Oleh Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 24/02)2021
Pendahuluan
Ada sebuah ungkapan begini: "sejarah membuktikan bahwa kita tidak pernah benar-benar belajar sejarah". Salah satunya adalah sejarah tentang sosok pemimpin yang sederhana dan sangat berwibawa. Kita hanya lebih terbiasa membaca dan mengetahui sejarahnya, tapi tak menjadikan teladan yang hidup dalam keseharian kita. Saya juga merasa disindir oleh pernyataan itu. Tapi, mungkin banyak benarnya - kalau enggan mengakui sepenuhnya benar - pernyataan tersebut. Saya mengangkat ini mengingat para pembaca umumnya dari kalangan mahasiswa dan pemuda yang kelak menjaga penerus dan pemimpin.
Kesederhanaan akhir-akhir ini menjadi keadaan langka, apalagi di tengah-tengah perkotaan yang megah. Orang yang sederhana menjadi makhluk langka. Kini, kesederhanaan diidentikkan dengan kebodohan dan kemiskinan, bahkan kegilaan. Kesederhanaan tergusur dengan kemewahan dan konsumerisme bersama sejumlah aktivitas ekonomi lainnya.
Kesederhanaan tidak hanya tecermin dalam gaya hidup, tetapi juga dalam pola pikir mencari penghidupan. Seorang yang berpikiran sederhana tentunya tidak akan sampai melebihi batas kebutuhan hidupnya. Tuntutan dan keinginan akan selalu disesuaikan dengan kemampuan. Iklan-iklan bertebaran menggerogoti seolah hendak memaksakan gaya hidup yang konsumeris tanpa batas.
Dalam konteks tersebut, bagian kecil dari kisah kesederhaan Umar bin Khattab kiranya layak kita renungkan dalam dalam. Beliau adalah kader langsung Rasulullah Saw. Beliau tau persis keteladanan yang dilihat langsung dari Rasulullah Saw. Kalau kita tau dan percaya bahwa teladan terbaik ada pada diri Rasulullah Saw. namun kita tak punya pengalaman empirik. Maka, pelanjutnya (Umar) adalah cerminan keteladanan bagaimana menjadi pemimpin dunia akhirat.
Kesederhanaan Khalifah Umar
Suatu hari, seorang laki-laki Yahudi dari Mesir datang ke Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab. Namun ia sungguh belum tahu, yang mana Umar bin Khattab, kepala pemerintahan negeri Islam yang wilayahnya makin meluas itu. Kepada seseorang yang ia temui di perjalanan, ia bertanya, “Di manakah istana raja negeri ini?”
Orang itu menjawab, “Lepas dzuhur nanti, ia akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid. Dekat pohon kurma. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke tempat itu.” Orang tersebut mengarahkan sambil menunjuk ke arah rumah Khalifah Umar bin Khattab.
Yahudi itu sesungguhnya membayangkan, alangkah indahnya istana Khalifah, dihiasi kebun kurma yang rindang, tempat berteduh merintang-rintang waktu. Maka, tatkala tiba di depan masjid, ia kebingungan. Sebab, di situ tidak ada bangunan megah yang menyerupai istana. Memang, ada sih pohon kurma, tetapi cuma sebatang saja.
Di bawahnya, tampak seorang lelaki kekar dengan jubah yang sudah luntur warnanya tengah tidur-tidur ayam. Yahudi itu mendatanginya dan bertanya, “Maaf Syaikh, saya mau berjumpa dengan Khalifah Umar bin Khattab.”
Sambil bangkit dan tersenyum, Umar menjawab, “Akulah Umar bin Khattab.”
Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini.”
Umar menjelaskan, “ Ya, benar. Akulah Khalifah, pemimpin negeri ini.”
Yahudi itu makin kaget. Mulutnya seolah terkatup rapat, tidak bisa bicara. Diam seribu bahasa. Ia membandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba gemerlapan dan para raja Israel yang istananya juga tak kalah agung. Sungguh tidak masuk akal, kalau ada seorang pemimpin dari suatu negara yang begitu besar, tempat istirahatnya hanya di atas selembar tikar, di bawah pohon kurma di tengah langit yang terbuka.
“Di manakah istana Tuan?’ tanya sang Yahudi.
Umar menuding, “Di sudut jalan itu. Bangunan nomor tiga dari yang terakhir, kalau yang kau maksudkan adalah kediamanku.”
“Maksud Tuan, yang kecil dan kusam itu?” Si Yahudi tambah keheranan.
“Ya. Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada dalam hati yang tenteram dengan ibadah kepada Allah Azza Wa Jalla.” Sambut Umar sembari tetap tersenyum. Umar sama sekali tidak menampakkan sikap minder.
Yahudi itu kian tertunduk. Kedatangannya yang tadinya hendak melampiaskan kemarahan dan sejumlah daftar tuntutan, berubah menjadi kepasrahan dengan segenap jiwa dan raga. Sambil matanya berkaca-kaca ia berkata, “Tuan saksikanlah, sejak hari ini saya meyakini kebenaran agama Islam. Izinkan saya memeluk Islam sampai mati. Ayshadu Alla iIaha illallah wa ayshadu anna Muhammadarrasulullah"
Kesederhanaan
Kesederhanaan itu berbeda jauh dengan ketidakmampuan atau kemiskinan, karena miskin itu kondisi hidup sedangkan sederhana adalah gaya hidup.” Demikian kata Cak Lontong (Lies Hartono). Jadi, sederhana itu tidak bergantung pada kondisi ekonomi melainkan sebuah gaya hidup seseorang.
Kesederhanaan akhir-akhir ini menjadi makhluk langka, apalagi di tengah-tengah perkotaan yang megah. Kesederhanaan identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Jangankan barangnya, disebut saja sangat jarang. Kesederhanaan sebagai konsep dan perilaku kini telah menjadi orang asing di rumah sendiri. Kesederhanaan mulai tergusur dengan kemewahan, dengan perbelanjaan (konsumerisme) dan segudang aktivitas ekonomi lainnya.
Kesederhanaan tidak hanya tecermin dalam gaya hidup, tetapi juga dalam pola pikir mencari penghidupan. Seorang yang berpikiran sederhana tentunya tidak akan sampai melebihi batas kebutuhan hidup. Tuntutan dan keinginan akan selalu disesuaikan dengan kemampuan. Sehingga, tidak ada rasa ingin menguasai dan memiliki hak orang lain di luar haknya.
Sebuah perkataan yang perlu dipikirkan adalah cukupkanlah hidupmu dengan penghasilan Anda. Artinya, dalam ranah perekonomian individu dan keluarga perlu adanya strategi pendanaan yang berakar pada pengendalian nafsu berbelanja dan membeli. Kita harus kembali belajar memilah antara perkara yang harus dibeli, yang boleh dibeli, dan yang tidak perlu dibeli.
Kesederhanaan itu Meringankan
Ada orang berprinsip: "Lebih sedikit barang, sama dengan lebih banyak kebebasan." (Maxime Lagacé). Tentu sebaliknya, makin banyak barang makin mengurangi kebebasan. Sebenarnya, hidup sederhana dan praktis itu mestinya menjadi pola hidup. Ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an.
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami . Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (Qs. Al-Baqarah: 186).
Berdasarkan petunjuk ayat ini, Allah Swt. mengajarkan agar kita hidup dengan gaya hidup tidak membebani melebihi batas kemampuan. Perintah agama pun demikian. Kita tidak diberi tugas melampaui batas kemampuan. Kalau dalam urusan ibadah saja tidak boleh melampaui kemampuan, tentu ini juga mestinya diwujudkan dalam pola hidup.
Hal itu sudah diatur sedemikian jelas. Kewajiban salat berdiri bagi yang mampu, yang hanya mampu duduk maka salat dengan duduk, atau bisa berbaring. Kewajiban berpuasa, siapa wajib berpuasa, boleh berbuka, siapa yang wajib mengganti (meng-qadha), dan siapa yang boleh ber-fidyah, kewajiban berzakat (siapa muzakki dan siapa pula mustahiq), kewajiban berhaji bagi yang mampu dan lain-lain. Ketentuan dan syaratnya telah diatur sedemikian tapi.
Tugas kita adalah memaksimalkan kemampuan dan menyederhanakan gaya hidup. Bukan sebaliknya, menuruti daftar keinginan (gaya hidup) dengan kemampuan yang terbatas. Dengan istilah lain, selera tinggi ekonomi lemah (STIEL). Pangkal masalah adalah STIEL Daftar keinginan dan daftar kebutuhan terlalu sulit dibedakan
Pola dan gaya hidup Khalifah Umar bin Khattab yang meneladani Rasulullah Saw. mengajarkan kesederhanaan di saat kemampuan dan kekuasaan ada di dalam genggamannya. Beliau hidup sederhana bukan keterpaksaan, melainkan pilihan hidup beliau sekaligus sebagai panutan umat bahwa kesederhanaan merupakan solusi mengatasi berbagai krisis.
Pemimpin dan Penguasa
Tidak ada pemimpin yang melakukan korupsi. Sebab, ia benar pemimpin maka ia tau bahwa dia sendiri yang harus menjaga dan mengawasi agak tidak terjadi korupsi. Yang melakukan korupsi itu penguasa atau pejabat yang tidak bermental pemimpin. Ketika ia terbukti melakukan korupsi, ia paling disebut 'oknum pejabat'.
Masalah korupsi yang terjadi di kalangan para pejabat publik adalah didorong oleh keinginan yang tak terbatas dengan mental lemah. Akibatnya, diantara mereka ada menempuh cara-cara yang koruptif. Gaya hidup yang konsumeris yang dipaketkan dengan hilangnya budaya malu (Siri') telah membawa malapetaka baginbangsa, negara dan rakyat.
Para pejabat yang menjadi koruptor sesungguhnya bukanlah pemimpin mereka hanya penguasa. Mereka bukan pengayom bagi rakyatnya, melainkan penindas. Mereka bukan pelayan publik, mereka sedang melayani kepentingan dirinya. Mereka tidak sedang mensejahterakan rakyatnya, melainkan mereka sedang kesejahteraan diri sendiri dan keluarga.
Ciri kepemimpinannya lebih terkonsentrasi pada pembangunan fisik dan mengabaikan proyek moral bangsanya. Visinya tidak mencerminkan visi pembangunan berkelanjutan. Singkatnya pemimpin BBM lebih cenderung menjadi teladan, sedangkan penguasa menjadi komandan dan anti nasehat.
Dalam konteks inilah muncul terminologi yang membedakan keduanya: pemimpin (leader) atau penguasa (ruler). Ada orang yang mengatakan bahwa Soekarno adalah seorang leader dan Soeharto adalah seorang ruler. Apa bedanya? Saw
PEMIMPIN | PENGUASA |
Mengarahkan, memberikan arah | Memerintah, memberikan perintah |
Menjadi teladan | Menjadi komandan |
Memberi inspirasi | Memberi instruksi |
Mens-hare-kan Visi dan Misi | Men-share-kan Job Deskripsi |
Mengorbankan diri demi orang lain. Bekerja Ikhlas | Mengorbankan orang lain demi diri. Bekerja demi pencitraan |
Disegani, dihormati, disayangi | Ditakuti, dihindari, dicibir, hingga disumpahi |
Memiliki murid/kader yang belajar padanya | Memiliki pengikut yang fanatik (buzzer dan influenzer) |
Rendah hati dan mau belajar | Tinggi hati dan merasa benar, anti nasehat |
Dikenang walaupun sudah tiada | Dilupakan walaupun masih hidup |
Berdasarkan tabel perbandingan antara ciri pemimpin dan penguasa di atas maka sosok Umar bin Khattab berada pada kategori Pemimpin. Saya percaya keutamaan Umar bin Khattab jauh lebih baik daripada tabel di atas. Dan, kapasitas saya untuk menakar kesederhanaan beliau. Umar bin Khattab layak disebut sebagai role model bagi pemimpin yang ideal. Beliau berani melakukan kebijakan yang tidak populis namun sangat visioner.
Beliau memadukan karakter kepemimpinan yang keras dan lembut. Beliau memosisikan kedua karakter tersebut secara tepat dalam kepemimpinan. Beliau tidak mengandalkan kemampuan melainkan pertolongan Allah. Ketika berada di puncak kekuasaan, beliau semakin menunjukan kesederhanaan yang menghiasi jiwa dan raganya. Layak kita renungkan, apakah kita sudah memilih pemimpin setiap pemilu? Atau kita hanya main-main memilih pejabat (penguasa)? Wallahu a'lam bishsh-shawab
Salam!
0 komentar