BLANTERORBITv102

    KETELADANAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB: MENJAMIN KEADILAN DAN ANTI DISKRIMINASI

    Sabtu, 27 Februari 2021

    Oleh: Muhammad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata-Gowa, 01-03-2021


    CATATAN PENDAHULUAN

    Mungkin Anda pernah menyaksikan kekacauan warga dalam kasus penggusuran baik langsung, melalui televisi, elektronik lainnya maupun membaca berita di koran. Peristiwa kekacauan itu akibat tanah dan rumah kediamannya digusur oleh satpol PP tanpa ganti yang lebih baik atau setara. Ibu-ibu pun menangis sambil menggendong bayinya. Bapak-bapak terlihat mengamuk tak terkendali. Mereka melawan dan menumpahkan kemarahannya . Akhirnya mereka ditangkap oleh pihak petugas keamanan. Menjerit-jerit sakit fisik dan hati mereka. Entah mereka berada di pihak yang benar atau pun memang mereka yang salah. Yang pasti mereka adalah warganegara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya seperti warganegara lainnya.

    Penggusuran demi pembangunan masih terus dilakukan oleh pemerintah baik langsung maupun tidak langsung hingga saat ini. Penggusuran warga, apalagi tanpa ganti kerugian - atau ganti rugi yang jauh dari rasa keadilan - terhadap permukiman padat atau untuk alih fungsi lahan milik perorangan atau komunitas, termasuk komunitas adat. Hal itu jelas mencederai rasa keadilan. Mereka gigit jari dan menelan pil pahit atas keputusan hukum yang berlaku. Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak azasi manusia (HAM) ataukah tidak? Yang pasti, kewajiban negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan bernegara.

    Sebelum meneruskan tulisan ini, saya telah meminta pandangan dari ahlinya yang lebih paham dalam kajian hukum. Hal itu saya lakukan karena adanya petunjuk Al-Qur'an yang menuntun untuk bertanya atau berkonsultasi kepada ahli bidang ilmu yang kita sendiri tidak paham. "… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (Qs. al-Nahl: 43).

    PENGGUSURAN PAKSA & MASALAH HAM

    Dari percakapan santai kami, saya mendapatkan informasi bahwa pakar hukum menerangkan, dalam instrumen hukum Indonesia, tidak ditemukan istilah “penggusuran” atau “penggusuran paksa”. Committee on Economic, Social, and Cultural Rights berpendapat dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant) bahwa:

    Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.

    Penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

    Patut dicatat bahwa Pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen di atas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”). Diterangkan bahwa:

    Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
     
    Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
     
    Berdasarkan hal itu, maka penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.

    Pelaksanaan pembebasan tanah dan bangunan untuk pelaksanaan proyek harus mengacu pada Peraturan Presiden No. 71/2012. Tahap-tahapnya adalah:

    1. Sebelum pembangunan proyek ditetapkan pemerintah harus berkonsultasi dengan masyarakat pemilik tanah dan rumah.
    2. Bila warga menolak maka pemerintah tidak bisa melanjutkan proyek tersebut.
    3. Bila warga setuju maka ditetapkan berapa nilai ganti untung yang layak bagi tanah dan bangunan warga. Penetapan harga ini harus disetujui oleh kedua belah pihak. Bila warga tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh panitia penetapan harga, maka warga diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan penetapan harga ke pengadilan negeri. Bila ketidaksesuaian harga berlarut-larut maka pemerintah dapat menitipkan harga tanah ke pengadilan (sering disebut dengan istilah konsinyasi).
    4. Sebelum nilai yang disepakati itu diterima di rekening warga, maka pemerintah tidak bisa menggusur warga dari rumah dan tanahnya.

    Peraturan Presiden tersebut adalah untuk menjamin hak-hak setiap warganegara. Undang-undang perlindungan hak-hak warganegara yang tertera sudah baik. Terlihat sangat menjunjung tinggi nilai keadilan. Masalahnya, bukan pada tataran konsep, tentang pasal-pasal yang mengatur. Namun, masalahnya pada tataran implementasi pasal-pasalnya.

    BELAJAR DARI KEADILAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

    Jauh sebelum diskursus tentang HAM diributkan, Islam telah hadir sebagai panduan hak azasi manusia (HAM). Bagaimana tidak, Al-Qur'an hadir sebagai panduan manusia (Hudan linnas). Rasulullah Saw. juga menjadi contoh dan menurunkan contoh itu kepada generasi penerus beliau. Diantaranya adalah Umar bin Khattab.  Keteladanan dari Khalifah Umar bin Khatab di dalam menangani kasus penggusuran rumah dan lahan masyarakat - apalagi masyarakat yang miskin - patut menjadi renungan. 

    Kisah ini sudah sangat terkenal dan secara luas diketahui umat Islam. Dalam banyak forum pengajian cerita ini sering sekali diungkapkan agar menjadi pelajaran bagi siapa pun yang nantinya menjabat sebagai pemimpin, baik dalam skala kecil dan luas.

    Keteladanan Umar Bin Khatab ketika didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh kepadanya mengenai masalah penggusuran rumahnya yang terancam digusur penguasa demi kepentingan umum, ketertiban, dan keindahan. Dia pun keras memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang akan membangun rumah megah di atas tanah miliknya.

    Yahudi tua yang miskin itu mengaku lahan tanah miliknya memang sebagian masih berawa-rawa. Dan dia tinggal di situ dengan menempati sebuah gubuk reot yang hampir roboh.

    Dia menceritakan kepada Khalifah Umar, bila Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepada agar meninggalkan tempat yang kumuh dan rumah yang reyot karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah.

    Demi melaksanakan cita-citanya, maka Amru bin Ash kemudian memanggil Yahudi tua ini menghadapnya untuk merundingkan besaran uang dan kompensasi atau ganti rugi yang akan diterimanya.

    .“Hei Yahudi, berapa harga jual tanah milikmu sekalian gubuknya? Aku hendak membangun masjid di atasnya.”

    Yahudi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.”

    “Kubayar tiga kali lipat dari harga biasa?” tanya Gubernur menawarkan keuntungan yang besar.

    “Tetap tidak akan saya jual” jawab si Yahudi.

    “Akan kubayar lima kali lipat dibanding harga yang umum!” desak Gubernur.

    Yahudi itu mempertegas jawabannya, “Tidak!”

    Sampai akhir pertemuan, kepada Umar dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut. Warga Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual karena tanahnya meski dalam kondisi berawa-rawa dan gubuknya yang reot (kumuh) tersebut adalah milik satu-satunya.

    Dan sepeninggal pertemuan dengan kakek tua ini, Amr bin Ash memutuskan melalui surat untuk membongkar gubuk reotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan yang sama, yakni demi kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata.

    Kakek Yahudi sang pemilik tanah dan gubuk reyot itu kemudian mengatakan kepada Umar bin Khatab bila tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Meski begitu ia tidak putus asa dengan tetap terus berusaha memperjuangkan haknya.

    Maka dia pun bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Untuk itu dia pun berangkat mengarungi panjangnya jalur jalan di gurun pasir yang panas menyengat, menuju ke Madinah demi menuntut haknya kepada atasan Amru bin Ash: Khalifah Umar bin Khatab.

    Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar. Setibanya di Madinah, lelaki Yahudi itu menyampaikan delik laporannya. Dikemukakan kronologi masalahnya hingga menjadi jelas dan terang.

    Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

    Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Umar. Ketika menerima pesan dengan simbol garis pada tulang itu, wajah Amr spontan jadi pucat pasi. Ia menerima kiriman yang tak di duganya itu. Saat itu pula, ia spontan menangis meraung-raung tak tertahankan, diliputi ketakutan yang hebat. Ia segera mengembalikan rumah Yahudi yang telah digusurnya itu.

    Terheran-heran, sang Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Gubernur, Amr bin Ash menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”

    Kisah-kisah sejarah kehidupan para sahabat, kader terbaik Rasulullah Saw. menunjukkan betapa ajaran Islam menganjurkan perlakuan yang arif dan bijaksana terhadap pemeluk agama lain dan seluruh warganegara. Fakta sejarah tersebut bahkan konon membuat mantan PM Inggris yang merupakan seorang keturunan Yahudi, Benyamin Disraeli, mengatakan bahwa sejarah umat Yahudi di bawah kekuasaan pemerintah Islam kala itu diwarnai romantisme dan kemesraan.

    CATATAN IMPLIKASI

    1. Hak azasi manusia (HAM)

    Kisah penegakan hak azasi manusia (HAM) pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan Gubernur Amru bin Ash sangat menginspirasi - setidaknya, bagi saya. Kasus Penggusuran rumah milik seorang kakek dari kalangan Yahudi adalah contoh perlindungan terhadap hak azasi manusia (HAM) secara berkeadilan. Kekuasaan Islam adalah rahmat untuk semesta.

    Penegakan hak azasi manusia (HAM) telah direalisasikan dalam kebijakan pemerintahan Islam di bawah kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab menjadi bukti bahwa Islam itu membawa keadilan untuk semua. Perbedaan agama dan kepercayaan warganegara tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap hak-hak warganegara.

    2. Dampak terhadap lingkungan

    Warga adat banyak yang kehilangan lahan karena telah terjual oleh pihak penguasa kepada pihak pemilik modal (oligarki) untuk alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan hutan makin berkurang. Bahkan Indonesia termasuk dalam daftar negara perusak hutan tercepat di dunia. Belum lagi kerusakan lingkungan di wilayah tambang batu bara dan tambang emas. Sementara, warga lokal harus menjadi penonton atau karyawan perusahaan yang sewaktu-waktu dapat di-PHK dengan berbagai alasan.

    Kerusakan lingkungan, banjir, longsor serta lumpur menjadi petaka warga lokal. Penebangan hutan secara serampangan, tambang yang tak merujuk pada analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Alih fungsi hutan menjadi lahan peternakan, dalam berbagai bentuk rekayasa lingkungan terakumulasi mempercepat datangnya bahaya yang mengancam warga. Pembangunan ekonomi yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Allah menyindir orang-orang yang mengaku membangun (ekonomi) padahal sesungguhnya merusak (lingkungan).

    "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah berbuat kerusakan di bumi', mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak merasa." (QS al Baqarah: 11-12).

    3. Mengkhianati Sumpah

    Seluruh pejabat pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah telah bersumpah untuk setia kepada dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Sila kedua Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia dan  Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 

    Amanat UUD 1945 "melindungi segenap Indonesia...' dan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan janji dan sumpah seluruh pejabat negara melalui sumpah jabatan untuk melakukan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen. Sumpah itu dibacakan dengan mempersaksikan kepada Allah dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Mereka berjanji akan memegang teguh amanat itu.

    Menurut Undang-Undang Dasar 1945, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat' UUD 1945 Pasal 33 (3). Pemanfaatannya harus berdasarkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Faktanya, banyak yang dikuasai pihak tertentu dan perusahaan asing. Warga setempat menjadi penonton. Mereka hanya kebagian lumpur, longsor, dan banjir. Mungkin masyarakat salah besar ketika memilih wakil-wakilnya, mereka tertipu dengan uang 50.000 atau 100. 000 saat pemilihan. 
    Wallahu a'lam bishsh-shawab.

    Salam!