Oleh: Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 01-03-2021
CATATAN PENDAHULUAN
Mungkin Anda pernah menyaksikan kekacauan warga dalam kasus penggusuran baik langsung, melalui televisi, elektronik lainnya maupun membaca berita di koran. Peristiwa kekacauan itu akibat tanah dan rumah kediamannya digusur oleh satpol PP tanpa ganti yang lebih baik atau setara. Ibu-ibu pun menangis sambil menggendong bayinya. Bapak-bapak terlihat mengamuk tak terkendali. Mereka melawan dan menumpahkan kemarahannya . Akhirnya mereka ditangkap oleh pihak petugas keamanan. Menjerit-jerit sakit fisik dan hati mereka. Entah mereka berada di pihak yang benar atau pun memang mereka yang salah. Yang pasti mereka adalah warganegara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya seperti warganegara lainnya.
Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.
Penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Patut dicatat bahwa Pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen di atas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”). Diterangkan bahwa:
2. Bila warga menolak maka pemerintah tidak bisa melanjutkan proyek tersebut.
3. Bila warga setuju maka ditetapkan berapa nilai ganti untung yang layak bagi tanah dan bangunan warga. Penetapan harga ini harus disetujui oleh kedua belah pihak. Bila warga tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh panitia penetapan harga, maka warga diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan penetapan harga ke pengadilan negeri. Bila ketidaksesuaian harga berlarut-larut maka pemerintah dapat menitipkan harga tanah ke pengadilan (sering disebut dengan istilah konsinyasi).
4. Sebelum nilai yang disepakati itu diterima di rekening warga, maka pemerintah tidak bisa menggusur warga dari rumah dan tanahnya.
Keteladanan Umar Bin Khatab ketika didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh kepadanya mengenai masalah penggusuran rumahnya yang terancam digusur penguasa demi kepentingan umum, ketertiban, dan keindahan. Dia pun keras memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang akan membangun rumah megah di atas tanah miliknya.
Yahudi tua yang miskin itu mengaku lahan tanah miliknya memang sebagian masih berawa-rawa. Dan dia tinggal di situ dengan menempati sebuah gubuk reot yang hampir roboh.
Dia menceritakan kepada Khalifah Umar, bila Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepada agar meninggalkan tempat yang kumuh dan rumah yang reyot karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah.
Demi melaksanakan cita-citanya, maka Amru bin Ash kemudian memanggil Yahudi tua ini menghadapnya untuk merundingkan besaran uang dan kompensasi atau ganti rugi yang akan diterimanya.
.“Hei Yahudi, berapa harga jual tanah milikmu sekalian gubuknya? Aku hendak membangun masjid di atasnya.”
Yahudi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.”
“Kubayar tiga kali lipat dari harga biasa?” tanya Gubernur menawarkan keuntungan yang besar.
“Tetap tidak akan saya jual” jawab si Yahudi.
“Akan kubayar lima kali lipat dibanding harga yang umum!” desak Gubernur.
Yahudi itu mempertegas jawabannya, “Tidak!”
Sampai akhir pertemuan, kepada Umar dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut. Warga Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual karena tanahnya meski dalam kondisi berawa-rawa dan gubuknya yang reot (kumuh) tersebut adalah milik satu-satunya.
Dan sepeninggal pertemuan dengan kakek tua ini, Amr bin Ash memutuskan melalui surat untuk membongkar gubuk reotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan yang sama, yakni demi kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata.
Kakek Yahudi sang pemilik tanah dan gubuk reyot itu kemudian mengatakan kepada Umar bin Khatab bila tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Meski begitu ia tidak putus asa dengan tetap terus berusaha memperjuangkan haknya.
Maka dia pun bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Untuk itu dia pun berangkat mengarungi panjangnya jalur jalan di gurun pasir yang panas menyengat, menuju ke Madinah demi menuntut haknya kepada atasan Amru bin Ash: Khalifah Umar bin Khatab.
Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar. Setibanya di Madinah, lelaki Yahudi itu menyampaikan delik laporannya. Dikemukakan kronologi masalahnya hingga menjadi jelas dan terang.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Umar. Ketika menerima pesan dengan simbol garis pada tulang itu, wajah Amr spontan jadi pucat pasi. Ia menerima kiriman yang tak di duganya itu. Saat itu pula, ia spontan menangis meraung-raung tak tertahankan, diliputi ketakutan yang hebat. Ia segera mengembalikan rumah Yahudi yang telah digusurnya itu.
Terheran-heran, sang Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Gubernur, Amr bin Ash menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Kisah-kisah sejarah kehidupan para sahabat, kader terbaik Rasulullah Saw. menunjukkan betapa ajaran Islam menganjurkan perlakuan yang arif dan bijaksana terhadap pemeluk agama lain dan seluruh warganegara. Fakta sejarah tersebut bahkan konon membuat mantan PM Inggris yang merupakan seorang keturunan Yahudi, Benyamin Disraeli, mengatakan bahwa sejarah umat Yahudi di bawah kekuasaan pemerintah Islam kala itu diwarnai romantisme dan kemesraan.
CATATAN IMPLIKASI
1. Hak azasi manusia (HAM)
Kisah penegakan hak azasi manusia (HAM) pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan Gubernur Amru bin Ash sangat menginspirasi - setidaknya, bagi saya. Kasus Penggusuran rumah milik seorang kakek dari kalangan Yahudi adalah contoh perlindungan terhadap hak azasi manusia (HAM) secara berkeadilan. Kekuasaan Islam adalah rahmat untuk semesta.
Penegakan hak azasi manusia (HAM) telah direalisasikan dalam kebijakan pemerintahan Islam di bawah kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab menjadi bukti bahwa Islam itu membawa keadilan untuk semua. Perbedaan agama dan kepercayaan warganegara tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap hak-hak warganegara.
2. Dampak terhadap lingkungan
0 komentar