BLANTERORBITv102

    IMAM AHMAD BIN HANBAL: MURID IMAM SYAFI'I & DAHSYATNYA ISTIGHFAR

    Sabtu, 13 Februari 2021

    Oleh: Muhammad Yusuf,

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Mico-Bone, 14/2/2021

    Prolog

    Para mahasiswa dan segenap pembaca yang Budiman! Tulisan sebelumnya mengisahkan tentang ulama perempuan, Sayyidah Nafisah, salah seorang guru Imam Syafi'i. Sebaliknya, kali ini saya menghadirkan bagian kecil dari kisah salah seorang murid Imam Syafi'i. Dia adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah tokoh utama Mazhab Hanbali. 

    Biografi Imam Mazhab yang empat telah saya tulis secara ringkas dalam sebuah buku yang bertajuk "Masail Fiqhiyah: Memahami Permasalahan Kontemporer" yang terbit pada tahun 20014 dan cetakan II tahun 2017. Di sini saya tidak mengungkap hal yang sama. Lagi pula, artikel mini seperti ini bukan ruang tepat untuk mengungkap berbagai sisi dari biografi  ulama sekaliber Imam Ahmad bin Hanbal. Catatan ini hanya akan mengenalkan sedikit saja tokoh Mazhab yang keempat, Imam Ahmad bin Hanbal. 

    Sosok Imam Ahmad bin Hanbal

    Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “tidak ada di kalangan Arab rumah yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia, daripada keluarga Syaiban.”  Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban ini, diantara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau adalah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

    Imam Ahmad dilahirkan di ibukota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.

    Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus pakar hadis di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa adalah perjuangan beliau membela akidah yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, beliau menyelamatkan umat Muhammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakar menyelamatkan akidah umat ketika Rasulullah wafat, dan yang kedua Imam Ahmad lantang menyerukan akidah yang benar saat keyakinan sesat "khalqu al-Qur'an" mulai dilazimkan.

    Imam madzhab yang empat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Imam Untuk diketahui, Abu Hanifah adalah pelopor dalam ilmu fikih dan membangun dasar-dasar dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadis yang pertama kali menyusun hadis-hadis Nabi Saw. dalam satu buku. Imam Syafi'i merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu ushul fiqh, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri. Jadi, mengungkapkan keistimewaan Imam Ahmad bin Hanbal itu berarti mengurangi keistimewaan imam-imam mazhab yang lainnya.

    Masa Kecilnya

    Masa kanak-kanak beliau dihabiskan untuk belajar dan menghafal Al-Qur'an. Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun. Setelah itu, ia baru memulai mempelajari hadis. Sama halnya seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadis di Baghdad.

    Perjalanan Menuntut Ilmu

    Ahmad bin Hanbal muda berguru kepada murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia belajar dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi qiyas dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadis dari seorang ahli hadis Baghdad, Haitsam bin Bishr.

    Tidak mencukupkan diri menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam Syafi'i di Mekah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari beliau selama empat tahun. Imam Syafi'i mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekedar menghafal hadis dan ilmu fikih, akan tetapi juga memahami hal-hal yang lebih mendalam dari hadis dan fikih tersebut.

    Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafi'i, namun Imam Ahmad memiliki arah pemikiran fikih tersendiri, yang sekaligus menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.

    Menjadi Seorang 'Alim

    Setelah belajar kepada Imam Syafi'i, Imam Ahmad mampu secara mandiri merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Ia menjadi seorang ahli hadis sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai penjuru negeri Islam. Terutama setelah Imam Syafi'i wafat di tahun 820, Imam Ahmad seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.

    Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadiah terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan menerima hadiah-hadiah tersebut menghalanginya untuk bebas dalam berpendapat dan berdakwah. Menurut hemat saya, ini prinsip dan sikap yang menarik untuk kontkes saat ini. Pendapat dan sepak terjang dakwah beliau tak ingin dipengaruhi politik dan kepentingan penguasa kala itu.

    Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad adalah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan perkara dunia di dalamnya. Dan aku sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut perkara dunia.” Sebuah majelis ilmu yang diandaikan majelis yang steril dari kepentingan politik yang semu.

    Tekanan Rezim: Akidah Dipertaruhkan

    Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan Al-Qur'an dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Al-Qur'an adalah sebuah buku yang dibuat, artinya Al-Qur'an itu adalah makhluk bukan kalamullah.

    Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan yang dinilainya sesat tersebut.

    Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.

    Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang diyakininya benar. Yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil  mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah "Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal" yang terkenal itu ditulis.

    Wafatnya Imam Ahmad

    Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”

    Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahan fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadis yang telah ia susun, melainkan beliau juga memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah salah satu sisi yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam madzhab lainnya.

    Peristiwa Unik: Dahsyatnya sebuah Amalan Istigfar

    Imam Ahmad bin Hanbal r.a. merupakan murid Imam Syafi'i dikenal juga sebagai Imam Hambali. Di masa akhir hidup Imam Hambali ingin sekali menuju ke salah satu kota di Irak. Mungkin Anda sudah pernah mendengar ataupun membaca kisah dahsyatnya amalan Istigfar. Tidak masalah. Dan, saya hendak mengutip di sini. Silahkan simak!

    Tanpa ada janji sama orang dan tidak ada hajat. Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke Kota Bashrah. Saat tiba di sana sudah masuk waktu Isya'. Imam Hambali pun ikut shalat berjamaah isya di masjid.

    Selepas salat, Imam Hambali merasa hatinya tenang dan kemudian beristirahat. Begitu selesai shalat dan jamaah bubar, Imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba marbot masjid datang menemui Imam Hambali sambil bertanya "kenapa syaikh (orang tua), mau ngapain di sini?".

    Ceritanya kan, marbot tidak tahu kalau orang yang ditanya adalah ulama ahli fikih dan hadis, Imam Ahmad bin Hambal. Karena demikian tawadhuknya (rendah hatinya) sang imam tidak memperkenalkan siapa dirinya.

    Padahal, semua orang di Irak kenal siapa Imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadis, sejuta hadis dihafalnya, sangat salih dan zuhud. Zaman itu tidak ada foto dan media sosial sehingga orang tidak tahu wajahnya, cuma namanya sudah terkenal.

    Imam Ahmad kemudian berkata. "Saya ingin istirahat, saya musafir". Marbot pun menyahut, "tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid. Imam Ahmad lalu didorong-dorong oleh orang itu disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar masjid, maka dikuncilah pintu masjid.

    Imam Ahmad kemudian bermaksud tidur di teras masjid. Namun, ketika sudah berbaring di teras masjid, marbot datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad. "Mau ngapain lagi syaikh?" Kata marbot. "Mau tidur, saya musafir" kata imam Ahmad. Lalu marbot berkata, "di dalam masjid tidak boleh, di teras masjid juga tidak boleh".

    Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita "saya didorong-dorong sampai jalanan".

    Di samping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus untuk memproduksi dan menjual roti). Penjual roti ini sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot (tadi). Saat imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh "mari syaikh, Anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil".

    Kata imam Ahmad "baik, syukran". Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir).

    Penjual roti ini punya perilaku unik, kalau imam Ahmad ngajak ngomong, dijawabnya. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar, astaghfirullah.

    Saat meletakkan garam astaghfirullah, memecahkan telur astaghfirullah, mencampur gandum astaghfirullah. Selalu mengucap istighfar.

    Imam Ahmad memperhatikan terus. Lalu imam Ahmad bertanya "sudah berapa lama kamu lakukan ini?". Orang itu menjawab "sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan". Imam Ahmad bertanya : "Apa hasil dari perbuatanmu ini?"Orang itu menjawab "(lantaran wasilah istighfar), tidak ada hajat yang saya minta , kecuali pasti dikabulkan Allah. semua yang saya minta ya Allah...., langsung diterima".

    Memang Nabi saw pernah bersabda :"Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka). Lalu tukang roti itu melanjutkan "semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah kabulkan".

    Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya "apa itu?". Jawab orang itu "saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad". Seketika itu juga Imam Ahmad bertakbir, "Allahu Akbar, Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena dahsyatnya istighfarmu". Penjual roti itu terperanjat, memuji Allaht Alhamdulillah... Ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad.

    Catatan Akhir

    Kita mengandalkan murid sebagai timba dan guru diandaikan sumur atau mata air, maka timba-timba itu mestinya mendatangi sumur untuk menimba (mengambil dan menerima) air asli dari sumber utamanya. Penuntut ilmu sejati mestilah berani melakukan safar dan rihlah mencari dan menemukan guru yang ahli dan ikhlas untuk mendapatkan silsilah keilmuan yang jelas (sanadnya). Perjalanan itu butuh waktu, biaya,.dan kesungguhan. Dan, ingat! Menuntut ilmu adalah jihad, dan setiap jihad membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan. Imam Ahmad telah membuktikan itu.

    Imam Ahmad bin Hanbal atau yang dikenal dengan Imam Hambali merupakan tokoh utama Mazhab Hambali. Beliau hafidz Al-Qur'an dan hadis. Beliau ahli hadis dan fiqh. Penulis Kitab hadis "Musnad Ahmad bin Hanbal". Teguh dalam akidah, wara', mandiri dalam berpendapat, rendah hati, Beliau alim, zahid, abid, mutawadhi' serta istiqamah dalam prinsip. Kira-kira itu antara lain diksi yang tepat digunakan untuk menggambarkan atau menarasikan sosoknya. 

    Meskipun beliau telah berguru kepada ulama-ulama yang bermazhab Hanafi dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah dan berguru pula kepada Imam Syafi'i, namun beliau memiliki jalan pikiran sendiri. Dan, hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan kekaguman beliau kepada para gurunya. Beliau tetap rendah hati dan zuhud terhadap dunia. Meskipun beliau lebih dikenal menonjol sebagai ulama hadis dan ulama fiqh, namun perilaku dan amalannya seperti sufi (wali). Beliau juga pernah mendatangi majelis pengajian Sayyidah Nafisah dan meminta didoakan oleh cicit Rasulullah Saw. itu. 

    Kisah pertemuan Imam Ahmad dengan tukang roti bukanlah peristiwa dramatis skenario manusia. Saya meyakini itulah skenario ilahiah yang hendak mengajarkan kepada kita bahwa amalan baik yang dilakukan secara istiqamah. Istigfar sepintas memang amalan yang ringan. Banyak orang yang bisa melakukannya. Namun tahukah dan sadarkah kita bahwa 'istigfat yang dilakukan secara tulis dan isiqamah' itu bukan hal yang ringan dan mudah. 

    Dalam perspektif sufistik, istiqamah itu lebih tinggi dan lebih utama daripada karamah. Bahkan, istiqamah itu sendiri adalah karamah. Lebih lanjut, para rabbaniyyin dan shiddiqiin menganjurkan untuk lebih fokus merawat istiqamah daripada mencari karamah. Istiqamah meski dalam hal amalan ringan dan tampak sepele. Dalam hal ini Nabi mengatakan "sebaik-baik amal adalah yang paling istiqamah (berkelanjutan) meski sedikit (ringan). Wallahu'lam bishh-shawab.


    Salam nalar kritis!