Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 31-03-2021
Prolog
Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang larangan merusak rumah ibadah agama lain. Tulisan ini sebagai respon akademik terhadap aksi Bom Bunuh Diri di Makassar baru-baru ini. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi pada tanggal 28-03-2021 di Depan Gereja Katedral Makassar jelas mengusik keamanan dan ketentraman masyarakat Kota Makassar. Banyak pihak mengatakan, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda yang mendahului, makanya cukup mengagetkan.
Meskipun ada pula pihak mengatakan, teror itu biasanya terjadi apabila ada kasus besar yang berproses untuk diungkap atau kisruh politik. Mungkin analisis itu ada benarnya. Namun, Saya berpandangan dan pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisan bahwa aksi teror itu bisa terjadi kapan dan di mana saja. Motifnya pun bisa berbeda-beda. Pemahaman agama bisa jadi dieksploitasi untuk mewujudkan niat jahat tersebut.
Menimbang Beberapa Hasil Riset
Di saat tenang dan di tempat yang dianggap tanpa potensi itu pun, aksi teror dan serangan bom bunuh diri bisa terjadi. Di tahun 2017-2018, saya ditunjuk menjadi narasumber mewakili PTKAIS di Makassar tentang moderasi beragama untuk penelitian yang dilakukan oleh tim Kementerian Agama Pusat Jakarta. Saya mengaskan bahwa Makassar khususnya dan Sulsel umumnya hidup rukun, toleran, namun potensi terorisme itu tidak semata-mata produksi lokal. Jaringan organisasi teroris transnasional justru harus diwaspadai di semua wilayah kapan saja.
Selain itu, sejak 2019-2021 kami melakukan penelitian kolaboratif internasional Indonesia -Australia tentang moderasi beragama. Hanya saja, ditunda lawatan ke Australia karena lock down akibat pandemi Covid-19 sejak akhir 2019. Riset kami merekomendasikan agar agama dan kearifan lokal harus diintegrasikan, diperkuat, dan tidak boleh dipertentangkan sebab di Sulsel sistem pangadereng (Bugis) atau pangadakkang (Makassar) menjadikan agama sebagai subsistem dalam kehidupan masyarakat Sulsel yang disebut dengan sara'. Kedua sumber nilai luhur itu harus dirawat dengan baik sebagai upaya mencegah potensi radikalisme dan terorisme di wilayah ini.
Sekali waktu, saya pernah diundang menjadi penanggap laporan riset yang digelar di sebuah hotel di Makassar. Berdasarkan sebuah riset yang dilakukan di 15 propinsi di Indonesia, Sulawesi Selatan termasuk propinsi yang memiliki potensi konflik internal umat Islam dan terorisme yang mesti diwaspadai, karena Makassar merupakan gerbang Kawasan Timur Indonesia. Dan, Makassar memiliki potensi konflik internal umat Islam yang mesti diwaspadai terutama pada tahun-tahun politik.
Mirip dengan hal itu, dalam riset yang pernah saya lakukan, Alm. K.H. Abd Muin Yusuf, Ketua Umum MUI Sulsel pada masanya pernah mengatakan, Sulawesi Selatan nyaris terjadi krisis kepemimpinan umat Islam. Yang banyak tampil adalah pimpinan ormas. Dan antar ormas tersebut seringkali berjalan masing-masing tanpa komunikasi lintas ormas secara etis, terbuka, dan berkesinambungan. Bahkan, tak jarang saling bersaing dan saling mencurigai. Keadaan ini sering dimanfaatkan dan diperkeruh oleh pihak yang ingin menciptakan konflik. Kalau ini tidak diantisipasi maka dapat meningkat menjadi aksi teror hingga aksi bom bunuh diri.
Sebuah analisis mengungkapkan, Sulawesi Selatan memiliki sejarah tentang gerakan Islam. DI/TI merupakan salah satu gerakan Islam dipimpin oleh Abd. Kahar Muzakkar. Gerakan ini sesungguhnya adalah gerakan politik yang menggunakan simbol agama. Namun, menurut hemat saya, tentu hal itu tidak selalu memiliki keterkaitan langsung dengan gerakan teror dan aksi bom bunuh diri yang terjadi. Aksi teror dan bom bunuh bisa terjadi karena berbagai sebab dan motifnya.
Aksi teror dan bom bunuh diri bisa pula terjadi tanpa ada kaitan sama sekali dengan sejarah Sulawesi Selatan. Kesalahpahaman terhadap agama pun bisa menjadi salah satu sebabnya. Oleh karena itu, semua analisis tersebut berperan sebagai perbandingan yang harus diuji dan dianalisis secara metodologis dan akademis. Jaringan organisasi teroris transnasional juga patut dianalisis oleh pihak intelijen. Kita tidak bisa gegabah dan latah menarik kesimpulan yang justru tidak bermaslahat.
Serangan Bom Bunuh Diri
Aksi bom bunuh diri yang terjadi di Makassar baru-baru ini dan beberapa aksi serupa di tempat lain itu memiliki bisa jadi memiliki hubungan kronologi historis global. Pendekatan historis dalam skala global bisa jadi lebih memungkinkan dijadikan sebagai pendekatan ketimbang relasi historis lokal.
Serangan bom bunuh diri pertama Hizbullah itu mendapat perhatian dunia, dan malah ditiru oleh lawan-lawannya di dalam perang saudara Lebanon, yaitu kubu Kristen dan kubu sekuler. Akhirnya selama bertahun-tahun Lebanon menjadi medan serangan-serangan bom bunuh diri dari berbagai kubu yang berperang, dan baru mereda di akhir dekade 1980-an.
Taktik bom bunuh diri Hizbullah, rupanya memberi ide pula pada kelompok pemberontak di Srilanka, Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE) atau Macan Tamil. Banyak milisi Macan Tamil yang dikirim ke Lebanon untuk belajar kepada Hizbullah mengenai taktik serangan bom bunuh diri. Gerilyawan Tamil itu lalu mempraktikannya dalam pemberontakan di Srilanka, dan diberi wadah khusus yang diberi nama Macan Hitam.
Terhitung sejak 1987 sampai 2003, LTTE melancarkan setidaknya 137 serangan bom bunuh diri. Dari serangan sebanyak itu, mereka berhasil membunuh dua kepala negara, yaitu Perdana Menteri Srilanka, Ranasinghe Premadasa, dan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi. Lima anggota kabinet Srilanka juga tercatat jadi korban serangan bom bunuh diri LTTE.
Serangan bom bunuh diri LTTE berhenti pada 2009, setelah pemimpin mereka, Vellupillai Prabakharan tewas dibunuh pasukan Srilanka. Walau sekarang LTTE telah dimusnahkan, namun organisasi teror itu ikut memberi kontribusi besar bagi peralatan serangan bom bunuh diri, yaitu sabuk bom, yang bisa dikenakan di balik pakaian. Sabuk bom hasil kreasi LTTE itu di kemudian hari ditiru dan digunakan oleh para pelaku bom bunuh diri di Afganistan, Irak, dan Pakistan.
Berbagai serangan bom bunuh diri oleh LTTE juga semakin membuktikan, bukan hanya kelompok fanatik agama yang sanggup melakukan tindakan fatal itu, tapi juga kelompok yang tidak memiliki agenda keagamaan juga sanggup melakukannya.
Memasuki era 1990-an, serangan bom bunuh diri merambah ke Israel, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina, yaitu Hamas dan Jihad Islam. Serangan bom bunuh diri terhadap target-target di Israel itu memiliki kaitan langsung dengan Hizbullah, karena partai itulah yang melatih anggota Hamas dan Jihad Islam dalam melakukan serangan bom bunuh diri yang efektif.
Serangan Hamas dan Jihad Islam, memiliki motif yang sama dengan Hizbullah di Lebanon, yaitu fanatisme agama yang berkelindang dengan kepentingan politik. Namun, pada awal 2000-an, serangan bom bunuh diri terhadap Israel mulai dilakukan oleh kubu sekuler di Palestina, yaitu Fatah melalui Brigade Al-Aqsa sebagai sayap militernya.
Jika merujuk kepada catatan Action On Armed Violence, kelompok-kelompok perlawanan Palestina tercatat melakukan hingga 103 serangan bom bunuh diri ke Israel, dan serangan itu banyak yang ditujukan secara langsung ke penduduk sipil Israel. Total korban serangan bunuh diri Palestina tercatat sebanyak 742 orang, dan melukai 4.899 orang. Namun, dalam data pemerintah Israel, antara 2000 sampai 2005 terjadi 147 serangan bom bunuh diri, dan aparat Israel berhasil menggagalkan 450 upaya serangan bom bunuh diri ke Israel.
Selanjutnya, Palestina mengajukan pembenaran atas serangan bom bunuh diri Palestina ke populasi sipil Israel. Dalam pandangan kelompok perlawanan Palestina, Israel adalah negara militer, karena seluruh warga negaranya wajib mengikuti program wajib militer, dan dengan demikian seluruh warga Israel dapat dipandang sebagai personel militer. Selanjutnya, warga sipil Israel adalah perpanjangan tangan negara Israel dalam program pendudukan dan perluasan permukiman Israel ke wilayah Palestina. Dan yang paling mendasar, kelompok perlawanan Palestina memandang serangan bom bunuh dirinya sebagai aksi balasan atas pembunuhan yang dilakukan militer Israel kepada banyak warga sipil Palestina.
Bom Bunuh Diri sebagai Metode
Serangan-serangan bom bunuh diri Palestina menandai era bom bunuh diri yang ditujukan untuk meneror seluruh populasi musuh, tidak hanya militer saja. Bom bunuh diri ditempuh untuk membuat ketakutan terhadap populasi musuh. Dengan kata lain, bom bunuh diri merupakan pola lama.
Namun, perkembangan selanjutnya, serangan bom bunuh diri dijadikan metode oleh kelompok teroris transnasional, Al Qaeda. Berbeda dengan Hizbullah di Lebanon, atau Hamas, Jihad Islam, dan Fatah di Palestina, yang melakukan serangan bom bunuh diri demi kepentingan agama, politik, dan wilayah nasional mereka, kelompok teroris seperti Al Qaeda mengobarkan perang dengan alasan agama dan untuk mengusir pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya dari negara-negara muslim, tetapi tak ada agenda nasionalisme—bandingkan misalnya dengan Hizbullah, Hamas, dan LTTE. Artinya, Al Qaeda tidak terlihat memiliki kecenderungan untuk melakukan teror demi mendapatkan wilayah teritorial atau untuk mendirikan negara, dan anggotanya berasal dari berbagai negara, juga memiliki organisasi-organisasi afiliasi di berbagai negara.
Anehnya, Al Qaeda sendiri lahir dari perang antara Uni Soviet (Rusia) dengan Afganistan, di mana Amerika Serikat dan Arab Saudi memberikan dukungan berupa uang dan senjata kepada gerilyawan Afganistan dan milisi-milisi muslim dari berbagai negara—termasuk juga Indonesia—untuk melawan invasi Uni Soviet terhadap Afganistan. Al Qaeda terbentuk dari milisi-milisi itu dan malah menyerang balik kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, setelah Uni Soviet meninggalkan Afganistan.
Osama bin Laden
Al Qaeda melancarkan serangan bom bunuh diri pertama kali pada 1995 ke markas militer Amerika Serikat di Arab Saudi, yang menewaskan lima orang. Lalu pada 1998 pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden mengeluarkan fatwa yang menyatakan seluruh warga Amerika Serikat adalah target serangan. Pada 7 Agustus 1998 Al Qaeda melancarkan dua serangan bunuh diri secara bersamaan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania, membunuh 223 orang.
Kemudian pada 11 September 2001, Al Qaeda melancarkan serangan bunuh diri dengan menggunakan dua pesawat maskapai sipil, meledakkan gedung kembar WTC di New York dan Gedung Pentagon, yang menewaskan hampir 3.000 orang, dan membuat dunia terbakar dalam perang melawan terorisme sampai hari ini.
Perang Melawan Terorisme
Perang melawan terorisme, yang menempatkan Afganistan sebagai sasaran pertama invasi Amerika Serikat dan sekutunya (karena Al Qaeda dilindungi Taliban, penguasa Afganistan saat itu), berlanjut ke Irak, yang membuat rezim Saddam Husein jatuh. Invasi Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak membuat dua negara itu porak-poranda dan menjadi ladang serangan teror yang berkepanjangan.
Di Irak saja, antara 2004 sampai 2010 terjadi setidaknya 1.003 serangan bom bunuh diri yang membunuh 12.000 warga sipil. Warga sipil bukan hanya jadi korban tak sengaja dalam peperangan, tapi memang menjadi target yang sesungguhnya. Serangan teror di Irak terjadi akibat berubahnya peta politik negara itu setelah kejatuhan pemerintahan Saddam Husein, di mana warga minoritas Sunni yang selama Saddam Husein berkuasa menjadi kelompok yang dominan dalam politik dan pemerintahan, digeser oleh mayoritas Syiah mendapat jatah lebih banyak dalam pemerintahan baru Irak.
Konflik Internal
Konflik antarsekte muslim di Irak itu menandai era pertarungan berdarah baru dalam skala besar, antara Syiah dan Sunni, dan meluas ke seluruh jazirah Arab, bahkan sampai juga ke Indonesia. Kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda—yang bermazhab Sunni—membonceng konflik itu, dan membuat peta konflik jadi semakin rumit. Serangan-serangan bom bunuh diri, selain menargetkan pasukan sekutu, juga meluas sampai ke pemboman masjid-masjid dan tempat-tempat suci kelompok Syiah.
Serangan teror kemudian meluas ke seluruh dunia, mulai dari serangan di dalam negeri Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, juga sampai Afrika, dan Asia—termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Serangan teror itu, bukan saja ditujukan menyerang institusi negara dan pemerintahan, tapi juga menyerang kelompok yang dianggap musuh, seperti para penganut Syiah dan pemeluk agama lain. Pola serangan seperti itu tercermin dalam aktivitas teroris dan kelompok muslim radikal di Indonesia
Epilog
Soal aksi bom bunuh diri itu berpotensi terjadi kapan dan di mana saja. Motifnya pun bisa berbeda-beda. Teror dan aksi serangan bom bunuh diri itu pola lama yang telah terjadi di masa lalu hingga hari ini. Yang mesti dilakukan adalah menjadikan aksi kejahatan tersebut sebagai musuh bersama.
Seluruh komponen bangsa harus sikap sama dalam menghadapi radikalisme dan terorisme, sebab keduanya merupakan potensi bagi terjadinya aksi nekad bom bunuh diri. Termasuk para ulama, muballigh, akademisi, kepala rumah tangga mesti melakukan pencerahan tentang kedamaian, toleransi, saling menghargai di tengah keragaman.
Sekolah dan universitas membuat perencanaan dan langkah-langkah pencegahan radikalisme dan terorisme melalui pendidikan. Sebab, pengkaderan lebih banyak menyasar kaula muda. Logika terorisme harus diluruskan dengan cara membalik bahwa pelaku bom bunuh diri takkan mendapatkan surga. Dan, bom bunuh diri adalah perbuatan haram. Orang mengakhiri hidupnya dengan bom bunuh merupakan su'ul khatimah.
Begitu pula pihak keamanan, lebih fokus pada langkah antisipatif, proaktif, berkesinambungan dalam mencegah terhadap potensi terorisme dan radikalisme. Berupaya memutus jaringannya. Pemerintah pun mesti fokus menciptakan kesejahteraan dan keadilan agar tidak tercipta kesenjangan sosial, dan menutup semua cela yang memicu terjadinya konflik dan aksi teror. Semoga tetap waspada selalu, tidak ada yang terprovokasi, dan hukum mesti ditegakkan seadil-adilnya.
0 komentar