Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Paccinnongan, 21/02/2021
Pendahuluan
Alhamdulillah, saya kembali hadir menyapa Anda semua lewat catatan ini, selamat berakhir pekan dan bersilaturrahim dengan orang-orang yang Anda hormati dan sayangi karena Allah. Hari ini saya kembali menghadirkan tulisan ini sebagai lanjutan dari dua tulisan sebelumnya tentang Isra'-Mi'raj.
Isra'-Mi'raj bukan hanya tentang perjalanan super singkat dan super cepat secepat kilat dengan rute dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lanjut ke Sidratul Muntaha dan finish di Masjidil Haram. Bukan sekedar itu. Isra'-Mi'raj mengajarkan kepada kita tentang hidup yakni menyangkut sikap ikhlas menerima dan melepas. Ketika seseorang berhenti melepas dan menerima berarti hidup terhenti. Yaitu, ketika berhenti melepas dan menerima udara keluar dan masuk sebagai aktivitas pernapasan.
Artikel ini bermaksud memaknai isyarat penghambaan dari peristiwa Isra'-Mi'raj itu. Hal itu dianalisis dari pemilihan kata 'abdihi (hamba-Nya) pada ayat 1 surah Al-Isra'. Sebelumnya, sudah diterangkan makna beberapa kosakata. Di sini, saya tidak mengulanginya lagi.
Filosofi Pertukaran Gas pada Respirasi
Untuk menerangkan sub ini, saya kembali membuka pelajaran saya sekitar 30 tahun yang lalu, ketika di SMP (1988-1991), yaitu tentang pertukaran oksigen dan karbondioksida. Pernapasan merupakan satu proses pertukaran gas-gas respirasi, yaitu oksigen dan karbondioksida. Fungsi utama pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen untuk kelangsungan proses metabolisme sel-sel tubuh dan mengeluarkan karbondioksida hasil dari metabolisme tersebut.
Sistem pernapasan meliputi saluran pernapasan yang berfungsi dalam konduksi udara. Bermula dari rongga hidung, pharynx, larynx sehingga paru, organ pertukaran gas, dan sistem sirkulasi darah yang membawa oksigen ke jaringan tubuh dan membawa karbon dioksida ke alveolus.
Proses bernapas terjadi akibat dari inspirasi dan eksplorasi yang diakibatkan oleh kontraksi otot-otot inter-kostal dan diafragma.Setelah oksigen disalurkan ke paru, akan berlakulah proses difusi dan transportasi gas tersebut ke kapiler darah seterusnya ke jaringan dalam tubuh.
Setiap makhluk hidup termasuk manusia perlu bernapas untuk kelanjutan hidupnya. Dengan bernapas, manusia memperoleh oksigen yang berguna bagi tubuhnya dan membuang/melepaskan karbondioksida yang dihasilkan dari dalam tubuhnya. Itu terjadi tanpa henti selama jantung masih bergerak memompa darah. Itulah ciri-ciri manusia yang masih hidup.
Sistem pernapasan sendiri terdiri dari hidung, faring, laring, trachea, bronkus, bronkiolus, bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveoli. Secara sederhana mekanisme pernapasan merupakan proses pertukaran dan transportasi O2 dan CO-2. Itulah relasi simbiosis mutualisme antara manusia dan tumbuhan. Terjadi proses memberi dan menerima (O2 dan CO-2). Melepas dan menerima adalah sebuah keniscayaan bagi kehidupan.
Anda dan saya menghirup udara segar lalu melepaskan. Itu kita lakukan secara terus menerus. Bahkan tatkala kala kita sedang tidur sekalipun. Interaksi manusia dan tumbuhan merupakan interaksi saling memberi dan menerima. Memberi berarti melepas dari kepemilikan dan penguasaan. Manusia membutuhkan tumbuhan untuk memproses udara dan demikian pula pula sebaliknya. Tumbuhan membutuhkan manusia bersaudara, sehingga mereka harus saling menjaga dan saling mengayomi.
Hidup itu Menerima dan Melepas
Ada saat dimana kita harus merasa pasrah terhadap segala keadaan. Meski pasrah, bukan berarti kita orang yang kalah. Bukan pula kita orang yang payah. Pasrah adalah sikap dimana kita menerima segala hal dengan perasaan yang tulus dan pengharapan besar bahwa apa yang kita alami adalah kehendak terbaik dari Tuhan
Di balik kepasrahan yang kita lakukan, juga sangat disarankan agar kita senantiasa berusaha serta berdoa meminta yang terbaik dari-Nya, meminta petunjuk-Nya dan menyerahkan segala hasil ikhtiar kita hanya kepada-Nya. Jika ada sesuatu yang kita punyai, lalu Pemilik yang sesungguhnya (Allah) hendak menariknya kembali sedang kita memegang seerat-eratnya maka itu akan melelahkan, bahkan membahayakan.
Pernahkah Anda melihat seekor binatang (sapi misalnya), yang mengamuk hendak melepaskan diri dari ikatan tali dari tuannya? Tatkala ia berupaya keras untuk lepas dari ikatan tali. Apa yang terjadi? tangan pemilik binatang itu terluka parah akibat himpitan dan sengatan tali. Dalam hidup ini, berupaya keras memang harus, tapi jangan sampai terlalu memaksakan kehendak, apalagi keliru dalam bertindak. Sebab, akibatnya bisa fatal dan bahkan sangat fatal. Melepaskan mungkin akan lebih baik dan meringankan.
Seperti diksi "abdihi' pada surah al-Isra' ayat 1 yang berarti "hamb-Nya". Kata ini ditujukan kepada Rasulullah Saw. Posisi dan keadaan hamba adalah lemah, tidak berdaya, keadaan zero. Di sini jelas, bahwa isra’ dan mi’raj itu bukan kemauan beliau karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Allah Swt. dalam melakukan mengikuti dikehendaki oleh Rabb-nya.
Tuhan Paling Memahami
Disadari atau tidak, pengetahuan dan pengertian manusia tentang berbagai hal sangat terbatas. Bisa jadi penilaian kita keliru. Yang tampak baik belum baik akibatnya. Yang dipandang buruk belum tentu sama dengan kenyataannya kelak.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 216).
Boleh jadi, ini sudah usang bagi Anda, namun saya ingin mengemukakan di sini. Sebuah cara pandang, yaitu, "Tuhan tak akan memberikan kita sesuatu yang kita inginkan, melainkan sesuatu yang kita butuhkan." Di balik semua rasa ikhlas yang ada di dalam hati dan penerimaan yang benar-benar tulus ada takdir yang lebih baik untuk orang yang ikhlas.
Makna "Innalilahi waiinna ilaihi rajiuun"
Mungkin ada yang berpikir dan bertanya-tanya, "apa hubungan kalimat itu dengan hidup?". Kalimat innalilahi waiinna ilaihi rajiuun paling sering diucapkan tatkala menyaksikan kenyataan musibah atau menerima berita duka atas kematian seseorang. Kalimat ini merupakan kalimat Al-Qur'an. "Sesungguhnya Kami milik Allah dan Sesungguhnya hanya kepada-Nya kami kembali' (Qs. Al-Baqarah: 156)
Kalimat tersebut mengandung makna pengakuan (i'tiraf) seorang hamba atas kepemilikan mutlak Tuhannya atas dirinya. Karena itu, baginya, jangankan keluarga yang dicintainya atau barang miliknya, dirinya sekalipun pun berada dalam kuasa dan kepemilikan mutlak serta di bawah kendali Tuhannya.
Kalimat tersebut juga mengandung makna penerimaan dan penyerahan seorang hamba kepada Allah secara total dan mutlak. Penerimaan dan penyerahan itulah hakikat penghambaan. Allah menyebut 'abdihi (hamba-Nya) pada surah al-Isra ayat 1yang ditujukan kepada Rasulullah Saw. sebagai bentuk pengakuan Allah atas kualitas penghambaan beliau yang mencapai derajat yang paling tinggi dan paling otentik.
Penutup
Sikap menerima dan melepas merupakan sikap mukmin yang hakiki. Ikhlas menerima karena penghambaan, menerima dirinya sebagai hamba. Ikhlas melepas rasa kepemilikan karena memang bukan miliknya, melainkan milik Allah. Sadar bahwa dirinya pun milik mutlak Allah Swt. Ikhlas menerima dan melepas apapun sesuai kehendak Sang Pemilik (Allah Swt.).
Itulah isyarat ketika Allah mengambil dan mewafatkan orang-orang yang dicintai dan mencintai Rasulullah Saw. Itu pula yang diisyaratkan tatkala Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. menyembelih putranya, Ismail untuk mengorbankan rasa kepemilikan Nabi Ibrahim atas Ismail. Jadi, Isra' Mi'raj mengandung isyarat kepemilikan mutlak Allah Swt. Jika Anda pernah kehilangan atau gagal tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Boleh jadi, itu momentum yang Allah hadirkan untuk menarik dan menaikkan Anda ke posisi yang mulia sebagai hamba-Nya.
Pengakuan Allah atas kualitas penghambaan seseorang adalah bukti pencapaian puncak spritual seperti ketika Allah memi'rajkan Rasulullah Saw. dan ketika Nabi Khidr diangkat menjadi gurunya Nabi Musa as. Untuk menunjuk kedua hamba itu (Nabi Muhammad Saw dan Khidr as.) digunakan kata "abd' yang berarti hamba. Masing-masing pada surah Al-Isra dan Surah al-Kahfi. Seseorang yang Anda muliakan pastilah Anda tidak menyebut namanya, melainkan pada status kemuliaannya. Seperti itu pulalah Allah memuliakan Nabi Muhammad Saw dan Khidr as.Wallahu a'lam bishsh-shawab
Salam!
0 komentar