Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 14-03-2021
PROLOG
Ada dua hal yang membuat orang menjadi korban dan menyesal, yaitu kebodohan dan keserakahan. Pertama, ketiadaan ilmu atau ketidaktahuan seringkali menjadi sebab seseorang menjadi korban penipuan. Kedua, keserakahan membuat seseorang tak ingin berhenti dan terpuaskan. Tapi, tahukah Anda, ketidakpuasan seringkali menghasilkan kerakusan. Sedangkan kerakusan seringkali berujung penyesalan dan kehilangan segalanya.
Seseorang yang ingin selamat dari penipuan ia harus punya pengetahuan yang cukup tentang sesuatu hal. Selain itu, dibutuhkan sikap qana'ah agar tidak terjebak pada kerakusan. Dalam hidup ini ini, ada orang berikhtiar tapi tidak disertai kehati-hatian. Akibatnya, bertindak tanpa perhitungan yang cermat.
Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang bisnis ubi jalar. Karena penduduk suatu desa ingin mendapatkan keuntungan besar maka tanpa perhitungan yang cermat, mereka beramai-ramai menjual lalu membeli kembali karena mereka memburu keuntungan yang berlipat-ganda. Akibatnya, mereka menderita kerugian. Simak ceritanya!
BISNIS UBI JALAR
Suatu saat datanglah seorang pedagang bersama dengan beberapa orang asistennya ke sebuah desa, dan mereka bermaksud untuk berdagang dengan penduduk desa setempat.
Setibanya di lokasi, maka dikumpulkan-lah semua penduduk desa, termasuk kepala desa di balai desa, untuk diberitahu tentang rencana bisnis pedagang tersebut.
Sang pedagang menyampaikan, bahwa dia bermaksud untuk membeli seluruh ubi jalar di desa yang berada di sepanjang area perkebunan di desa itu, dan dia bersedia membayar Rp 500.000 untuk setiap 200 kg. 200 kg = 4 karung, 1 karung = 50 kg.
Keesokan harinya semua laki-laki di desa pergi ke kebunnya untuk memanen ubi jalarnya masing-masing. Yang belum punya pun mulai turun menggarap tanahnya yang selama ini menganggur bertahun-tahun. Sebagian lagi karena dipaksa oleh istri-istri mereka. Soalnya tetangga sudah panen dan sebentar lagi mereka dapat uang banyak dari hasil penjualan ubi jalar.
Hari pertama terkumpul 2.400 karung, dibayar lunas oleh sang pedagang dan dimasukkan ke gudang penampungan yang sudah disiapkan.
Penduduk desa gembira karena ubi jalar yang sebelumnya tidak ada atau sangat murah harganya, tiba-tiba dihargai mahal dan dibeli oleh saudagar. Lumayan kan? Ada harapan baru untuk sumber ekonomi keluarga di masa pandemi Covid -19 yang sudah berlangsung satu tahun lamanya. Daripada menjadi karyawan perusahaan, begitu terjadi pandemi mereka di-PHK. Mending tetap di kampung menanam ubi, dan tanaman lainnya. Begitu percakapan mereka terjadi.
Hari kedua terkumpul 2.000 karung, dibayar lunas oleh sang pedagang bermodal itu.
Hari ketiga terkumpul 1.500 karung dibayar lunas juga oleh sang pedagang berduit itu.
Sampai sepekan berlangsung, pada hari ketujuh, total sudah terkumpul 12.000 karung dan semuanya sudah dibayar lunas oleh pedagang hebat itu, dan disimpan di sebuah gudang besar milik pengusaha ubi jalar itu.
Karena laris manis, maka semua warga turun menanam. Harga makin naik dari hari ke hari. Bahkan, diantara mereka ada menanami sawahnya dengan ubi jalar. Padahal, biasanya ditanami padi, jagung, kacang tanah, atau kedelai. Tahun ini semua menanam ubi jalar. Kan, kalau harga ubi mahal maka mudah membeli beras untuk makanan pokok. "Pikir mereka".
Akhirnya, sang saudagar mengumumkan bahwa dia menaikkan harga belinya, dari Rp 500.000/200 kg menjadi Rp 750.000/200 kg atau 4 karung. Apalagi ada yang men-share berita bahwa pandemi masih lama dan salah satu obatnya adalah ubi jalar. Meskipun itu berita hoax. Tapi mereka percaya, maka makin giat mereka menanam ubi jalar.
Para penduduk desa kembali bersemangat untuk menambah luas lahan perkebunan ubi jalar mereka, walaupun sudah susah untuk mendapatkannya. Hutan pun, ditebang, dibakar, dan disemprot racun untuk alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan ubi jalar. Hutan digunduli. Begitu tiba puncak musim hujan maka banjir lumpur pun menenggelamkan sebagian besar are perkebunan ubi. Begitu juga banyak ternak yang tenggelam dan mati. Mirip yang pernah terjadi di Masamba dan Kalimantan Selatan.
Meski begitu, akhirnya hanya terkumpul 800 karung ubi jalar dan dibayar lunas oleh saudagar seharga Rp 750.000/200 kg.
Karena banjir lumpur akibat longsor dari hutan yang telah digunduli. Seminggu kemudian tidak ada penduduk desa yang membawa ubi untuk dibeli oleh pedagang. Akhirnya saudagar menaikkan harga beli ubi jalar menjadi Rp 1.000.000/200 kg.
Karena harga yang makin melambung maka penduduk desa kembali bersemangat untuk menanam ubi jalar, meskipun sangat sulit untuk digarap karena bekas timbunan lumpur.
Semua orang di desa pergi ke area perkebunan mereka, laki-laki dan wanita, tua dan muda. Semuanya pergi turun memperbaiki are perkebunan ubi jalar. Bahkan di bawah komando kepala desa bersama aparatnya, mereka bekerja keras.
Pada akhirnya, hanya bisa terkumpul 200 karung, dan semuanya dibayar lunas oleh pedagang bermodal itu.
Menurunnya, jumlah hasil panen ubi jalar membuat pedagang untuk lagi dan lagi menaikkan harga beli komoditi ubi jalar menjadi 3 kali lipat, yaitu Rp 3.000.000/200 kg, tetapi sang saudagar harus kembali ke kota selama sebulan untuk mengambil uang tunai, agar bisa membayar lunas ubi jalar yang akan dibeli lagi.
Keesokan harinya, setelah pedagang ubi itu pergi ke kota, salah seorang asisten atau anak buahnya kembali mengumpulkan seluruh warga di balai desa. Termasuk kepala desa dan aparatnya.
Sang anak buah pedagang ubi itu menawarkan kepada penduduk desa, bagaimana kalau warga desa membeli semua ubi yang ada di gudang pedagang ubi jalar seharga Rp 2.500.000/200 kg dan kemudian penduduk desa dapat menjualnya kembali kepada pedagang (bosnya) tersebut seharga Rp 3.000.000/200 kg, setelah pedagang itu kembali dari kota.
Sang asisten (anak buah) akan bilang kepada bosnya bahwa pintu gudang itu rusak dan gudang pun rusak serta jebol saat banjir melanda desa itu, sehingga kumpulan ubi jalar yang ada di gudang itu sebagian besar hanyut dan sebagiannya lagi rusak membusuk. Tentu saja alasan itu logis, kan?.
Akhirnya, penduduk desa setuju untuk membeli ubi-ubi itu di dalam gudang tersebut dari sang asisten (anak buahnya), karena sudah terbayang keuntungan Rp 500.000/200 kg tanpa harus repot menanam dan menggarap area perkebunan yang sudah tenggelam oleh banjir lumpur dan tanah longsor.
Masing-masing penduduk desa akhirnya mengumpulkan uang, ada yang mengambil dari tabungan, pinjam dari saudara, menggadaikan emas, pinjam dari bank, jual motor, jual tanah, traktor, sapi, dan sebagainya.
Setelah seluruh ubi di gudang saudagar habis dibeli oleh penduduk desa, pada malam hari sang asisten pergi secara diam-diam dari desa tersebut dengan membawa seluruh uang hasil penjualan ubi milik bosnya.
Keesokan harinya, tinggallah penduduk desa terbengong-bengong, sang asisten telah pergi dan sang pedagang tidak pernah kembali lagi ke desa itu.
Penduduk desa menangis dan menderita karena menyimpan ribuan karung ubi jalar, tidak mempunyai harta benda, mempunyai hutang dan ubi membusuk tak laku.
HIKMAH & I'TIBAR
Dari ilustrasi di atas, percaya atau tidak, sang saudagar dengan omzet 8,125 milyar dan dengan hanya mengeluarkan modal 1,7 milyar, mendapatkan laba bersih dari berdagang monyet sebesar 6,425 milyar rupiah.
Beberapa hal dapat dipetik. Pertama, kehidupan bernegara. Dalam konteks bernegara, pedagang diandaikan orang asing pemilik modal (oligarki). Asisten adalah pihak yang membantu turun ke lapangan melancarkan bisnisnya. Kepala desa diandaikan pemimpin atau penyelenggara pemerintahan. Penduduk desa adalah rakyat Indonesia. Demi tambang emas, penduduk Papua hanya menderita akibat lumpur Lapindo, kekayaan alamnya dikuasai dan dikuras oleh pihak asing. Alih fungsi lahan hutan adat kalimantan menjadi area perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara mengakibatkan banjir dan longsor. Kekayaan diambil pemilik modal asing makin kaya.
Kedua, Cara pandang masyarakat. Dalam konteks cara berpikir masyarakat, seringkali mereka cenderung melakukan hal yang sama. Persaingan pun terjadi, iri dan dengki menyertai. Perang dingin pun menyusul terjadi. Semua menanam ubi, membuat usaha yang sama, akhirnya saling mematikan usahanya. Mestinya, saat ramai-ramai menanam ubi, yang lain jangan ikut-ikutan. Tetaplah ada yang tanam padi, jagung, kacang sebab pasti dibutuhkan. Krisis terjadi akibat kebutuhan meningkat, sedangkan persediaan dan pasokan terbatas. Masyarakat desa dan kepala desa berpikir sama. Mestinya, sebagian cerdas membaca peluang. Teori ekonomi mengatakan, jika kebutuhan dan permintaan meningkat, sementara persediaan barang terbatas maka harga akan naik.
Ketiga, Dunia Pendidikan. Dalam dunia pendidikan, ada kecenderungan terdapat jurusan tertentu yang peminat/pendaftarnya membludak. Di sisi lain, ada juga jurusan tertentu sepi peminat. Jurusan yang membludak peminatnya, tentu persaingannya super ketat. Sebaliknya, yang sepi peminat, harapan dan peluang lulusnya sangat besar. Ketika menjadi alumni (sarjana) nanti maka pesaingnya untuk mendapatkan pekerjaan, misalnya jadi PNS juga membludak. Syukur-syukur jika formasinya juga banyak. Sedang sarjana dari jurusan sepi peminat akan menjadi unik dan langka. Bahkan kadang ada wilayah tertentu yang kosong pendaftarnya. Jadi, memilih jurusan bukan soal trendy (ikut trend) dan melayani image yang berkembang, melainkan membaca peluang ke depan.
Keempat, untuk orang yang melaju karirnya. Nah, di ‘bisnis ubi jalar’ ini ada dua jenis ‘games’ yang dimainkan: (1). Commodity Mining / Harvesting = Greedy Games (serakah). Yang paling diuntungkan adalah orang-orang yang berjualan perangkat untuk mining dan harvesting komoditi. (2) Commodity Trading = Gambling Games (judi). Yang paling diuntungkan adalah para penyelenggara perdagangan (jual/beli) komoditi.
Sikap penduduk desa tadi, adalah contoh keserakahan yang berujung pada penyesalan dan penderitaan. Ungkapan bijak orang Bugis berkata, "Ngowa kella-kella sapu ripale paggangkanna". Artinya, ketamakan yang tak terkendali akan kehilangan segala-galanya.
Jika sudah tepat posisimu atau pekerjaanmu, ibadahmu tidak terganggu, boleh jadi Allah yang menempatkan-mu di situ. Jika Anda berpindah sendiri, mungkin Anda memang berhasil, tapi belum tentu Allah meridhai sehingga akhirnya binasa. Mintalah ridha Allah atas segala yang Anda kerjakan dan jangan tamak apalagi curang dalam karir jabatan.
Ciri orang yang diridhai karirnya adalah apabila ketaatan dan kesalehannya bertambah. Sebaliknya, orang yang tidak diridhai makin berkurang ketaatannya. Bahkan, jika ada orang meningkat karirnya sementara grafik ketaatannya menurun maka itu bukan nikmat, tapi itu istidraj (QS Al-Qalam, 68:44-45).
Wallahu a'lam.
0 komentar