Oleh: Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 12/2/2021
Catatan Awal
Kali ini saya kembali menghadirkan catatan sebagai lanjutan dari dua catatan sebelumnya mengenai sosok imam Syafi'i. Catatan ini mengisahkan salah satu jejak perjalanan intelektual atau silsilah keilmuan imam Syafi'i. Beliau tidak hanya berguru kepada ulama dari kalangan laki-laki. Beliau mempunyai salah seorang guru dari kalangan ulama perempuan. Beliau adalah Sayyidah Nafisah.
Kemunculannya memang terbilang unik, karena muncul di tengah masyarakat Arab yang memiliki latarbelakang kultural yang menganut sistem patriarki. Bahkan yang lebih menarik lagi, karena Imam Syafi'i berguru kepada beliau justru setelah imam Syafi'i mengembara dari Mekkah ke Madinah dan selanjutnya ke Irak yang kedalaman dan keluasan ilmunya telah diakui lintas negara. Tentu hal ini menyisakan pertanyaan. Mengapa Imam Syafi'i masih mau berguru kepada Sayyidah Nafisah? Keistimewaan apa yang menjadi daya tarik padanya? Ternyata, di atas langit masih ada langit.
Ulama Perempuan dalam Lintasan Sejarah
Ketika Anda membuka biografi ulama maka yang tampak adalah dominasi ulama laki-laki. Betapa suramnya ulama perempuan dalam catatan sejarah. Sebutan 'ulama' dalam banyak komunitas Muslim selama ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan hampir tidak ada - untuk tidak mengatakan 'tidak ada' - ulama perempuan. Ini adalah dampak dominasi konstruksi budaya patriarki. Padahal, di sisi lain, kewajiban menuntut ilmu dan berperan untuk kebaikan ditujukan kepada perempuan dan laki-laki. Itu artinya, laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk menjadi ilmuwan dan mengambil peran sosial keagamaan.
Stereotipe dan image kepada perempuan yang cenderung negatif sudah turun temurun menyebabkan perempuan diposisikan sebagai 'manusia kelas dua'. Mereka dianggap tidak memiliki kapabilitas intelektual, keilmuan, moral, dan keahlian yang lain. Ini merupakan salah satu fakta peradaban patriarki yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Padahal, Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah Saw. misalnya, salah satu tokoh hadis yang termasuk golongan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-muktsiruna bil-hadits).
Selain Aisyah, sejumlah ulama perempuan juga, antara lain Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah binti Umar, Asma binti Abu Bakar, Ramlah binti Abi Sufyan, Fatimah binti Qais dan lain-lain. Mereka adalah guru utama bagi kaum perempuan sekaligus bagi kaum laki-laki. Mereka biasa berdiskusi dan berdebat secara terbuka dengan ulama laki-laki dalam banyak aspek dan untuk menyelesaikan problem kehidupan umat pada masanya.
Lembaran catatan biografi perjalanan intelektual imam Syafi'i mengisyaratkan keseteraan (equality) ulama laki-laki dan perempuan. Meskipun tentu bukan perbandingan kuantitas, melainkan pada perannya di dalam melakukan transmisi keilmuan Islam. Sayyidah Nafisah adalah bukti historis tentang peran ulama perempuan di dalam dunia Islam.
Siapa itu Sayyidah Nafisah?
Beliau adalah seorang perempuan suci, cicit dari Nabi Muhammad Saw. Ia juga seorang ilmuwan terkemuka di masanya, sehingga Imam Syafi’i pun berguru padanya. Dialah Sayyidah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.Sayyidah Nafisah (145 H -208 H). Makamnya di Kairo, Mesir, sampai sekarang masih dipenuhi para peziarah.
Beliau dilahirkan di Makkah pada tahun 145 H. Ayahnya merupakan seorang Gubernur Madinah pada masa Khalifah Ja'far al-Manshur. Bisa dikatakan, ia merupakan sosok yang terlahir dari keluarga berada. Meskipun begitu, Sayyidah Nafisah dikenal sebagai perempuan zuhud yang tidak silau dengan gelimang harta atau jabatan.
1. Ilmuwan dan Hafidzah Al-Qur'an
Beliau merupakan sumber pengetahuan keislaman yang berharga (Nafisah al-‘Ilm). Beliau juga sosok wanita pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Bahkan, sebagian orang mengategorikannya sebagai wali perempuan dengan sejumlah karamah.
Sejak kecil, Sayyidah Nafisah sudah hafal Al-Qur’an dan setiap selesai membaca Al-Qur’an beliau selalu berdoa, “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim”. Ia memahami bahwa Nabi Ibrahim adalah bapak monoteisme sejati (tauhid), sekaligus bapak Nabi Muhammad lewat jalur Nabi Ismail yang notabene keturunan Nabi Ibrahim.
2. Hijrah ke Kairo
Ketika berusia 44 tahun, Sayyidah Nafisah tiba di Kairo pada 26 Ramadhan 193 H. Beliau pindah ke Mesir karena menikah dengan Ishaq al- Mu'tamin bin Imam Ja'far as-Shadiq. Kabar kedatangan perempuan yang luar biasa ini telah menyebar luas. Ia pun disambut oleh penduduk Kairo yang merasa bersyukur didatangi oleh Sayyidah Nafisah. Ratusan orang tiap hari datang hendak menemuinya. Tujuannya mulai dari maksud berkonsultasi, meminta didoakan ataupun mendengar nasihat dan ilmu darinya.
Bahkan, dikabarkan banyak orang dari kampung yang sampai bermalam di luar kediamannya, menunggu kesempatan untuk bisa bertemu. Lambat laun, Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita melayani umat. Hal itu menjadi alasan ia memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan bermaksud kembali ke Madinah agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad Saw. Tapi, penduduk Kairo keberatan dan memelas agar Sayyidah Nafisah membatalkan keputusannya untuk mudik ke Madinah.
Gubernur Mesir turun tangan. Ia melobi Sayyidah Nafisah untuk bertahan di Kairo. Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya, sehingga kediamannya bisa menampung umat lebih banyak. Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari Rabu dan Sabtu saja. Di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah menyendiri.
Gubernur menunggu beberapa saat. Sementara Sayyidah Nafisah terlihat diam, menunggu petunjuk Allah. Akhirnya, setelah mendapat izinNya, ia pun menerima tawaran Gubernur dan memutuskan tinggal di Kairo sampai ajal menjemputnya.
3. Perjumpaannya dengan Imam Syafi'i
Sebelum tiba di Mesir, Imam al-Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengar pengajian dan ceramahnya. Al-Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah Nafisah.
Beberapa waktu kemudian, al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah menyambutnya dengan penuh kehangatan dan kegembiraan. Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering untuk selanjutnya.
Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Bila al-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya. Begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Saking seringnya, sehingga dikabarkan bahwa al-Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, justru dalam status Imam al-Syafi’i sebagai tokoh besar dalam bidang usul al-fiqh dan fiqh kala itu. Beliau sadar bahwa 'di atas langit masih ada langit:. Dalam.bajasa Bugis disebut :silallo tessirapi (saling melengkapi satu sama lain).
Seperti diketahui bahwa sebelum datang ke Mesir, Imam al-Syafi’i sudah terlebih dahulu terkenal dan harum namanya di Baghdad. Fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i di Baghdad dikenal sebagai ‘qaul qadim’, sedangkan fatwa beliau di Kairo dikategorikan sebagai ‘qaul jadid’. Pada bulan Ramadhan, al-Syafi’i juga sering melakukan shalat Tarawih bersama Sayyidah Nafisah di masjid ulama perempuan ini. Begitulah kedekatan kedua orang hebat ini.
4. Mendoakan Imam Syafi'i dan Kasyaf
Manakala Imam al-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu sahabatnya kembali, sang Imam tampak sudah sembuh. Ketika dalam beberapa waktu kemudian al-Syafi’i sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama, meminta didoakan. Kali ini, Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim” (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa denganNya).
5. Menyalati Jenazah Imam Syafi'i
Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba. Al-Imam kemudian berwasiat kepada murid utamanya, al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya jika kelak dirinya wafat. Ketika al-Syafi’i wafat, jenazahnya dibawa ke rumah sang ulama perempuan tersebut untuk dishalatkan.
6. Beberapa Nasehatnya
Menurut KH. Husein Muhammad, diantara nasihat Sayyidah Nafisah kepada para muridnya adalah: Pertama, jika kalian ingin berkecukupan, tidak menjadi miskin, bacalah QS. al-Waqi’ah [56]. Kedua, jika kalian ingin tetap dalam keimanan Islam, bacalah QS. al-Mulk [67]. Ketiga, jika kalian ingin tidak kehausan pada hari dikumpulkan di akhirat, bacalah QS. al-Fatihah [1]. Keempat, jika kalian ingin minum air telaga Nabi di akhirat, maka bacalah QS. al-Kautsar [108]. .
7. Amalan dan Keistimewaannya
Hari-hari Sayyidah Nafisah diisi dengan mempelajari hadis serta ayat-ayat Al-Qur'an. Uniknya, ia dikenal sebagai perempuan yang ummi (tidak mahir baca+tulis). Meski demikian, keadaan tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk mempelajari banyak ilmu. Sebagai seorang ahli hadis, banyak orang yang sering mendatangi rumahnya ketika di Mesir untuk berguru.
Keistimewaan Sayyidah di antaranya adalah mampu menghafal Al-Qur'an, pengajar, serta sering menunaikan ibadah haji, bahkan sampai 30 kali. Ia juga diyakini sudah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 1.900 kali. Dan kabarnya, salat malam tidak pernah ia tinggalkan.
8. Imam Mazhab Berguru kepadanya
Salah satu orang yang mendatanginya adalah Imam Syafii. Dari Sayyidah Nafisah, Imam Syafii belajar berbagai macam bidang ilmu seputar fikih, hadis, hingga persoalan-persoalan ibadah. Selain Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah menemui Sayyidah Nafisah untuk meminta doa.
Sejak saat itulah, rumah Sayyidah Nafisah sering didatangi tamu dengan tujuan yang bermacam-macam mulai dari meminta diajarkan ilmu agama hingga minta didoakan seperti halnya Imam Ahmad bin Hanbal. Pujian yang disematkan kepada Sayyidah Nafisah di antaranya datang dari Ahmad bin Kaf yang memberinya julukan "Ad-Darain" (permata berharga di dua alam). Alasannya, perempuan tersebut tepat menggambarkan seorang arif dan salehah.
Meraih Husnul Khatimah
Meskipun bukan kapasitas saya untuk memastikan apa yang ada di sisi Allah, apakah Sayyidah Nafisah itu benar-benar wafat dalam keadaan husnul khatimah atau tidak. Namun, saya meyakini bahwa membaca Al-Qur'an adalah sesuatu amalan yang baik. Jadi saya ber-husnuzh-zhann beliau dikaruniai kebaikan hingga akhir hayatnya. Dan, sejarah mencatat kurang lebih seperti itu. Diriwayatkan bahwa saat wafatnya, Sayyidah Nafisah tengah melantunkan ayat suci Al-Qur'an Surah Al-An'am ayat 127.لَهُمۡ دَارُ السَّلٰمِ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ وَهُوَ وَلِيُّهُمۡ بِمَا كَانُوۡ يَعۡمَلُوۡن . "Bagi mereka (disediakan) tempat yang damai (surga) di sisi Tuhannya. Dan Dialah pelindung mereka karena amal kebajikan yang mereka kerjakan".
Boleh jadi ini subjektif, tapi saya meyakini bahwa orang yang wafat dalam keadaan sedang membaca Alquran adalah tanda akhir hayat yang baik (husnul khatimah).. Wafat dalam keadaan husnul khatimah tentulah merupakan harapan dan doa kita semua, termasuk saya. Saya yakin Anda juga. Akan lebih baik lagi apabila kita berdoa dan saling mendoakan agar kita semua diberi kesempatan untuk meraih husnul khatimah. Aamiin!
Catatan Akhir
Sayyidah Nafisah, cicit langsung Rasulullah Saw. merupakan salah satu guru Imam Syafi'i. Beliau seorang guru yang zuhud, salehah. Bahkan beliau dikategorikan sebagai seorang wali. Hal yang unik dari sosok Sayyidah Nafisah adalah mendapatkan ilmu wahbi atau ilmu ladunni (pemberian dari Allah). Gurunya adalah Allah Swt. Tidak sekedar ilmu, tapi Allah juga memberikan 'al-Hikmah'.
Kesalehan dan ketakwaan serta konsistensinya dalam mengajarkan ilmunya menjadi jalan memperoleh ilmu ladunni. Allah menunjukkan hal itu. "Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan kepada kalian ilmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu".(Al-Baqarah: 282). "Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi al-hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Qs. Al-Baqarah: 269).Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.
Mencari guru yang saleh dan berguru kepadanya adalah salah satu cara mendapat keberkahan ilmu. Guru yang saleh akan menjadi 'wasilah' untuk mendapatkan ilmu dari sisi Allah. Hal yang menjadi kesadaran imam Syafi'i adalah, Sayyidah Nafisah adalah cicit Rasulullah dan ilmunya merupakan pemberian dari Allah. Ma'rifat ada pada sosok wanita mulia itu. Bagi imam Syafi'i, menimba ilmu dari keturunan Rasulullah, apalagi ilmu ladunni adalah salah satu karunia Allah. Tidak ada ilmu yang sempurna kecuali ilmu Allah. Wallahu a'lam bishsh-shawab
Salam nalar kritis!
0 komentar