BLANTERORBITv102

    ILMU ITU SEUMPAMA LAUTAN

    Minggu, 07 Februari 2021


    Oleh: Muhammad Yusuf,

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata 2/10/2021


    Muqaddimah

    Al-Qur'an seringkali menggunakan lafal 'isti'arah' (meminjam lafal) untuk mengungkapkan sesuatu. Salah satunya yaitu menggunakan al-bahru (air laut) untuk mengandaikannya dengan tinta. Begitu laut (al-bahru) untuk mengungkapkan kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan diungkapkan dengan kata 'al-bahru' (laut). Jika Anda meminum air laut maka tidak terobati rasa haus Anda. Demikian pula penuntut ilmu, ia tidak akan pernah puas, sehingga ia takkan berhenti belajar.

    Untuk Anda yang menuntut ilmu, saya membayangkan sedang dalam perjalanan. Setiap orang yang berjalan pasti ingin sampai pada tujuan. Kenyataannya ada sampai pada tujuan dan ada pula yang tidak sampai. Perjalanan tidak hanya membutuhkan waktu, tenaga, dan bekal. Perjalanan juga membutuhkan tenaga mengikuti arah yang hendak dituju. Orang bijak berkata, "barangsiapa yang berjalan di jalur yang benar pasti sampai". Perjalanan juga meminta Kesungguhan. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka pasti dapat. 

    Seumpama Lautan

    Ilmu Allah sangat luas. Hamparan alam yang terbentang di daratan dan lautan bahkan ruang angkasa, tak pernah kering untuk dibaca, diteliti, dan ditulis. Kemampuan manusialah yang terbatas untuk memahami kedalaman ayat-ayat Allah yang tersurat dan tersirat di alam semesta. Andaikan lautan menjadi tinta dan pepohonan menjadi pena, tetap tidak akan cukup untuk menulisnya (QS 18:109, 31:27).

    Laut itu identik dengan kedalaman dan keluasan. Orang alim sering disebut sebagai orang yang memiliki ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas. Orang Bugis menyebut orang alim (Panrita, to acca) dengan istilah "tau mattasi' paddisengengna". Artinya, orang yang ilmunya laksana lautan. Yaitu, dalam dan luas seolah tak bertepi. Orang bijak berkata, "Menuntut ilmu itu bagai nelayan yang berlayar ke lautan. Makin ke tengah, makin banyak hasilnya."

    Jika seseorang hanya berjalan di tepi pantai maka ia melihat dirinya lebih tinggi daripada laut. Jika ia mencoba masuk ke laut secara perlahan, kakinya makin masuk dan badannya bertambah turun. Saat mencoba masuk ke laut lebih dalam, badannya makin ke bawah hingga ia tak mampu lagi menjangkau kedalamannya. Saat itu ia sadar bahwa skillnya tak memadai lagi kedalaman laut. Ia perlu belajar berenang dan menyelam lagi.

    Ketika ia mulai berani ke tengah laut dterpa ombak bersama angin, ia merasakan betapa kecilnya dirinya laksana partikel di tengah lautan luas yang seolah tak bertepi, dan kedalamannya tak terjangkau lagi. Di dasar laut yang merupakan tempat mutiara-mutiara yang nilainya sungguh mahal. Tak banyak yang dapat menggapainya. Hanya yang memiliki keberanian, skill, pengalaman yang berani menyelam yang akan menemukan mutiara-mutiara indah dan mahal. Sangat sulit - untuk tidak berkata mustahil - mendapatkan mutiara di tepi pantai. Hanya orang yang berani dan pandai menyelam yang berani menyelam ke dasar laut.

    Demikian perumpamaan pencari ilmu. Membaca buku atau kitab yang terbatas dan belajar sedikit, kadang seseorang merasa diri tinggi dan lebih alim dari orang lain, Bahkan tidak jarang hanya bermodalkan mendengar, orang lain salah dan bahkan sesat dalam pandangannya. Hal ini mungkin pernah lihat dalam hidup Anda.

    Begitu dia membaca beberapa kitab dan berguru kepada beberapa ilmuwan atau ulama maka ia mulai merasakan dirinya makin terbatas ilmunya. Ketika ia makin masuk ke tengah maka seolah ia tenggelam di kedalaman lautan ilmu. Dia menjadi jahil di tengah para alim.

    Berbeda dengan keadaan ketika awal mengenal satu atau dua kitab saja, pandangannya sangat sempit dan dangkal . Dia memandang ruang kebenaran itu sangat sempit dan terbatas. Bagaimana sebenarnya sikap ideal bagi para penuntut ilmu? Kita akan dituntun oleh pandangan imam Syafi'i tentang sikap penuntut ilmu .

    Syarat bagi Penuntut Ilmu

    Bagi para penuntut ilmu ada 6 bekal yang harus disiapkan. Ungkapan Ali bin Abi Thalib. Hal tersebut juga dinarasikan oleh Imam Syafi'i dalam satu kitabnya. Beliau mengatakan, "Saudaraku , Anda tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam hal yang akan saya informasikan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustaz, (6) membutuhkan waktu yang lama. "

    1. Kecerdasan

    Menurut para ulama, ada dua kecerdasan dalam diri manusia. Pertama, kecerdasan bawaan. Setiap manusia terlahir membawa kecerdasannya masing-masing. Bahkan beberapa sekolah sudah melakukan tes potensi kecerdasan murid sebelum pembelajaran berlangsung. Kedua, kecerdasan
    yang diperoleh lewat dan dikembangkan melalui usaha dan proses pembelajaran terencana, berproses, terkendali, dan terukur. 

    2. Motivasi dan Semangat

    Tidak akan ada yang didapat dari jiwa yang malas. Begitu juga saat menuntut ilmu. Kita harus menyambutnya dengan antusias. Rasa semangat akan menghadirkan sikap yang optimis dan tidak mudah menyerah. Jalan mencari ilmu adalah jalan yang panjang dan tidak akan dapat dicapai kecuali dengan semangat yang tinggi. . orang bijak berkata, "Menuntut ilmu adalah takwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-ulang ilmu adalah dzikir, mencari ilmu adalah jihad."

    3. Bersungguh-Sungguh

    Buang jauh-jauh rasa malas saat mencari ilmu. Juga lawan hawa nafsu. Man  Jadda Wajada  (siapa  yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil). Untuk   memotivasi kita baca biografi atau kisah para ulama terdahulu dalam mencari ilmu. Atau para inovator abad ini yang tidak mudah menyerah dan mencurahkan segalanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.  Imam Syafi'i berkata' "Barang siapa belum pernah merasakan pahitnya mencari ilmu walau sewaktu-waktu, ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. "Jadi menuntut ilmu membutuhkan kesabaran dan kesungguhan. 

    4. Bekal 

    Bekal di sini berkaitan dengan harta yang akan dikeluarkan oleh para pencari ilmu. Zaman dahulu, para ulama rela menghimpun harta benda dalam mencari ilmu. Ada yang menjual bajunya. Bahkan Imam Malik menjual atap rumah yang dari kayu. Menuntut ilmu memang membutuhkan biaya. Pendidikan gratis itu hanyalah istilah. Pendidikan gratis sesungguhnya bukanlah tanpa biaya melainkan subsidi dana pendidikan. Istilah pendidikan gratis adalah istilah yang sangat politis. Semua pendidikan membutuhkan biaya.

    5. Guru yang Membimbing

    Saat ini, meski informasi bisa kita peroleh dengan mudah tanpa harus ke luar rumah. Kita tetap wajib mendatangi majelis para ulama dan ahli hikmah. Belajar langsung dari lisannya agar ilmu yang kita dapat memiliki dasar yang kuat. Guru adalah sumber ilmu dan jalur keberkahan. Keberadaan guru akan ada yang mengingatkan jika para pencari ilmu keliru dalam menentukan sesuatu. Dalam konteks itu dibutuhkan pola interaksi yang etis antara guru dan murid agar memperoleh ilmu dan berkahnya.

    6. Waktu yang Panjang

    Dalam  kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari mengisahkan bagaimana Jabir bin Abdullah membutuhkan waktu selama satu bulan hanya untuk mendapatkan satu
    hadis yang menggambarkan suasana padang mahsyar. Ia rela mengarungi ganasnya padang pasir dari Hijaz, wilayah di Arab Saudi hingga ke Syam atau Suriah kita mengenalnya kini. Begitulah. Ada waktu yang dibutuhkan oleh para pencari ilmu. Mencari ilmu tidak akan ada habisnya. Bahkan hingga umur manusia itu berakhir 

    Ternyata, mutiara (berupa ilmu dan hikmah) hanya dapat ditemukan bila ia rezeki atau seseorang yang menyelam ke dasar lautan. Tapi, untuk menjadi perenang dan penyelam yang dibutuhkan latihan dan waktu yang lama (طول زمان). Menuntut ilmu butuh perjuangan dan kesungguhan (إجتهاد). Begitulah Imam Syafi'i mengingatkan kepada penuntut ilmu. 

    Para murid wajib menjaga etika dan akhlak yang terpuji kepada para guru. Memperoleh ilmu dari guru saja tidak cukup, melainkan juga berkahnya. Berkah ilmu akan diterima guru Ridha kepada muridnya. Karena itu, murid-murid wajib menjaga akhlaknya kepada para guru.

    Selanjutnya, menyelam-lah di kedalaman. Mutiara tidak berada di tepi pantai, tapi berada di kedalaman laut, bahkan berada di dasar laut. Menyelam-lah di kedalaman untuk mendapatkan mutiara! Saksikanlah orang dalam dan luas ilmunya! Apabila seseorang tidak mudah lagi menyalahkan orang lain berarti dia sudah belajar (alim). 

    Jika dia tidak merasa benar sendiri lagi dan sudah bersikap bijak terhadap pandangan orang lain, berarti dia sudah menyelam dan menikmati indahnya mutiara. Jika seseorang sudah pandai berenang, terampil menyelam, dia bisa menikmati kedalaman laut dan bersama indahnya mutiara-mutiara di dasar laut.  

    Orang yang alim lagi bijak akan menikmati indahnya dan terangnya cahaya ilmu dan pancaran hikmah. Ia pun bisa memahami orang-orang yang ribut dan bergerombol di tepi pantai. Mereka berdebat tentang apa mereka belum pernah alami. Mereka masuk dalam argumen pembenaran berdasarkan dugaan (hipotesis). Bukan berdasarkan pembuktian dan pengalaman.

    Khatimah

    Orang alim (Bugis: to acca na mapanre) itu tidak lahir tiba-tiba (instan). Ia telah melewati tempaan keadaan dan waktu, perjuangan dan air mata, kesungguhan dan kesabaran. Ia adalah tempaan waktu dan air mata kesungguhan, perjuangan, akhlak hormat pada guru dan doa penuh ikhlas dan harap kepada Rabb-nya.  Anda menuntut ilmu bukan hanya untuk menjadi orang alim (intelektual) tapi juga untuk menjadi orang yang arif. 

    Orang yang arif (bijak) tau persis bahwa setiap kata ada tempatnya. Dan, setiap tempat ada perkataan yang tepat. Dia maklum kapan sebaiknya ia berbicara dan kapan seharusnya ia diam. Para penuntut ilmu yang berhasil menjadi alim (pintar), namun yang menjadi arif (orang bijak) hanya sedikit saja. Orang alim yang bijak menjadi "makhluk langka". Puncak kearifan itu adalah ketika menjadi 'Arif Billah (ber-ma'rifat kepada Allah). Bicaranya adalah ilmu dan diamnya adalah hikmah.

    Wallahu a'lam bishsh-shawab.


    Salam nalar kritis!