BLANTERORBITv102

    INSPIRASI DARI KISAH PERJALANAN IMAM SYAFI'I MENUNTUT ILMU

    Rabu, 10 Februari 2021


    Oleh Muhammad Yusuf,

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata, 10/2/2021

    Prolog

    Tulisan ini hadir di depan Anda para mahasiswa dan segenap pembaca yang Budiman, bertujuan untuk mengingatkan kita khususnya para penuntut ilmu dan orang tua yang sedang menyekolahkan putra-putrinya. Ini membincangkan begitu mulianya ilmu dibandingkan harta. Akan tetapi, ini sama sekali bukan menyepelekan kedudukan dan fungsi harta. Sebab bagaimanapun, harta adalah fasilitas hidup, namun bukan tujuan hidup. Bahkan, harta merupakan bekal untuk memperoleh ilmu. 

    Ketika para penuntut ilmu dan orang tua membalik logikanya dengan menjadikan harta sebagai tujuan maka kesuksesan penuntut ilmu diukur dari seberapa banyak harta kekayaannya. Mereka mengalami disorientasi. Cara pandang seperti itulah yang berpotensi mendorong terjadinya kaum terpelajar untuk melakukan korupsi demi mewujudkan impian menjadi orang kaya. Penilaian sebagian masyarakat yang menjadikan harta sebagai standar kesuksesan para penuntut ilmu adalah cara pandang yang sangat berbahaya.

    Serpihan kecil dari kisah imam Syafi'i dan sikap ibundanya berikut ini akan menginspirasi kita untuk mengembalikan tujuan menuntut ilmu pada porosnya. Silahkan simak!

    Mengenal Imam Syafi'i

    Imam Syafi'i (150-204 Hijriyah) nama aslinya Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i. Namun biasa umat Islam memanggilnya Imam Asy-Syafi'i. Beliau mendapat julukan Nashir Al-Hadits (pembela Sunnah Nabi). Beliau juga faqih (ahli fiqh), bahkan imam Mazhab. Kisahnya mungkin Anda sudah dengarkan dari ustadz atau membacanya melalui kitab-kitab yang memuat biografi beliau. Meskipun demikian, saya mengutip kembali di sini untuk menjadi inspirasi buat para penuntut ilmu ataupun orang tua yang sedang menyekolahkan anak-anaknya.

    Ketika di Mekkah

    Ketika berguru di kota Mekah, Imam Syafi’i diperintahkan oleh gurunya, "wahai Muhammad pergilah engkau ke Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya ilmuku sudah habis, semuanya sudah kuajarkan padamu". Imam syafi’i pun menuruti perintah sang guru dan beliau segera berpamitan dengan sang ibu. Berkatalah sang Ibu, "pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, kita akan bertemu nanti di akhirat." Maka Imam Syafi'i pun berangkat ke Madinah mencari guru untuk mengajarkannya ilmu.

    Ketika di Madinah

    Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama, Imam Syafi'i langsung menyerap ilmu yang diajarkan Imam Malik sehingga semua orang terkagum-kagum dibuatnya. Termasuk sang guru yang pada saat itu merupakan ulama tertinggi di Madinah, Imam Syafi'i pun menjadi murid kesayangan Imam Malik.

    Ketika di Irak

    Imam Syafii kemudian mengembara ke Iraq dan menimba ilmu di sana, Beliau berguru kepada murid-murid Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Meski sudah banyak menyerap ilmu di Irak, Imam Syafi'i belum ingin pulang karena belum ada panggilan dari ibundanya. Di Irak Imam Syafi'i berkembang menjadi murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas. Sehingga, dalam waktu singkat ia sudah diminta untuk mengajar. Tak butuh waktu lama, ribuan murid pun berbondong-bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama besar yang terkenal ke seluruh penjuru Irak hingga Hijaz.

    Ketika Menjadi Alim Besar

    Ibunda imam syafi’i pada setiap tahunnya juga melakukan ibadah haji, pada kesempatan tahun itupun sang ibu melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu sang ibu mengikuti kajian dari salah seorang ulama. Sang ulama tersebut sering mengucapkan nama imam Syafi'i. Mendengar ulama tersebut sering mengucapkan nama sang anak, setelah pengajian sang ibu pun menjumpai ulama tersebut. Sang ibu bertanya kepada sang ulama Wahai syekh siapakah itu Muhammad bin Idris Asy Syafi’i? sang ulama pun menjawab bahwa imam syafi’i adalah gurunya di Irak.

    Menerima Pesan Sang Bunda

    Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama bahwa Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang manakah yang Anda maksud? ulama tersebut pun menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota Mekah. Sang Ibu pun terkejut  mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya. Kemudian sang ulama menyampaikan kepada ibunya imam syafi’i bahwa ia ingin berpesan apa kepada sang anak? Sang ibu pun menjawab bahwa ia telah memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.

    Sesampainya sang ulama tersebut di Irak ia langsung menyampaikan pesan tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas untuk pulang ke mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang penduduk irak sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika sang imam ingin pulang, masyarakat serta sang murid pun telah menyiapkan bekal kepada sang imam. Karena sang imam telah menjadi ulama besar di irak ia pun menerima bekal yang sangat banyak, ratusan ekor unta telah diterimanya dari masyarakat dan muridnya di sana.

    Ibunda: Hanya Ilmu, Bukan Harta

    Sesampainya sang imam di pinggir kota Mekah, ia pun memerintahkan sang murid untuk memberitahukan sang ibu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota Mekah. Sang ibu bertanya apakah yang ia bawa? sang murid pun menjawab dengan bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya. Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak untuk pulang.

    Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai sang guru dan menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang. Mendengar berita itu sang imam sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota mekah, kemudian ia memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan ilmunya. Kemudian sang imam memerintahkan sang murid untuk memberitahu sang ibu tentang hal ini, setelah mendengar kabar tersebut sang ibu pun memperbolehkan sang imam untuk pulang. 

    Logika para orang tua saat ini ada yang berbanding terbalik dengan cara pandang dan prinsip ibunya Imam Syafi'i. Ada yang menjadikan harta sebagai standar kesuksesan para penuntut ilmu. Saya yakin bukan Anda maksudnya. 

    Pesan Ali bin Abi Thalib

    Dikisahkan ada beberapa orang datang kepada Ali bin Thalib dan bertanya tentang keutamaan ilmu. Seorang diantara mereka datang kepada Ali bertanya: Hai Ali, mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Ilmu itu warisan para nabi dan harta itu warisan Qarun, Syaddad dan Fir'aun serta lainnya. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya seperti yang pertama. Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Ilmu menjagamu sedang engkau menjaga harta. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya seperti pertanyaan orang pertama dan kedua. Maka Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Pemilik harta mempunyai banyak musuh dan pemilik ilmu mempunyai banyak teman. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang lain lalu bertanya: Mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Apabila engkau belanjakan hartamu ia akan berkurang dan jika engkau amalkan ilmumu ia akan bertambah. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya: Mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya dengan dalil apa? Ali menjawab: Pemilik harta bisa dipanggil si pelit dan menjadi hina sedang pemilik ilmu dipanggil dengan sebutan agung dan mulia. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya: Manakah yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Pemilik harta akan dihisab pada hari kiamat sedangkan pemilik ilmu akan memberi syafaat pada hari kiamat. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya: Mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Harta itu makin lama di diamkan makin bertambah usang, sedang ilmu itu tidak bisa lapuk dan usang. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya: Mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Harta itu bisa membuat hati menjadi keras, sedang ilmu itu menerangi hati. Kemudian pergilah orang itu. 

    Datang lagi seorang yang lain lalu bertanya: Mana yang lebih baik, ilmu atau harta? Ali menjawab: Ilmu lebih baik daripada harta. Orang itu bertanya: Dengan dalil apa? Ali menjawab: Pemilik harta dikatakan sebagai pemilik dengan sebab harta, sedang orang yang berilmu mengaku sebagai hamba Allah. 

    Ali menyatakan, "Andaikata mereka bertanya tentang ini niscaya akan kujawab dengan jawaban lain selama aku hidup. Kemudian datanglah mereka dan menyerah semuanya". Hal itu menggambarkan betapa besarnya keutamaan ilmu dibandingkan dengan yang lainnya.

    Hikmah

    Banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah perjalanan imam Syafi'i menuntut ilmu. Pertama, penuntut ilmu itu laksana orang menyelam di kedalaman air laut. Ia meneguk air laut untuk menghilangkan dahaga. Namun, semakin ia meminum, rasa haus makin terasa. Kedua, seorang guru tidak boleh merasa cukup ilmu. Ia harus terus mendorong murid-muridnya untuk belajar kepada guru-guru yang lain. Ketiga, orang tua tidak semestinya menjadikan harta sebagai tujuan menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, tujuan utamanya adalah mencapai ridha Allah.

    Menyekolahkan anak-anak adalah ladang kebaikan dan bukti ketaatan kepada Allah yang memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Ilmu yang bermanfaat mesti menjadi prioritas utama. Adapun mereka kemudian menjadi kaya lantaran pendidikannya baik, tentu saja itu nikmat Allah yang wajib disyukuri. Memohon kekayaan, kekuasaan, dan ilmu itu bagus. Dan tidak ada masalah, karena itu menjadi sarana bagi kemaslahatan hidup. Silahkan menjadi orang kaya atau jadi pejabat kalau memungkinkan. Hal itu juga diberikan kepada Nabi Sulaiman dan Utsman bin Affan. Yang diingatkan dan diwaspadai dalam kisah di atas adalah apabila harta menjadi tujuan utama dari  belajar atau menyekolahkan anak-anak. 

    Menuntut ilmu dan menyekolahkan anak-anak adalah ibadah. Kata orang yang bijak, 'mencari ilmu itu seperti halnya ibadah, mengungkapkannya seperti halnya bertasbih, menyelidikinya seperti halnya berjihad, mengajarkannya seperti halnya bersedekah, dan memikirkannya seperti halnya berpuasa." Penuntut ilmu dan yang mengajarkannya dengan ikhlas seperti orang yang menghimpun semua pahala kebaikan. Wallahu a'lam bishsh-shawab..


    Salam nalar kritis!