Oleh Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 02/03/2021
Prolog
Bertepatan hari ini saya harus menulis dan menyampaikan makalah untuk memenuhi undangan sebagai narasumber pada Webinar di salah PTKIN di luar Sulawesi. Hari ini juga saya sudah buat komitmen untuk menyampaikan kuliah perdana kepada mahasiswa UIN Alauddin dalam matakuliah ilmu tafsir, dan melayani konsultasi tesis mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin. Di tengah itu semua saya menuliskan artikel ini sebagai media komunikasi kepada mahasiswa dan para pembaca yang Budiman. Tidak sempat saya mengedit dan membaca ulang. Mungkin Anda menemukan kekeliruan. Saya akan edit nanti, insyaallah. Semoga Anda semua sehat.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tiga tulisan sebelumnya tentang Khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Pada tulisan ini saya tidak perlu mengulangi lagi. Tulisan ini lebih fokus pada Utsman bin Affan dilihat dari karakter dan kontribusi kepemimpinannya, terutama dalam soal ekonomi.
Pada salah satu channel televisi pada tahun 2019 lalu, saya ingat ada seorang peserta diskusi yang bertanya, bagaimana kriteria pemimpin yang ideal? Narasumber itu menjawab, Lihatlah orang yang sudah bertindak pemimpin sebelum ia resmi menjadi pemimpin. Kontribusinya dalam pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat sudah nyata sebelum ia resmi menjadi pemimpin. Sebab, Anda terlalu sulit menemukan calon pemimpin seperti itu di tahun politik seperti ini (2019). "Kata narasumber itu". Sebab, di tahun politik, aksi pencitraan menjamur.
Ketika mendengar penjelasan itu, spontan saya langsung teringat kisah khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Beliau berlatarbelakang pengusaha yang kaya raya. Tidak hanya itu, pengorbanan dan dedikasinya sudah teruji sebelum memimpin, calon pemimpin seperti ini tentu dinanti.
Kelihaian Diplomasi Bisnis Utsman
Seperti disinggung sebelumnya, Utsman bin Affan merupakan salah satu sahabat Nabi dengan latar belakang pengusaha yang kaya dan juga sangat dermawan. Dengan kekayaan dan kedermawanannya, beliau banyak memberikan harta bendanya untuk menegakkan dakwah lslam bersama Rasulullah Saw.
Diantara bukti kedermawanannya, yaitu pada saat Perang Tabuk melawan Romawi, Utsman menyediakan 300 ekor unta dan 1.000 dinar dari kantong pribadinya untuk bekal perang. Selain itu, Utsman juga pernah membeli sebuah sumur milik orang Yahudi di Madinah. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi umat Islam.
Dalam buku Usman bin Affan yang ditulis Muhammad Husein Haikal, pada saat itu di Madinah hanya ada satu sumur yang mengeluarkan air. Sumur tersebut dimiliki seorang Yahudi. Orang Yahudi tersebut menjual airnya kepada umat Islam dengan harga yang cukup tinggi. Tentu saja umat Islam menjadi resah dengan persoalan ini. Anda membayangkan diri dalam posisi itu, yang seluruh kebutuhan air harus dibeli tunai dengan harga mahal. Hal ini bukan rahasia bagi umat Islam di Madinah kala itu.
Kabar ini akhirnya sampai kepada Rasulullah Saw. Beliau lantas menyeru kepada para sahabatnya untuk menyelesaikan persoalan air dan sumur tersebut. Beliau menjanjikan siapapun yang membeli sumur miliki Yahudi itu dan mewakafkannya untuk umat Islam, maka kelak ia akan memperoleh minuman di surga, sebanyak air dalam sumur tersebut.
Mendengar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut, Utsman bin Affan langsung melakukan tindakan. Beliau mendatangi seorang Yahudi pemilik sumur tersebut. Dengan segala kepandaiannya dalam komunikasi bisnis. Dengan skill-nya dalam bernegosiasi, Utsman pun berhasil meyakinkan Yahudi itu dan membeli sumur tersebut dengan harga 12.000 dirham. (Entah berapa nilai tukarnya ke rupiah hari. Anda boleh cek di google atau tanyakan ke money changer).
Singkat cerita, Utsman bin Affan berhasil meraih satu langkah. Memang tidak mudah, karena sumur tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh Utsman. Utsman harus bergantian untuk mengambil air tersebut, pasalnya sehari sumur tersebut milik Utsman dan sehari lagi sumur tersebut milik Yahudi dan begitulah seterusnya. Itu artinya, Utsman harus menerima kesepakatan berbagi kesempatan secara seimbang.
Utsman punya taktik bisnis yang cerdas. Beliau menyerukan kepada kaum muslimin agar mengambil air sumur tersebut sebanyak mungkin pada hari ketika sumur tersebut menjadi giliran Utsman. Kondisi demikian berjalan beberapa waktu. Hingga akhirnya Yahudi pemilik sumur tersebut merasa kehilangan pelanggan dari umat Islam. Bagaimana tidak, pada hari jatah dan giliran Ustman, umat Islam bebas mengambil air sebanyak yang mereka bisa ambil secara gratis. Begitu giliran hak Yahudi, tak ada pelanggan dari umat Islam. Mereka sudah cukup persiapan ketika giliran Utsman.
Baru sadar, ternyata Si Yahudi itu terlanjur salah strategi. Karena merasa kehilangan pelanggan dari umat Islam. Daripada sepi pelanggan, Si Yahudi itu berpikir lebih baik ia mencoba menawarkan kepada Utsman untuk membeli sumurnya secara penuh. Utsman mengeluarkan 8.000 dirham lagi dari kantongnya untuk melunasi harga sumur tersebut. Kesimpulannya, terjadilah kesepakatan dan transaksi jual beli sumur antara laki-laki Yahudi itu dan Utsman.
Kini, sumur itu sudah sah dimiliki Utsman sepenuhnya. Sumur ini lantas diberikan dan diwakafkan kepada umat Islam sehingga mereka bebas mengambil air kapanpun dan sebanyak yang mereka butuhkan. Sumur tersebut dikenal dengan nama sumur Raumah.
Pengelolaan Wakaf Utsman
Setelah Kerajaan Arab Saudi berdiri, perawatan dan pengelolaan kebun tersebut berjalan semakin baik. Di kebun itu tumbuh sekitar 1.550 pohon kurma. Kementerian Pertanian ditunjuk oleh Kerajaan Arab Saudi untuk mengelola hasil kebun tersebut. Uang yang didapat dari panen kurma dibagi dua.
Setengah dari hasil panen itu untuk anak-anak yatim dan fakir miskin. Sedang yang setengah lainnya lagi disimpan di sebuah bank dengan rekening atas nama Utsman bin Affan. Data ini berdasarkan sumber yang saya peroleh.
Berdasarkan satu sumber, disebutkan bahwa rekening itu dipegang oleh Kementerian Wakaf Kerjaan Arab Saudi. Tentu uang yang tersimpan di bank terus bertambah dari waktu ke waktu. Sampai dapat digunakan untuk membeli sebidang tanah di kawasan Markaziyah (area eksklusif) dekat Masjid Nabawi di Madinah.
Doakan saya agar bisa menyaksikan langsung perkembangan yang ada di lokasi dan bisa menulis kembali data yang paling akurat berdasarkan perkembangan paling mutakhir. Sebab, saya tidak sempat mengagendakan secara khusus ke lokasi itu. Pada tahun 2015 di musim haji berkesempatan ke Madinah, namun tak terpikirkan untuk mencari data tentang wakaf Utsman itu. Memang tidak ada rute kesitu. Padahal, lokasi sangat menarik untuk diteliti.
Ini penting untuk Indonesia yang sedang mencari alternatif ekonomi melalui wakaf. Siapa tau saya jadi Menteri Wakaf Pertama untuk Indonesia. Hmmmm... Ah, ini hanya selingan. Agar Anda tersenyum sambil membaca kalimat berikutnya. Ayo, kita kembali ke masalah utama, yaitu tentang wakaf tersebut.
Di atas tanah itu telah dibangun hotel Usman bin Affan dari uang rekeningnya. Hotel ini berada di samping Masjid bernama Utsman bin Affan pula. Dan, kini hotel Utsman bin Affan menjadi hotel bintang lima. Dibangun dengan tabungan Utsman bin Affan yang telah berusia lebih dari seribu tahun.
Sudah dilengkapi dua restoran besar dan enam unit perbelanjaan. Hotel dioperasionalkan oleh Sheraton, salah satu hotel bertaraf internasional. Uang dari hasil pendapatan, setelah dibagi dengan pengelola akan dibagikan kepada kaum miskin dan masuk ke rekening Utsman bin Affan. Itu sekilas tentang wakaf Utsman bin Affan yang terus berkembang hingga sekarang.
Di Balik Kisah
Jika Allah menghendaki kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya maka Dia memberi petunjuk dan memudahkan kepada hamba itu jalannya. Dan, jalan kemuliaan itu banyak. Ada orang yang dimuliakan oleh Allah Swt. dengan hartanya. Utsman bin Affan adalah salah satunya. Utsman memandang dan memosisikan harta kekayaan sebagai fasilitas untuk mewujudkan kesalehan dengan menolong hamba-hamba Allah.
Kita butuh banyak orang kaya yang saleh dan dermawan semisal Utsman. Para ulama dan tokoh-tokoh ormas mestinya mencontoh Rasulullah Saw. bagaimana mengkader generasi penerus menjadi pengusaha yang saleh. Selain itu, ulama sebagai pewaris para nabi, mesti bergandengan tangan dengan para konglomerat. Ulama tidak semestinya menjauhi konglomerat. Sebab, bagaimanapun, perjuangan dakwah Islam bisa dilakukan dengan efektif bila didukung oleh kekuatan ekonomi.
Catatan Akhir & Rekomendasi
Islam mengajarkan kemuliaan dengan prinsip: "tangan di atas lebih baik dan lebih terhormat daripada tangan di bawah". Dengan kata lain, tangan muzakki lebih baik daripada tangan mustahiq. Perintah berzakat, berinfaq, bersedekah, dan membantu sesama - khususnya dalam soal ekonomi - tersirat perintah untuk menjadi lebih kaya dan dermawan.
Untuk mewujudkan itu, kita membutuhkan sistem pendidikan dan ilmu ekonomi berbasis syariah yang mumpuni. Hal ini merupakan ikhtiar yang sangat urgen untuk menghadapi kekuatan ekonomi oligarki. Kepemimpinan harus kuat secara politik, hukum, dan ekonomi. Umat Islam Indonesia berada pada keadaan yang sangat strategis.
Indonesia yang berpenduduk muslim mayoritas dan terbesar di dunia sudah seharusnya menjadikan wakaf sebagai salah satu sumber ekonomi yang penting bagi umat. Harus memiliki konsep dan agenda yang terbangun dari para pakar ekonomi Syariah.
Selain itu, status wakaf harus didukung kemampuan managerial dan kepastian hukum. Sebab, masih banyak wakaf yang hingga kini bermasalah lantaran tidak ada bukti legalitas hukumnya. Ini bukan dugaan, apalagi tuduhan, tapi temuan beberapa laporan hasil riset para dosen yang saya baca selama saya menjadi reviewer penelitian dosen dalam lima tahun terakhir.
Untuk mendapatkan public trust (kepercayaan masyarakat), khususnya masyarakat muslim maka perlindungan hukum mesti menjadi kunci. Tapi tentu saja, pemerintah harus memastikan pengembalian kas negara (APBN) yang telah dikorupsi oleh para oknum pejabat yang berubah menjadi koruptor. Tanpa kepastian hukum, pemerintah sulit mendapatkan public trust (kepercayaan masyarakat). Wallahu a'lam bishsh-shawab.
Salam!
0 komentar