali dan Muawiyah berlangsung di tebing Sungai Furat selama tiga hari, yakni dari 26-28 Juli 657 (9-11 Safar 37 H).

    Pertempuran atau peperangan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan Perang Shiffin.Sejumlah sahabat yang memimpin pasukan di pihak Ali antara lain adalah Malik al-Ashtar, Abdullah Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, dan Khuzaimah bin Tsabit. Sementara, pasukan Muawiyah diperkuat oleh Amr bin Ash dan Walid bin Uqbah

    Analisis

    Kudeta yang dilakukan terhadap Utsman BB in Affan berbuntut pada terjadinya perang antara umat Islam, yaitu pasukan pendukung Ali Abi Thalib dan pasukan pendukung Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tidak adanya benang merah antara penuntut keadilan dan periimbangan kemaslahatan. Kemaslahatan yang menjadi prioritas dan keadilan sebagai doktrin mendasar Islam. Jalan buntu untuk mempertemukan keduanya berujung pada pecahnya perang shiffin. 

    Kegagalan diplomasi antara kedua kubuh telah menelan korban.Konflikikik kepentingan politik yang berlangsung antara Ali dan Muawiyah telah membawa dampak teologis. Argumen teologis menjadi argumen penguatan kepentingan politik. Ali bin Abi Thalib yang mengacu pada kemaslahatan dan tuntutan penegakan  keadilan Mu'awiyah atas terbunuhnya Utsman bin Affan adalah masalah yang pelik untuk diselesaikan.

    Sikap saling mengkafirkan (takfiri) pun tak terelakkan. Hal inilah yang membuat aliran-aliran teologis dalam sejarah Islam. Kepentingan politik dibungkus dengan isu atau argumen teologis. 

    Hal tersebut menunjukkan betapa besar dampak kudeta yang terjadi terhadap khalifah Utsman bin Affan berbuntut panjang. Pembunuhan Utsman yang berorientasi politik dibungkus dengan label amar ma'ruf dan nahi mungkar. Hal ini bertujuan untuk memprovokasi emosi masa pendukung untuk menyerang musuh politiknya.

    Hal ini memang sejarah, namun sangat berpeluang terjadi sepanjang sejarah. Tidak hanya di masa lalu, melainkan juga hari ini dan ke depan. Umat Islam mesti membaca dan memahami akar historis atas kejadian yang sama. 

    Kudeta yang terjadi jika tidak diselesaikan dengan tepat dan tidak menjamin keadilan maka berpotensi menimbulkan dendam berkepanjangan. Pada titik tertentu, terjadi konflik berdarah. Kudeta adalah kata yang paling sensitif bagi pihak yang kalah. Kekuasaan harus diatur. Aturan itulah yang akan membatasi kekuasaan. Penguasa cenderung mengakumulasi kekuasaan yang lebih lama dan lebih besar. 

    Dan Allâh Swt. berfirman: قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26].

     Kata tu'thi (memberikan) dan tanzi'u (mencabut) merupakan dua kata xang tidak berlawanan arah (antonim). Perama, kata "tu'thi" (memberikan). Artinya kekuasaan itu sesungguhnya pemberian dari kepada hamba yang Allah kehendaki. Kedua, kata "tanzi'u" (mencabut) menunjukkan bahwa ketika kekuasaan itu berada di tangan seseorang penguasa maka sulit - untuk tidak berkata mustahil - ia menyerahkan kepada yang lain. Berbagai upaya intuk mempertahankan, menggenggam erat, dan meneruskan.

    Jika penguasa ingin melanggenkan kekuasaannya maka dia berusaha membuat aturan yang memungkinkan ia lama menjadi penguasa. Jika tidak memungkinkan berkuasa lama karen aturan maka ia berupaya agar pelanjutnya (kadernya) yang melanjutkan.Untuk melepaskan, perlu dipaksa (dicabut). Cara mencabutnya bermacam-macam. Bisa jadi dengan mengkudeta, mengatur masa jabatan. Misalnya dengan membatasi maksimal dua periode.