BLANTERORBITv102

    PESAN MORAL -SPRITUAL & SOSIAL DARI MISTERI ISRA' DAN MI'RAJ

    Kamis, 18 Februari 2021

    Oleh Muhammad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Paccinnongan-Gowa, 18/2/2021


    Pendahuluan

    Hari ini, hari Jumat di bulan Rajab. Paling tidak, bulan Rajab menghubungkan memori kolektif umat Islam dengan dua hal. Pertama, peristiwa agung, yaitu peristiwa Isra mi'raj. Kedua, keberadaan bulan Rajab mengingatkan umat Islam akan semakin dekatnya bulan Ramadhan. Bulan Rajab dan bulan Ramadhan hanya diantarai satu bulan saja, yaitu bulan Sya'ban. Hari Jumat, hari ini saya mengisinya secara khusus dengan menuliskan tema tentang Isra'- Mi'raj. 

    Membincangkan peristiwa Isra'-Mi'raj berarti membincangkan peristiwa agung yang supra-rasional. Peristiwa agung, Isra'-Mi'raj menitip banyak pesan moral baik dimensi sosial maupun dimensi spiritual. Memang banyak rahasia di balik misteri peristiwa isra mi'raj. Hal itu dapat ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah Saw. 

    Peristiwa Isra'-Mi'raj

    Kapan terjadinya peristiwa Isra'-Mi'raj itu? Terdapat beberapa pendapat mengenai waktu terjadinya. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra'-Mi'raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra'-Mi"raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Akan tetapi, bukan poin ini yang hendak saya terangkan.

    Yang pasti, peristiwa isra' itu secara eksplisit diterangkan melalui penuturan al-Qur'an.

    "Maha Suci Allah, yang telah memperjalan-kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra [17]: 1).

    Sedangkan peristiwa mi'raj itu diterangkan dalam surah al-Najm ayat 1-18.

    Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1 18).

    Meskipun kedua peristiwa (Isra'dan Mi'raj) itu dijelaskan dalam dua surah berbeda, namun keduanya menggunakan kata 'abdihi' yang berarti 'hamba'. Kedua term 'abdihi' itu merujuk kepada Muhammad Rasulullah Saw. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

    Diksi Subhana dan Asra'

    Allah Swt. menyatakan kemahasucian-Nya dengan firman "subhana", agar manusia mengakui kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak dan meyakini sifat-sifat keagungan-Nya yang tiada tara. Ungkapan itu juga sebagai pernyataan tentang sifat kebesaran-Nya yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dengan perjalanan yang sangat cepat.

    Allah Swt. memulai firman-Nya dengan subhana dalam ayat ini, dan digunakan di beberapa ayat yang lain, sebagai pertanda bahwa ayat itu mengandung peristiwa luar biasa yang hanya dapat terlaksana karena iradah dan kekuasaan-Nya. Untuk memastikan hal itu benar-benar terjadi atas kehendak mutlak Allah maka digunakan kata asra' yang berarti 'memperjalankan' dan bukan 'berjalan'. Itu berarti Hamba (Muhammad) menerima kehendak Allah yang memperjalankan dirinya.

    Meskipun terjadi dalam sekejap, namun memori Rasulullah Saw. berhasil merekam pengalaman supranatural dan supra-rasional (sarat dengan pengalaman spiritual). Peristiwa supra-rasional ini diungkapkan dengan term 'subhana' (Maha Sucipada permulaan surah al-Isra' tersebut.

    Diksi 'Abdun ('abdihi)

    Penggunaan kata 'abdihi pada ayat tersebut mengandung banyak kemungkinan makna, diantaranya: Pertama, kata'abdihi berarti 'hamba-Nya'. Posisi dan keadaan hamba adalah lemah, tidak berdaya. Di sini jelas, bahwa isra’ dan mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah Saw., karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Allah Swt. dalam melakukan mengikuti dikehendaki oleh Rabb-nya.

    Kedua, kata 'abdihi' (hamba-Nya) mengandung makna pengakuan Allah atas 'kesempurnaan penghambaan Rasulullah kepada Allah. Sehingga, kata 'abdihi' bisa juga bermakna posisi yang mulia karena pengakuan Allah atas penghambaan Rasulullah yang menunjukkan kualitas yang tinggi. Seluruh atribut pribadi dan sosial tidak ada lagi untuk sementara. Maka, kata 'bimuhammadin, birasulihi, binabiyyihi tidak digunakan. Penekanannya pada kualitas penghambaannya, bukan pada sosok pribadi dan jabatannya.

    Ketiga, makna dari diksi 'abdihi' yang lain adalah bahwa pada dasarnya setiap manusia yang sempurna kualitas penghambaannya kepada Allah berpeluang mengalami mi'raj dalam maknanya yang lain. Dengan salat yang khusyuk seorang hamba yang beriman dapat mengalami mi'raj secara ma'nawi. Dalam konteks ini, Nabi mengatakan, "salat itu mi'rajnya orang-orang yang beriman".

    Ketiga makna itu menempati konteksnya masing-masing. Bahkan, bisa jauh lebih banyak makna lain daripada itu. Isra Mi'raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw. dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha/Baitul Maqdis Yerusalem yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo super singkat، kurang dari semalam (lailan) tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratul Muntaha). 

    Andai hendak dikumpulkan seluruh riwayat (hadis) Isra Mi'raj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratul Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratul Muntaha.

     Diksi Lailan

    Peristiwa isra'-mi'raj itu terjadi di malam hari. Hal itu secara eksplisit diterangkan oleh penuturan al-Qur'an.

    "Maha Suci Allah, yang telah memperjalan-kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra [17]: 1).

    Dalam bahasa Arab kata ليلا (lailan) mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, antonim naharan (siang). Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusu') kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah. Peristiwa-peristiwa supra-rasional seringkali terjadi pada malam hari.

    Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Yaa lalila thul, ya shubhi qif (wahai malam, bertambah panjang-lah, wahai Subuh stop!). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.

    Di dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama') juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterimakasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Imam Syafii mengungkapkan: Man thalabal ula sahiral layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.

    Arti 'lailan' (ليلا) dalam ayat pertama surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the spritual power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah Swt.

    Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam Alquran: "Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji. (QS al-Isra [17]: 79).

    Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS al-Dzariyat [51]: 17).

    Kata 'lail' dalam ketiga ayat di atas, mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah Swt. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dengan Tuhan lebih pendek di malam hari. Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari.

    Ayat pertama (QS al-'Alaq [96]: 1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw. sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an. Peristiwa Isra dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sidraul muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailat al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari Ramadlan.

    Di malam hari memang menampilkan kegelapan. Tapi, bukankah kegelapan malam itu menjanjikan sebuah keheningan, kesenduan, kesenyapan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, kepasrahan, ketenangan, dan kekhusyukan? Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari. Terangnya siang memberi kesempatan kepada mata kepala (bashar) untuk melihat makhluk Allah di alam raya. Sedangkan gelapnya penglihatan mata kepala di malam memberikan giliran dan kesempatan kepada mata batin (bashirah) untuk melihat (kebesaran) Khaliq (Allah).

    Seolah-olah, yang lebih aktif di siang hari ialah unsur jasmani, rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia, untuk mendukung fungsi kekhalifahan di muka bumi. Sedangkan di malam hari, yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas, untuk mendukung.

    Dari Masjid ke Masjid

    Penyebutan 'masjid' secara lahiriah merujuk kepada dua nama masjid yang terletak di dua kota suci; yaitu Masjidil Haram di Kota Suci Mekkah dan Masjidil Aqsha di Kota Suci  Palestina (Baitul Maqdis). Keduanya adalah kiblat umat Islam dalam Salat. Sebelum ketetapan Allah mengembalikan kiblat umat Islam ke Ka'bah di Masjidl Haram Mekkah, Masjid Aqsha / Baitul Maqdis, Yerusalem pernah menjadi Kiblat umat Islam.

    Masjid melambangkan ketaatan dan persatuan. Pesan kata 'masjid' seolah mengingatkan bahwa masjid sebagai sarana ketaatan kepada Allah. Selain masjid simbol keteraturan dan persatuan. Oleh karena itu, semestinya masjid menjadi memperkokoh persatuan dan tidak dijadikan sebagai tempat memprovokasi dan memecah umat manusia.

    Masjid merupakan tempat yang sangat penting dan strategis bagi umat Islam. Masjid memiliki fungsi spritual dan fungsi sosial. Masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan umat Islam. Masjid pada masa Rasulullah memiliki beberapa fungsi seperti tempat ibadah, pengembangan agama Islam, pusat dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial, dan perekat sosial. Namun, seiring berjalannya waktu fungsi masjid mulai berubah. Pada masa sekarang banyak masjid yang hanya berfungsi sebagai tempat salat berjamaah saja. Akan tetapi, fungsi masjid sebagai pusat perekat sosial seringkali terabaikan.

    Diksi Linuriyahuu

    Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratul Muntaha (QS. Al-Najm: 14). Di sanalah Rasulullah di-install (dihujamkan) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas spiritual tersebut. Inilah kehendak Allah untuk Nabi Muhammad Saw. 

    Pengalaman spiritual yang dialaminya mengalahkan seluruh kesedihan dan kegalauan beliau. Yang tampak adalah kebesaran Allah. Musibah yang dialami oleh beliau menjadi kecil dan tidak ada apa-apanya setelah melihat kekuasaan Allah. Itulah antara lain rahasia pemilihan kata linuryahuu "untuk Kami perlihatkan kepadanya" bukti-bukti kebesaran Kami. Dengan menyadari kebesaran Allah, maka masalah yang dihadapi menjadi kecil dan tak berarti apa-apa.

    Narasi spritual yang dialami Rasulullah Saw. itu mengajarkan kepada umatnya pula bahwa kesedihan dan kegalauan seringkali menjadi beban jiwa lantaran rasa memiliki masih menguasai jiwa. Kehilangan anggota keluarga misalnya, ataupun kehilangan sesuatu yang kita miliki seringkali menyisakan duka dan sedih'. Rasa memiliki itu merupakan bukti kualitas penghambaan yang masih rendah. Itulah antara lain ketika kehilangan anggota keluarga baik karena kematian atau musibah lainnya kita diajarkan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa memiliki. Hanya Allah satu-satunya Pemilik, sedangkan kita adalah hamba yang dimiliki oleh Allah. Innalilahi waiinna ilaihi rajiuun.

    Sebaliknya, memosisikan diri sebagai hamba menunjukkan ketidakberdayaan, kefakiran, kepasrahan, dan ketergantungan. Puncak kepasrahan dan ketergantungan itu esensi akidah "Allahush Shamad" yakni hanya Allah tempat bergantung. Inilah antara lain titik temu atau hubungan antara kata :abdihi dan pemilihan kata 'linuriyahuu: pada ayat 1 surah al-Isra yang membuktikan keserasian.

    Mengaktifkan Kecerdasan

    Surah al-Isra [17] diapit oleh dua surah yang serasi yaitu al-Nahl [16] dan al-Kahfi [18]. Surah al-Nahl dianggap simbol kecerdasan intelektual, karena berkaitan dengan dunia keilmuan (kisah lebah). Surah al-Kahfi sebagai simbol surah kecerdasan spiritual, karena berkaitan dengan cerita keyakinan dan spiritualitas (kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, Ashabul Kahfi dan Dzulqarnain). Sedangkan surah Al-Isra sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional, karena di dalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah mungkin antara lain rahasianya, ketiga surah yang menempati pertengahan juz Alquran disebut dengan surah tiga serangkai, yaitu surah memuat multiple-inteligences mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual (IQ, EQ, SQ).

    Keutamaan di malam hari, juga banyak membuat anak manusia menjadi lebih sadar (inshaf) dari perbuatan masa lalu yang kelam dan hitam. Malam hari banyak menumpahkan air mata tobat para hamba yang menyadari akan kesalahannya. Malam hari paling tepat untuk dijadikan momentum menentukan cita-cita luhur.

    Dari sudut pandang seperti ini - sebagaimana dikatakan Prof. Nasaruddin Umar - tersingkap rahasia bahwa salah satu keistimewaan lembaga pendidikan berbasis pondok pesantren yang memanfaatkan malam hari untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti santrinya. Sementara di sekolah-sekolah umum, jarang sekali memanfaatkan malam hari untuk pembinaan budi pekerti, kecuali pada momen tertentu seperti pada kegiatan pesantren kilat, pesantren Ramadhan, atau pelatihan. Pesantren tidak hanya mencerdaskan nalar melainkan juga kecerdasan spritual.

    Allah telah mengisyaratkan bahwa pada umumnya salat itu ditempatkan di malam hari. Hanya shalat Zhuhur dan Ashar di siang hari, selebihnya di malam hari (shalat Maghrib, Isya, Tahajjud, Witir, Tarawih, Fajar, Subuh). Ini isyarat bahwa pendekatan pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam hari. Salat lima waktu memang diterima oleh Rasulullah Saw. di malam hari dalam peristiwa Mi'raj beliau.

    Mengaktifkan Potensi Spritual

    Allah menjadikan malam untuk mengistirahatkan fisik dan mengaktifkan potensi rohani untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidik sejati mengajar dengan ikhlas di siang hari dan bangun si malam hari memohonkan ridha dan keberkahan ilmu kepada Allah. Kebiasaan inilah yang dilakukan oleh para kyai untuk santri-santri mereka. Para santri pun dilatih bangun malam untuk kebiasaan yang sama.

    Momentum malam hari, perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad yang Mahadahsyat itu dilakukan oleh sang hamba, Muhammad Saw. Intensitas perjalanan malam tidak perlu diragukan. Nabi pada umumnya melakukan perjalanan jauhnya di malam hari. Di samping lebih dingin juga nuansa ibadahnya lebih kental.

    Peristiwa Isra-Mi’raj mencakup dua macam peristiwa sekaligus. Pertama, Isra' yaitu perjalanan horizontal dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Kedua, mi'raj yaitu perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratul Muntaha. Perjalanan Isra' mungkin masih bisa dideteksi dengan sains dan teknologi. Akan tetapi, perjalanan Mi’raj sama sekali di luar kemampuan nalar manusia. Sebuah peristiwa yang supra-rasional.

    Perjalanan Mi’raj ini, juga masih diperdebatkan banyak ulama, apakah dengan fisik dan roh Rasulullah atau hanya rohaninya saja. Mayoritas ulama Suni memahami bahwa yang diperjalankan Tuhan ke Sidratul Muntaha ialah Nabi Muhammad Saw. dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah secara utuh, lahir dan batin.

    Sementara pendapat lain memahami hanya rohaninya saja. Bagi kita tidak terlalu mendesak untuk diperdebatkan apakah fisik dan rohani atau hanya fisik saja, karena perjalanan suci tersebut bukanlah kehendak dan keinginan Rasulullah, tetapi kehendak dan keinginan Allah Swt.

    Karena Allah Swt yang memperlihatkan bukti-bukti kebesaran-Nya, maka dalam perjalanan singkat itu Rasulullah Saw. berhasil merekam berbagai pemandangan spiritual. Dan, hendaknya bisa dijadikan pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Sebab, perjalanan malam hari itu telah membangkitkan semangat baru Rasulullah dalam menyebarkan dakwah Islam. 

    Penutup

    Pesan moral dan hikmah Isra'-Mi'raj itu banyak, diantaranya, pertama, sebagai momentum penganugrahan kewajiban/syariat salat lima waktu. Dalam konteks ini, salat menjadi sarana relasi dan komunikasi spritual antara hamba dengan Tuhannya.  Kedua, kekuatan dan ketajaman spiritual membutuhkan suasana malam hari yang hening untuk melatih dan mengasahnya. Ketiga, salat merupakan sarana mi'raj seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika seorang hamba bersujud merendahkan kepalanya sambil berbisik mengucap tasbih mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya maka bisikannya menembus lapisan Sidratul Muntaha hingga Allah mendengarnya dengan jelas. Demikian Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wallahu a'lam bishsh-shawab.

    Salam!