Oleh Muhammad Yusuf,
Prolog
Mengenal Imam Syafi'i
Ketika di Mekkah
Ketika berguru di kota Mekah, Imam Syafi’i diperintahkan oleh gurunya, "wahai Muhammad pergilah engkau ke Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya ilmuku sudah habis, semuanya sudah kuajarkan padamu". Imam syafi’i pun menuruti perintah sang guru dan beliau segera berpamitan dengan sang ibu. Berkatalah sang Ibu, "pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, kita akan bertemu nanti di akhirat." Maka Imam Syafi'i pun berangkat ke Madinah mencari guru untuk mengajarkannya ilmu.
Ketika di Madinah
Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama, Imam Syafi'i langsung menyerap ilmu yang diajarkan Imam Malik sehingga semua orang terkagum-kagum dibuatnya. Termasuk sang guru yang pada saat itu merupakan ulama tertinggi di Madinah, Imam Syafi'i pun menjadi murid kesayangan Imam Malik.
Ketika di Irak
Imam Syafii kemudian mengembara ke Iraq dan menimba ilmu di sana, Beliau berguru kepada murid-murid Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Meski sudah banyak menyerap ilmu di Irak, Imam Syafi'i belum ingin pulang karena belum ada panggilan dari ibundanya. Di Irak Imam Syafi'i berkembang menjadi murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas. Sehingga, dalam waktu singkat ia sudah diminta untuk mengajar. Tak butuh waktu lama, ribuan murid pun berbondong-bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama besar yang terkenal ke seluruh penjuru Irak hingga Hijaz.
Ketika Menjadi Alim Besar
Ibunda imam syafi’i pada setiap tahunnya juga melakukan ibadah haji, pada kesempatan tahun itupun sang ibu melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu sang ibu mengikuti kajian dari salah seorang ulama. Sang ulama tersebut sering mengucapkan nama imam Syafi'i. Mendengar ulama tersebut sering mengucapkan nama sang anak, setelah pengajian sang ibu pun menjumpai ulama tersebut. Sang ibu bertanya kepada sang ulama Wahai syekh siapakah itu Muhammad bin Idris Asy Syafi’i? sang ulama pun menjawab bahwa imam syafi’i adalah gurunya di Irak.
Menerima Pesan Sang Bunda
Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama bahwa Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang manakah yang Anda maksud? ulama tersebut pun menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota Mekah. Sang Ibu pun terkejut mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya. Kemudian sang ulama menyampaikan kepada ibunya imam syafi’i bahwa ia ingin berpesan apa kepada sang anak? Sang ibu pun menjawab bahwa ia telah memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.
Sesampainya sang ulama tersebut di Irak ia langsung menyampaikan pesan tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas untuk pulang ke mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang penduduk irak sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika sang imam ingin pulang, masyarakat serta sang murid pun telah menyiapkan bekal kepada sang imam. Karena sang imam telah menjadi ulama besar di irak ia pun menerima bekal yang sangat banyak, ratusan ekor unta telah diterimanya dari masyarakat dan muridnya di sana.
Ibunda: Hanya Ilmu, Bukan Harta
Sesampainya sang imam di pinggir kota Mekah, ia pun memerintahkan sang murid untuk memberitahukan sang ibu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota Mekah. Sang ibu bertanya apakah yang ia bawa? sang murid pun menjawab dengan bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya. Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak untuk pulang.
Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai sang guru dan menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang. Mendengar berita itu sang imam sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota mekah, kemudian ia memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan ilmunya. Kemudian sang imam memerintahkan sang murid untuk memberitahu sang ibu tentang hal ini, setelah mendengar kabar tersebut sang ibu pun memperbolehkan sang imam untuk pulang.
Logika para orang tua saat ini ada yang berbanding terbalik dengan cara pandang dan prinsip ibunya Imam Syafi'i. Ada yang menjadikan harta sebagai standar kesuksesan para penuntut ilmu. Saya yakin bukan Anda maksudnya.
Pesan Ali bin Abi Thalib
Hikmah
Banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah perjalanan imam Syafi'i menuntut ilmu. Pertama, penuntut ilmu itu laksana orang menyelam di kedalaman air laut. Ia meneguk air laut untuk menghilangkan dahaga. Namun, semakin ia meminum, rasa haus makin terasa. Kedua, seorang guru tidak boleh merasa cukup ilmu. Ia harus terus mendorong murid-muridnya untuk belajar kepada guru-guru yang lain. Ketiga, orang tua tidak semestinya menjadikan harta sebagai tujuan menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, tujuan utamanya adalah mencapai ridha Allah.
Menyekolahkan anak-anak adalah ladang kebaikan dan bukti ketaatan kepada Allah yang memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Ilmu yang bermanfaat mesti menjadi prioritas utama. Adapun mereka kemudian menjadi kaya lantaran pendidikannya baik, tentu saja itu nikmat Allah yang wajib disyukuri. Memohon kekayaan, kekuasaan, dan ilmu itu bagus. Dan tidak ada masalah, karena itu menjadi sarana bagi kemaslahatan hidup. Silahkan menjadi orang kaya atau jadi pejabat kalau memungkinkan. Hal itu juga diberikan kepada Nabi Sulaiman dan Utsman bin Affan. Yang diingatkan dan diwaspadai dalam kisah di atas adalah apabila harta menjadi tujuan utama dari belajar atau menyekolahkan anak-anak.
Menuntut ilmu dan menyekolahkan anak-anak adalah ibadah. Kata orang yang bijak, 'mencari ilmu itu seperti halnya ibadah, mengungkapkannya seperti halnya bertasbih, menyelidikinya seperti halnya berjihad, mengajarkannya seperti halnya bersedekah, dan memikirkannya seperti halnya berpuasa." Penuntut ilmu dan yang mengajarkannya dengan ikhlas seperti orang yang menghimpun semua pahala kebaikan. Wallahu a'lam bishsh-shawab..
Salam nalar kritis!
0 komentar