BLANTERORBITv102

    KEBERPIHAKAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB KEPADA YANG LEMAH

    Jumat, 05 Maret 2021


    Penulis: Muhammad Yusuf

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Paccinnongan-Gowa, 06-03-2021

    Catatan Pendahuluan

    Pada tulisan sebelumnya, saya kemukakan bahwa Umar bin Khattab sangat tegas kepada putranya, Abdurrahman bin Umar dalam kasus pelanggaran miras. Beliau menerapkan sanksi atas pelanggaran pasal hukum miras berbeda dengan apa yang ada pada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. menerapkan cambuk 40 cambukan kepada pelaku. Sedangkan Umar menerapkan sanksi 80 cambukan kepada pelaku. Itu menunjukkan ketegasan beliau tanpa pandang bulu.

    Di balik ketegasan Umar beliau sangat lembut kepada orang-orang lemah dan kepada wanita. Anda mungkin masih ingat dengan tulisan sebelumnya, Umar mempunyai perasaan halus kepada istrinya. Begitu pula terhadap orang-orang miskin dan kelompok masyarakat marginal. Beliau memahami filosofi hukum syariat Islam, bahwa keadilan (al-'adalah) itu berbeda persamaan (al-musawah). Ada kalanya keadilan itu tercapai dengan keberpihakan.

    Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. sering mendorong keberpihakan kepada yang lemah. Bahkan orang miskin dan anak yatim - sebagai representasi masyarakat lemah - sesuai petunjuk dalam surah al-Ma'un, pemerintah wajib berpihak kepadanya. Bila sengaja mengabaikannya maka dikategorikan sebagai pendusta agama. Begitu juga terhadap janda-janda yang disebutkan dalam hadis, wajib dilindungi dan diayomi. Umar bin Khattab mampu menangkap maksud teks itu. 

    Hal tersebut juga merupakan amanat UUD 1945. Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mempunyai makna bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jadi, seluruh praktek yang menjadi sebab kemiskinan dan keterlantaran warganegara mesti dicegah, termasuk korupsi, penjualan aset negara pihak asing itu bertentangan dengan amanat konstitusi.

    Semangat Hukum Islam

    Umar bin Khattab meski dikenal tegas dalam menerapkan hukum, namun kecerdasan dan kecerdikannya dalam memaknai filsafat hukum dicatat apik dalam sejarah. Terobosan-terobosan ijtihad-nya sering tidak populis dan namun mampu menembus maksud syariat.

    Sebagaimana ditulis oleh Husein Haykal dalam Hayatu Muhammad, dalam kasus pencurian yang seharusnya dilakukan hukum potong tangan, Umar pernah menolak melaksanakannya dengan alasan bahwa pencurian itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (darurat). 

    Contohnya ketika seorang pembantu sedang mengambil sepotong makanan milik majikannya. Sang majikan lalu mengadukan permasalahan tersebut kepada Umar. Saat ditanya pada si pelakunya perihal perbuatannya mencuri barang milik majikannya, pencuri itu berkata bahwa ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut karena sudah beberapa hari keluarganya tidak makan. Dan ia terpaksa melakukan itu, karena majikannya belum membayar upahnya sebagai pembantu.

    Mendapati keterangan seperti itu, bukannya hukuman potong tangan yang diberikan Umar pada si pelaku, tetapi ia memerintahkan si majikan untuk menyantuni pembantunya yang telah mencuri tersebut. 

    Masih banyak sikap Umar yang sangat tegas dan terkadang menurut sebagian orang dianggap 'nyeleneh' dalam menetapkan hukum karena bertentangan dengan nas Alquran secara harfiah. Begitulah cara-cara sahabat Rasulullah Saw. dalam menetapkan hukuman dan memberlakukannya sesuai dengan bukti-bukti yang diberikan.

    Beliau mampu menangkap pesan moral dari sebuah teks hukum. Justru, terjadinya kasus pencurian itu disebabkan keterdesakan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa keluarganya yang sedang kelaparan akibat kekurangan makanan. Umar bin Khattab menggunakan pendekatan psikologi dan sosiologi hukum sebelum menetapkan sanksi hukum.

    Dalam kasus lain, Umar pernah menghentikan pemberian zakat pada golongan mualaf. Padahal, di masa Rasulullah Saw. dan Abu Bakar, yang baru masuk Islam senantiasa mendapatkan zakat, sebagaimana petunjuk Alquran bahwa yang berhak menerima zakat ada delapan golongan, yakni fakir, miskin, amil, gharimin (orang yang berhutang), mualaf, ibnu sabil, orang yang berjuang di jalan Allah, dan budak. (At-Taubah [9]: 60).

    Namun, setelah golongan mualaf itu keislamannya sudah kuat, maka Umar menghentikan memberikan zakat pada mereka. Salah seorang mualaf, yakni Uyainah bin Hisn, datang meminta zakat, dan Umar berkata: ''Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap dalam Islam atau hanya pedang yang ada (untuk kalian untuk dipenggal)?''

    Pemberian zakat kepada muallaf berlaku sementara. Makna muallafatu qulubuhum dipahami sebagai kondisi ini psikologis dan kondisi sosial yang memerlukan materi. Ini juga terjadi di zaman sekarang. Sekarang ini banyak orang-orang kaya yang masuk Islam dan Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Justru, kemampuan ekonominya sekelas dengan muzakki dan agniya'. Mereka pun masuk Islam karena keinginan sendiri tanpa paksaan dan bukan karena butuh bantuan dari kaum muslimin dari zakat mereka.

    Beberapa Catatan

    Sikap tegas dan lembutnya Khalifah Umar bin Khattab mengajarkan satu pemahaman bahwa kadang-kadang keberpihakan itu mewujudkan keadilan sosial. Saya  membayangkan seandainya Umar bin Khattab hidup dan memimpin saat pandemi Covid-19 saat ini. Saya membayangkan pula beliau akan mengayomi pada warga yang terkena PHK dan masyarakat yang kehilangan penghasilan akibat dampak pandemi. Beliau pasti menggunakan kelembutannya untuk berpihak kepada mereka.

    Sebaliknya, saya membayangkan pula betapa tegasnya beliau terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi di tengah penderitaan rakyat. Bisa jadi hukuman terhadap koruptor dari oknum pejabat, kontraktor, atau para pengusaha yang bersekongkol dengan penguasa menguras uang negara. Bisa jadi, sanksi tipikor dua kali lipat lebih berat daripada tipikor yang terjadi di luar masa pandemi. 

    Daripada membuat peraturan untuk melegalkan yang jelas haram maka akan lebih baik apabila pengawasan, pencegahan, hukuman terhadap koruptor itu ditingkatkan. Lebih baik memiskinkan koruptor dengan menyita sebagian besar hartanya untuk menolong para kaum lemah dari segi ekonomi. Hal itu bertujuan untuk mencegah kejahatan-kejahatan yang berpotensi terjadi akibat banyak pengangguran. 

    Tanpa UU Cipta kerja di pun mestinya penyelenggara negara dan pemerintahan melaksanakan itu. Sebab, itu menjadi bagian dari isi sumpahnya ketika dilantik sebagai pelayan publik untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. 

    Jadi menyediakan lapangan pekerjaan itu tugas negara dan hak setiap warganegara. Kewajiban negara untuk menjamin dan memastikan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara harus menetapkan standar kelayakan kehidupan warga negara. Kelayakan itu bukan hanya soal standar nominal penghasilan, tapi juga soal kelayakan bagi setiap warganegara untuk satu jenis pekerjaan yang tidak halal menurut agama. Bagi muslim miras itu satu jenis pekerjaan yang tidak layak.

    Logika pemerintah mestinya dibalik, yaitu fokus mencegah yang haram, yaitu mencegah korupsi. Bukan melegalkan yang haram dengan memberi izin penanaman modal pada industri usaha miras. Tidak semestinya panik dalam situasi krisis seperti saat ini. Sebab, peraturan yang melegalkan usaha miras itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi sumpah jabatan seluruh pejabat pemerintahan. Selain itu, peraturan sangat bertentangan visi untuk melakukan revolusi mental.