BLANTERORBITv102

    BAHARUDDIN LOPA: PENDEKAR HUKUM TELADAN

    Sabtu, 20 Maret 2021

    Penulis: Muhamad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata, 18-03-2021

    A. PROLOG

    Pertama kali saya mengenal almarhum Prof. Baharuddin Lopa di pertengahan tahun 1990-an, yaitu ketika beliau diundang menjadi pembicara di IAIN Alauddin (kini UIN Alauddin) Makassar. Selanjutnya, saya membaca beberapa tilisan tentang beliau. Saya kagum dengan keberanian dan kejujurannya. Sepanjang karirnya dari bawah hingga menjadi Jaksa Agung dikenal jujur, berani, tegas, dan sederhana. Beliau dikenal sebagai pendekar hukum di Indonesia baik pada era orde baru maupun era reformasi. 

    Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa seorang pendekar hukum dari tanah Mandar Sulawesi Barat. Nama dan jejak karirnya dikenang terutama pada peringatan Hari Anti Korupsi. Beliau dijuluki sebagai - Jaksa Agung - Pendekar Hukum Dari Tanah Mandar karena komitmen dan sikapnya yang teguh dalam menegakkan hukum. 

    Saya sempat berkunjung ke tanah kelahiran beliau. Saya sempat menyimak cerita kesaksian orang Mandar yang kebetulan satu mobil dengan saya. Keterangan panjang lebar dari Pambusuang hingga Pinrang. Saya merekam dan baru kali ini saya sempat mencatat sebagiannya.

    Baharuddin Lopa, Jaksa Agung yang dijuluki Pendekar Hukum Dari Tanah Mandar. Itu sudah menggambarkan memori kolektif masyarakat yang terpatri kuat dan sulit dihapus. Hal itu menunjukkan sosoknya yang memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga hukum dan keadilan yang anti korupsi. Beliau dirindukan oleh para perindu keadilan hukum. 

    B. BIOGRAFI SINGKAT BAHARUDDIN LOPA

    Kelahiran & Karirnya

    Baharuddin Lopa, lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27 Agustus 1935 – meninggal di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 pada umur 65 tahun. Beliau adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001. 

    Baharuddin Beliau juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas HAM.

    Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Indonesia ke-23 dengan masa jabatan 9 Februari 2001 – 2 Juni 2001. Jaksa Agung Indonesia ke-17 dengan masa jabatan 2 Juni 2001 – 3 Juli 2001. Bupati Majene ke-1 dengan masa jabatan1 959–1960

    Baharuddin Lopa dan Bisma Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani.  

    Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.

    Wafatnya

    Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam. Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat. Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00.

    Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat. Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.

    Ia meninggal dunia di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB di Arab Saudi akibat gangguan pada jantungnya. Pada tanggal 5 Juli 2001 pukul 14.25 Pesawat Garuda Indonesia dari Riyadh membawa jenazah Lopa pulang ke tanah air. Keesokaan harinya Jenazah Baharuddin Lopa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Upacara Militer yang dipimpin oleh Menkopolhukam Agum Gumelar.

    Kematiannya bukanlah hanya sekedar duka, namun pertanda bagi kita generasi muda untuk maju meneruskan perjuangannya. Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.

    C. SIKAP DAN KARAKTERNYA

    Baharuddin Lopa di Mata Gusdur

    Baharuddin Lopa merupakan sosok yang ketika wafat pada tanggal 3 Juli 2001 membuat Gus Dur berkata "Malam ini, salah satu tiang langit bumi Indonesia telah runtuh". Kekaguman Gusdur atas integritas Baharuddin Lopa sebagai penegak hukum sering disampaikan dalam berbagai kesempatan.

    Jujur dan berani adalah dua sikap yang harus dimiliki seorang Jaksa. Kebal segala bentuk godaan haruslah menjadi sikap Jaksa juga. Bagi Lopa, haram hukumnya seorang jaksa menerima suap. Ketika baru diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa ingatkan publik melalui surat kabar, “Jangan berikan uang kepada para jaksa. Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apapun alasannya!”

    Tidak ada yang Kebal Hukum

    Kasus-kasus besar ditangani Kejaksaan Agung ketika Lopa menjabat Jaksa Agung. Salah satunya adalah kasus korupsi mantan Presiden Soeharto. Meski tak bisa menyeret Soeharto yang selalu mangkir dalam sidang dengan alasan sakit, setidaknya Lopa berhasil menyeret kerabat Soeharto, Bob Hasan Si Raja Hutan.

    Lopa pernah juga menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien yang dianggap kebal hukum. Gozal punya hubungan dengan pejabat negara. Bagi Lopa, tak seorang pun boleh kebal hukum. Gozal diseret ke pengadilan dengan tuduhan telah memanipulasi dana reboisasi Rp 2 miliar. 

    Selain itu, Lopa juga pernah menyelidiki para konglomerat Indonesia. Lopa pernah menyelidiki keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam berbagai kasus korupsi. Secercah harapan muncul dengan penunjukan Lopa sebagai Jaksa Agung. Sayangnya, Lopa hanya memanggul amanah tersebut selama sebulan sebelum akhirnya menghadap Yang Maha Kuasa.

    Sepak Terjangnya di Era Orde Baru

    Di masa Orde Baru, Lopa termasuk penegak hukum yang dianggap berbahaya. Hingga dirinya diberi jabatan awet sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari 1988 hingga 1995. Lopa tak disibukkan mengusut kasus lagi. 

    Lopa termasuk penegak hukum yang rajin menulis. Jika sedang santai dan tiba-tiba muncul ide di pikirannya, Lopa langsung menyuruh ajudannya mencatat apa yang diucapkannya. Setelah itu, Lopa mengembangkannya hingga kemudian menjadi sebuah buku.

    Anti Komunis

    Ketika bertugas di Kendari, Lopa sempat menulis buku. Diantaranya buku tentang bagaimana cara menanggulangi bahaya komunis di Sulawesi Tenggara. Ketika menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Lopa juga menulis buku tentang bahaya komunisme bagi demokrasi.

    Lopa juga dikenal melahirkan kata-kata mutiara yang diajarkannya kepada para bawahan. Di antaranya adalah “Janganlah takut menegakkan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum.” 

    Tetap Sederhana

    Lopa terlahir dari keluarga terpandang pada 27 Agustus 1935. Kakeknya, Mandawari, adalah Raja Balangnipa, salah satu raja terpandang di daerah Mandar. Kakeknya termasuk raja yang hidup sederhana. Hal ini menurun pada Lopa, yang dikenal bersahaja meski menjadi pejabat publik.

    Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dulunya berbisnis mobil, Lopa bukan tipe pejabat yang suka menerima upeti. Dia tidak suka memeras. Suatu hari, ketika masih mengurus bisnis mobil di Indonesia timur, Jusuf Kalla dapat telepon dari Lopa.

    Lopa kontan menolak pemberian semacam itu. Lopa masih menolak ketika Jusuf hanya memberi harga mobil itu Rp 5 juta saja. Lopa tak mau diistimewakan. Ia ingin disamakan dengan pembeli lain. Lopa memang jadi membeli, tapi dia membayar dahulu uang muka dan berjanji akan membayar angsurannya pelan-pelan. 

    Lopa melakukan itu bukan karena dia melarat. Setidaknya, Lopa pernah mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp1,9 miliar dan simpanan $20 ribu. Namun, Lopa hanya ingin hidup sederhana. Tak hanya sederhana, Lopa rupanya tak ingin memakai barang milik negara juga.

    Naik Pete-Pete

    Suatu Minggu di tahun 1983, Lopa yang masih menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan diundang menjadi saksi pernikahan di sekitar Makassar. Riri Amin Daud sang tuan rumah beserta kerabatnya menunggunya. Mereka mengira, Lopa akan naik mobil dinas berplat DD-3. 

    Mobil itu tak kunjung datang. Suara Lopa rupanya sudah terdengar dari dalam rumah. Ternyata, Lopa bersama istrinya datang dengan naik angkot, yang oleh orang Makassar disebut pete-pete. Kata Lopa, itu hari Minggu dan bukan acara dinas. Haram hukumnya naik mobil kantor. 

    Tak hanya itu, telepon dinas di rumahnya selalu dikuncinya. Lopa melarang siapapun di rumahnya memakainya. Untuk itu, Lopa sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya, agar tidak campur aduk kepentingan pribadi dan dinas. 

    Putrinya Aisyah, juga pernah jadi “korban” atas sikap konsisten Lopa. Pada 1984, Aisyah menjadi panitia seminar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Karena kampusnya kekurangan kursi, Aisyah bermaksud minta bantuan ayahnya untuk meminjam kursi. Sampai di kantor Kejaksaan Tinggi, bukan kata “iya” yang diperolehnya. Lopa jelaskan, kursi ini milik Kejati, bukan milik kampusnya. 

    Begitulah kesederhanaan dan kejujuran Lopa mengemban amanah sebagai penegak hukum. Ia menjadi salah satu sosok yang begitu dirindukan, di tengah banyaknya jaksa yang terlibat kasus hukum di Tanah Air.

    D. PELAJARAN PENTING

    Membaca sikap dan sepak terjang Baharuddin Lopa seolah membaca kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Banyak kalangan yang mengagumi sikap dan karakter beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik. Dari sikap beliau yang memisahkan penggunaan fasilitas jabatannya dengan urusan di luar urusan jabatannya sesuai dengan UU. Orang yang mengenal beliau menganggap sosoknya adalah sosok yang langka.

    Beliau adalah sosok sederhana, berani, konsisten, tak gentar dalam menegakkan hukum. Nama beliau terpatri dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Karakter dan sikap beliau layak diteladani oleh para penegak hukum dan para pejabat hari ini dan akan datang.

    Salah satu bukti sikap beliau adalah memanfaatkan kendaraan dinas hanya untuk urusan kedinasan. Sesuai UU, Kendaraan Perorangan Dinas adalah Barang Milik Negara/Daerah berupa kendaraan bermotor yang digunakan oleh Pejabat Negara, pegawai Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk melaksanakan tugas dan fungsi pada jabatan yang diembannya.

    Pelanggaran pejabat negara dan daerah yang sering kita saksikan - tapi mungkin bukan di wilayah Anda - adalah penggunaan kendaraan dinas. Penggunaan kendaraan berplat merah di luar jam dinas dan urusan di luar urusan kedinasan. Selain menggunakan kendaraan milik negara dan daerah di luar peruntukannya, juga menggunakan bahan bakar dari pagu anggaran untuk biaya bakar untuk urusan dinas.

    Saya pernah mengikuti kuliah umum di auditorium UIN Alauddin, Bapak Abraham Samad, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan mengatakan, yang dimaksud kendaraan dinas itu adalah kendaraan sebagai fasilitas untuk pejabat negara/daerah untuk urusan dinas dalam jabatannya saja. 

    Jadi, selain itu tidak boleh. Misalnya, ketika ada pejabat yang sekaligus menjadi pengurus organisasi atau partai maka kendaraan dinas haram dipakai untuk urusan organisasi atau partainya itu. Apalagi kalau untuk kepentingan pribadi dan keluarga, termasuk ke pesta atau mengantar penganten keluarga. 

    Intinya, menjadi pejabat publik yang ideal adalah amanah dan hanya menggunakan fasilitas jabatan dalam urusan jabatan. Tidak mengambil lebih dari itu. Baharuddin Lopa membuktikan itu dan dimengerti serta didukung oleh keluarga inti beliau. Kini, beliau telah tiada. Namun namanya telah terpatri dalam memori kolektif masyarakat, terutama para pencari dan perindu keadilan hukum. Semoga muncul pendekar hukum sekelas beliau.