Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 30-03-2021
Catatan Awal
Pada tulisan sebelumnya saya mengatakan, aksi teror dan serangan bom bunuh diri tidak selalu identik dengan situasi kondisi daerah tertentu. Aksi serangan bom bunuh diri bisa terjadi kapan dan di mana saja. Justru, daerah yang aman mesti tetap juga diwaspadai, sebab jaringan organisasi teroris transnasional tentu dapat mengubah strateginya setiap saat. Dan, ini berpotensi terjadi pada semua pemeluk agama, yaitu dengan cara mengeksploitasi pemahaman terhadap ajaran agama, atau bahkan orang tak beragama sekalipun.
Serangan bom yang terjadi di Markas Mabes Polri di Jakarta kemarin sore (Rabu, 31/03/2021) itu menunjukkan bahwa aksi serupa dapat terjadi kapan dan di mana saja. Tidak hanya karena di suatu daerah ada potensi radikalisme dan terorisme. Jaringan organisasi teroris transnasional itu bisa bergerak dengan cepat dan serentak. Tutorial pembuatan bahan peledak itu pun dapat dilakukan secara daring di tempat terpisah. Itulah sisi lain dari dampak IT.
Sulit mengidentifikasi melalui ciri pada penampilan fisik. Menjadikan ciri penampilan fisik sebagai tanda teroris malah bisa membuat keterjebakan pihak petugas dan bisa membuat terjadinya tekanan psikologis secara masif bagi masyarakat yang kebetulan masuk dalam ciri itu.
Kini, masih ada pihak yang sering mencari jawaban dari pertanyaan, adakah hubungan cadar, jenggot, dan celana cingkrang dengan ekstremisme? Adakah busana dan ciri fisik (cadar, celana cingkrang, dan jenggot) identik dengan radikalisme dan terorisme? Faktanya, banyak orang bercadar tetapi tidak takfiri. Banyak orang memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang tetapi bisa dan toleran menerima perbedaan.
Bahkan, yang bercadar dan berjenggot bukan hanya penganut agama Islam. Rabi Yahudi berjenggot dan berpeci, wanitanya bercadar. Mereka tidak radikal, apalagi teroris. Di Israel, zionis justru hidup di kepala orang yang dagunya klimis.
Akan tetapi, apakah cadar, jenggot, dan celana cingkrang tidak terkait sama sekali dengan radikalisme? Ada hubungan historis, meski tidak identik. Cadar, celana cingkrang, dan jenggot dapat merupakan ekspresi dari ekstrimisme (الغلوّفى الديانة). Akan tetapi, bisa juga tidak. Di sinilah pentingnya melakukan kajian akademik untuk meletakkan jawaban berdasarkan data dan fakta serta analisis ilmiah yang terukur secara metodologis.
Perspektif Sejarah
Pada tahun ke-8 dan 9 H, Nabi Saw. menunjuk penghulu dan cikal bakal ekstremis. Namanya Dzul Khuwaisirah at-Tamimi. Saya sudah singgung ini pada tulisan beberapa waktu sebelumnya. Hadis sahih Bukhari-Muslim menyebut ciri-ciri fisiknya: cekung matanya (غائر العينين), menonjol keningnya (مشرِف الوجنتين), lebar dahinya (ناشز الجبهَة), lebat jenggotnya (كث اللحية), plontos kepalanya (محلوق الرأس), dan congklang celananya (مشمَر الإزارِ). Pada tahun ke-37 H,
Ibn Abbas menambahkan ciri fisik pengikut Dzul Khuwaisirah: tangannya kapalan (ايديهم كانهاثفن الابل), wajahnya tercetak noktah bekas sujud (وجوههم معلمة من اثار السجود). Mereka ahli agama. Tetapi, karena berlebih-lebihan dalam beragama, mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya. Baca juga: Sejarah Khawarij dari Masa ke Masa.
Meski hadis sahih, apalagi di Sahih Bukhari dan Muslim, namun mesti memahami teks hadis itu tidak bisa dipisahkan dari konteks historisnya. Memahami teks dengan memisahkan dari konteksnya justru berpotensi menghasilkan kekeliruan yang fatal. Soal ini saya uraikan pada buku saya yang bertajuk "Relasi Teks dan Konteks" (2020).
Dalam konteks ini, kita tidak meragukan sama sekali Rasulullah Saw. Namun, bisa jadi hadis itu tidak relevan dengan konteks yang sedang terjadi. Sehingga, kita membutuhkan dalil lain yang lebih tepat atau metode alternatif untuk memahami ideal moral suatu pesan dari Nabi Saw.
Perbedaan Ulama tentang Batas Aurat Wanita
Batas aurat wanita adalah subjek perdebatan para ulama. Ulama membedakan aurat wanita dewasa, anak-anak, dan hamba sahaya. Ulama juga membedakan aurat wanita terhadap sesama wanita Muslimah dan non-Muslimah, aurat wanita terhadap lelaki mahram-nya selain suami, dan aurat wanita terhadap lelaki non-mahram.
Ulama juga membedakan aurat wanita di dalam dan di luar salat. Namun, mayoritas mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan wajah wanita dewasa bukan aurat, baik di dalam maupun di luar salat. Karena itu, sebagian ulama Malikiyah justru me-makruh-kan penggunaan cadar karena dianggap غلو alias berlebih-lebihan (Wizâratul Awqâf was Syu’ūnul Islâmiyyah Kuwait, Al-Mawsū’ah al-Fiqhiyah, 1983, Vol. 41: 134).
Dasar hukumnya adalah QS. An-Nur/24: 31): ولايبدي نزينتهن إِلا ما ظهرمنهَا ...” dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang tampak dari mereka.” “Kecuali yang tampak itu” menimbulkan banyak penafsiran. Ada yang menafsirkan ‘yang biasa tampak.’ Artinya tergantung adat kebiasaan. Ini membawa pada batas yang lebih longgar.
Aurat wanita, di luar salat, tergantung adat yang menoleransi batas kerawanan. Kerawanan aurat wanita, menurut ukuran orang Arab, bisa jadi beda dengan orang Jawa. Ada juga yang menafsirkan ‘yang perlu tampak.’ Artinya, sejauh dibutuhkan, misalnya untuk pekerjaan, wanita boleh menampakkan sebagian anggota badannya. Ada juga yang menafsirkan ‘yang terpaksa tampak.’
Ini pendapat yang paling ketat. Prinsipnya, semua tubuh wanita adalah aurat. Dalam keadaan darurat, wanita baru boleh menampakkan sebagian anggota badannya. Aurat wanita harus ditutup. Al-Qur’an menggunakan beberapa jenis penutup: hijâb (QS. Al-Ahzab/33: 53), jilbâb/jalâbib QS. Al-Ahzab/33: 59), dan khimar/khumur (Qs. An-Nur/24: 31).
Anda mau pilih yang mana? Silahkan kaji baik! Yang pasti, semua ulama Islam sepakat bahwa aurat wajib ditutup. Batas, model dan cara serta warna pakaian untuk menutup aurat tidak dijelaskan. Diserahkan kepada kultur dan cara masing-masing.
Cadar dalam Al-Qur'an
Tidak ada istilah niqâb (cadar) dalam al-Qur’an. Istilah niqab muncul di dalam hadis, justru dalam bentuk larangan bagi wanita yang ihram: « لا تنتقب المراة المحرمة ولا تلبس القفازين » (رواه احمد وبخاري) “Tidak (dibenarkan) wanita yang ihram untuk mengenakan cadar dan kaus tangan.” Ekstremisme lahir sebagian dari skripturalisme, yaitu cara baca teks yang kaku dan harfiah.
Soal cadar tidak ada perintah dalam Al-Qur'an dan tidak ada pula larangan. Jika cadar diposisikan sebagai muamalat maka itu boleh. Sebab, masalah muamalat pada prinsipnya semua boleh selama tidak dalil yang menyelisihinya. Akan tetapi, jika cadar diposisikan sebagai ibadah maka di sinilah masalahnya. Sebab, prinsip dasar ibadah itu semua haram kecuali ada dalil yang menunjukkan perintahnya (boleh, sunnah, wajib).
Memahami 'Illat Hukum
Nabi pernah memerintahkan sahabat memangkas kumis dan memanjangkan jenggot. « قصوا الشوارب وأعفوا اللحى خالفوا المشركين » (متفق عليه) “Potonglah kumis, panjangkan jenggot, selisihilah (berbedalah) orang-orang musyrik.” 'Illat dari perintah ini adalah menarik perbedaan dari orang-orang Persia yang musyrik. Alih-alih me ngakui bahwa tujuan dari perintah ini bersifat temporer, kelompok skripturalis menganggap ketetapan ini bersifat abadi, universal, berlaku sepanjang tempat dan masa.
Begitupun dalam memahami larangan menjulurkan celana di bawah mata kaki. ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار (رواه البخاري) “Apa yang menjulur di bawah mata kaki adalah di neraka.” Teks ini dipahami secara harfiah tanpa menimbang 'illat hukumnya. Padahal, sebagaimana hadis tentang jenggot, Nabi juga menyelisihi tradisi busana orang-orang musyrik bangsa Romawi yang menjulurkan bajunya sebagai tanda kebesaran, kemewahan, dan kepongahan. 'Illatnya adalah pongah. Ini diperjelas dalam hadis lain. « لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء » (متفق عليه) “Allah tidak memandang orang yang menjulurkan bajunya dengan cara congkak.” Yang dikehendaki oleh teks tersebut adalah menghilangkan sifat pongah.
Elastisitas Hukum
Dalam cara baca yang tidak harfiah, berlaku kaidah: الحكم يدور مع علته وجودا وعدما “Hukum itu berubah sesuai dengan ada atau tidak adanya 'illat.” Jika ‘illat-nya hilang, hilang pula ketetapan hukumnya. Orang menyebut asitinajang (kepatutan). Berpakaian ada kewajaran. Tentu saja kewajaran itu standarnya teks agama, bukan selera masyarakat atau individu.
Radikalisme
1. Gerakan Purifikasi Akidah
Kelompok yang keras dalam pemurnian akidah dan ibadah menjelma dalam Wahabisme. Mereka anti-bid’ah garis keras dan menekankan keutamaan generasi lampau, karena itu disebut salafi. Namun, mereka non-politis. Meski keras dalam persoalan akidah dan fiqh syakhsiyah, mereka ‘moderat’ dalam urusan politik. Politik adalah soal ijtihâdât.
Mereka tidak menyoal sistem mamlakah, imârât, atau khilâfat. Dakwah mereka murni menyerang ‘syirik kubur.’ Pusat mereka di Arab Saudi, dengan ulama-ulamanya yang terkenal: Ben Baz, Nashiruddin al-Albani, dan Saleh Utsaimin. Kelak, pengikutnya pindah ke Yaman, di bawah bimbingan Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i. Mereka mengklaim sebagai salafi yang murni. Pengikutnya banyak: lelakinya memanjangkan jenggot dan memendekkan celana.
Wanita-wanitanya bercadar sebagai anjuran, bukan kewajiban. Syeikh Nashiruddin al-Albani, muhaddis yang sangat dihormati di kelompok ini, berpendapat bahwa aurat wanita dewasa adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (Nashiruddin al-Albani, Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitâb wa al-Sunnah. Amman: Al-Maktabah al-Islâmiyah, 1993: 46).
Apakah mereka radikal? Kalau definisi radikal adalah aktivitas politik yang mengancam ideologi negara, jelas mereka bukan. Tetapi, kelompok salafi ini cenderung intoleran dalam perkara furu’. Mereka gampang membid’ahkan orang, bahkan takfiri. Ideologi takfiri jadi pangkal kekerasan.
2. Perjuangan Politik
Kelompok lainnya tidak terlalu menyoal urusan fiqh dalam khilafiyah. Konsentrasi mereka adalah perjuangan politik. Asal-usulnya dari Wahabisme yang terpapar ideologi Ikhwan al-Muslimun (IM). Penetrasi IM ke salafi-Wahabi terjadi pada 1954-1970, ketika pegiat IM diburu Nasser di Mesir dan eksodus ke Arab Saudi. Oleh Raja Faesal, mereka ditampung dan mengajar di Universitas Islam Madinah dan Universitas King Abdul Aziz.
Mereka meradikalkan Wahabisme dengan perjuangan politik, karena itu disebut dengan salafi-haraki. Tokohnya Muhammad Surur ibn Nayef Zainal Abidin, bekas aktivis IM Suriah. Pindah ke Arab Saudi pada 1965, tetapi kemudian dideportasi pada 1974. Perjuangan dan ideologi politiknya mengancam sistem kerajaan Arab Saudi. Dia pindah ke London dan mengecam para ulama Saudi (Ben Baz, Albani, dan Utsaimin) sebagai ulama ahli haid dan nifas. Ulama Arab Saudi balik menuding Surur mengembangkan ideologi hizbiyah yang sesat.
Karena konsentrasinya perjuangan politik, salafi-haraki-sururi tidak terlalu menekankan fiqh syakhsiyah. Mereka tidak menonjolkan jenggot, celana cingkrang, dan cadar. Mereka juga cenderung ‘moderat’ dalam persoalan fiqh khilafiyah. Namun, mereka cenderung keras dalam urusan politik, meski tidak membenarkan kekerasan atas nama jihad.
Perjuangan mereka adalah meng-Islam-kan sistem politik, dengan jalan damai. Di Indonesia, ada parpol Islam dengan ideologi ini. Mereka tidak ‘anti-muludan.’ Pegiat-pegiatnya banyak yang klimis. Tetapi, perjuangan politiknya, pada akhirnya, adalah Islamisasi negara, sekurang-kurangnya formalisasi syariat Islam. Apakah mereka radikal? Ya, tunggu dulu. Radikal dalam prinsip politik, tetapi relatif moderat dalam soal fiqh furū’iyah.
3. Pemurnian Akidah dan Politik
Kelompok lainnya keras dalam pemurnian akidah dan politik. Perjuangannya sekaligus memerangi ‘syirik kubur’ dan ‘syirik undang-undang.’ Agendanya simultan: purifikasi akidah, ibadah, dan politik. Mereka peduli dengan urusan cadar, jenggot, dan celana cingkrang sekaligus sistem politik. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang menduakan kedaulatan Tuhan, karena itu syirik dan thâghut.
Mereka membenarkan kekerasan atas nama jihad. Ideologi ini menjelma dalam Al-Qaeda, ISIS, Jama’ati Islam, dan Taliban. Embrionya adalah IM dan salafi-haraki garis keras. Di Indonesia, ideologi ini menjelma dalam JI dan pecahannya serta JAD dan anak turunnya. Apakah mereka radikal? Mereka adalah penjelmaan radikalisme yang paling nyata.
4. Pengembalian Sistem Khilafah
Tiga jenis salafi tersebut mempunyai kekhasan dalam urusan cadar, jenggot, dan celana cingkrang. Mereka tidak seragam. Tidak jarang diantara sesama mereka saling mengkafirkan. Ada juga kelompok keempat. Meski menolak bid’ah dalam urusan ibadah, tetapi fokus mereka bukan di situ. Dakwah mereka bukan pemurnian ibadah, karena itu tidak dimasukkan sebagai kelompok salafi. Dakwah mereka adalah mengembalikan sistem khilafah.
Pegiat-pegiatnya banyak yang klimis, celananya tidak congklang, wanita-wanitanya tidak bercadar. Tetapi, mereka keras sekali dalam perkara politik. Mereka tergabung dalam HT/HTI. Apakah mereka radikal? Iya, kalau pengertian radikal adalah ingin merombak bentuk dan ideologi negara.
Catatan Akhir
Berdasarkan pemilahan-pemilahan tentang urusan cadar, jenggot, celana cingkrang, plus jidat hitam tidak bisa digeneralisir. Cadar, jenggot, celana cingkrang, dan jidat hitam tidak identik dengan ekstrimisme. Namun, ada persambungan dengan ekstrimisme. Karena itu, terapinya tidak bisa tunggal, harus dipilah-pilah.
Karena itu, makin sulit menjadikan cadar, jenggot, celana cingkrang, dan jidat hitam sebagai ciri penampilan lahiriyah untuk mengidentifikasi ekstrimis. Sekarang banyak yang berjenggot karena lagi ngetrend. Celana cingkrang juga demikian. Banyak anak muda menggunakan celana cingkrang tapi tidak disiplin salat lima waktu.
Saya pernah ke Tanah Abang, saya beli celana model cingkrang. Saya diberi tau oleh penjualnya bahwa ini lagi ngetrend. Saya perhatikan, benar banyak anak muda ikut beli. Mereka bukan aktivis tapi mereka anak muda gaul.
Mengidentifikasi ekstrimis dan radikalis dengan menjadikan cadar, jenggot, celana cingkrang, dan jidat hitam sebagai cirinya bisa membuat terjebak pada pusaran masalah baru. Yang memungkinkan adalah mengidentifikasi mereka melalui penelusuran pada pikiran dan gerakan yang dilakukan.
Tidak bijak apabila cadar, jenggot, celana cingkrang, plus jidat hitam sebagai ciri utamanya. Saya pernah berdiskusi dengan sejumlah wanita bercadar. Mereka sangat tidak identik dengan ekstrimis dan radikalis. Mereka malah mengatakan serangan bom bunuh diri.
Oleh karena itu, saya sepakat dengan pernyataan dan sikap kepolisian yang menolak cadar, jenggot, celana cingkrang, plus jidat hitam sebagai ciri kelompok radikal dan ekstrim. Sebab, kalau cadar, jenggot, celana cingkrang, plus jidat hitam sebagai ciri maka begitu banyak masyarakat berada dalam tekanan psikologis dan malah mereka tidak simpatik dengan langkah-langkah kepolisian dalam mengusut pelaku dan aktor intelektual serta jaringan organisasi teroris transnasional.
Kalau pelaku di bom bunuh diri itu umumnya menggunakan cadar (untuk wanita) dan celana cingkrang (bagi laki-laki), iya. Tapi, belum tentu sebagai paham, tapi boleh jadi untuk menyembunyikan bahan peledaknya saja. Apa bedanya dengan pelaku pencurian di pasar, penyuntik bahan berbahaya pada bahan makanan di pasar, atau wanita pelaku pencurian anak-anak? Mereka menggunakan cadar justru untuk menyembunyikan identitasnya dan strategi mengelabui petugas saja.
Wallahu a'lam
-
0 komentar