BLANTERORBITv102

    DI BALIK PENGEMBARAAN IMAM MUSLIM DALAM MEMPELAJARI HADIS

    Selasa, 16 Februari 2021


    Oleh: Muhammad Yusuf

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata, 15/2/2021

    Komentar Awal

    Tulisan ini mengangkat bagian kecil dari kisah perjalanan Imam Muslim dalam menuntut ilmu, mengajarkan hadis, hingga menulis karya-karya monumental beliau terutama kitab Shahih Muslim. Kegigihan dan konsistensi beliau kiranya menjadi motivasi dan inspirasi buat para penuntut ilmu, terutama para mahasiswa. 

    Ada sebagian pihak yang menduga bahwa imam Muslim itu wajar menjadi ilmuwan Muslim yang hebat terutama bidang hadis, karena beliau orang Arab yang paham bahasa Arab dan tinggal di negeri Arab. Anggapan itu terbantahkan setelah Anda membaca latarbelakang Imam Muslim sebagai non-Arab seperti halnya gurunya, Imam Bukhari yang non-Arab juga. Ini diungkapkan untuk meng-counter sikap pesimistis dan apatis bahwa hanya orang-orang Arab yang bisa menjadi pemimpin ilmu-ilmu keislaman. Silahkan simak kisahnya! 

    Imam Muslim & Kitab Shahih Muslim

    Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menyebutkan, penulis kitab Shahih Muslim adalah seorang pedagang pakaian yang selama 15 tahun menghabiskan waktunya untuk menyusun dan meneliti hadis beserta riwayat-riwayatnya.

    Nama lengkap berikut silsilahnya adalah Imam Abu al-Husain Muslim bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Dalam sejarah Islam, kawasan Nisapur (Nisabur) terkenal dengan sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Beliau non-Arab seperti  halnya Imam Bukhari. Imam Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; maka dia dikenal sebagai al-Bukhari.  

    Beliau dinisbatkan kepada nenek moyangnya, Qusyair bin Ka'ab bin Rabiah bin Sha'sha'ah, suatu keluarga bangsawan besar di wilayah Arab. Di samping penisbatan kepada Qusyair, beliau juga dinisbatkan kepada Naisapur. Hal ini karena beliau putera kelahiran Naisapur, yakni kota kecil di Iran bagian timur laut. 

    Sebagian umat Muslim terutama yang pernah belajar ilmu hadis pasti tahu atau setidaknya pernah mendengar kitab al-Musnad ash-Shahih atau al-Jami' ash-Shahih, yang lebih dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari yang sudah Anda baca pada tulisan sebelumnya.

    Kelahirannya

    Beliau lahir tahun 204 H/ 820 M atau menurut riwayat lain 206 H/ 822 M. Ada pula yang mengatakan  Imam Muslim lahir pada tahun 204 H atau 819 M. Nisapuri dinisbatkan kepada tempat kelahiran beliau, yaitu Nisapur yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia.

    Sejarawan Muslim ternama, Ibnu Katsir, menyebutkan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Bidayah wa an-Nihayah. Namun, ada juga yang berpendapat beliau lahir pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang ahli hadis kontemporer asal India, Muhammad Mustafa Azami, lebih menyetujui kelahiran beliau pada tahun 204 H.

    Namun, menurut Azami dalam Studies In Hadith Methodology and Literature, sejarah tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadis merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat pengajaran hadis.

    Adz-Dzahabi dalam karyanya,Tadzkirat al-Hufazh, menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadis pada tahun 218 H. Azami setuju dengan pendapat tersebut. Ini artinya bahwa Imam Muslim masih berusia sangat belia, sekitar 12 sampai 15 tahun, saat mulai mempelajari hadis.

    Bahkan, Azami berpendapat, sebelum mempelajari hadis, sang imam terlebih dahulu telah mempelajari Alquran, bahasa Arab, dan ilmu tata bahasa Arab. Karena, menurutnya, pola pendidikan pada masa itu memang menuntut jenjang pembelajaran yang demikian.

    Pengembaraannya

    Semenjak berusia kanak-kanak, Imam Muslim telah rajin menuntut ilmu. Didukung kecerdasan luar biasa, kekuatan ingatan, kemauan yang membaja, dan ketekunan yang mengagumkan, konon ketika berusia 10 tahun, beliau telah hafal al-Qur'an seutuhnya serta ribuan hadis berikut sanadnya. 

    Seperti halnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga mengadakan pengembaraan intelektual ke berbagai negeri Islam, seperti Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, Baghdad, dan lain-lain guna memburu hadis dan berguru pada ulama-ulama kenamaan. Beliau telah mengunjungi hampir seluruh pusat pengkajian hadis yang ada pada saat itu, bahkan dilakukannya berkali-kali, seperti ke Baghdad. 

    Perhatian Imam Muslim terhadap peninggalan Nabi saw yang monumental ini sangat besar. Pengembaraan perdananya dimulai ke Makkah pada tahun 220 H sekaligus menunaikan ibadah haji. Kemudian pada tahun 230 H beliau melakukan pengembaraan intelektual yang secara spesifik untuk kepentingan mempelajari hadis. 

    Sedang lawatannya yang terakhir terjadi pada tahun 259 H ke Baghdad saat usianya mencapai 53 tahun.Dalam pengembaraannya itu, beliau tidak mengenal usia. Semenjak usia yang relatif masih sangat muda sampai berusia senja, beliau tidak pernah berhenti apalagi putus asa dalam pengembaraannya mencari hadis Nabi Saw.

    Pengembaraan Imam Muslim dari satu negara ke negara lain dilakukan berkali-kali. Akan tetapi, jelas Azami, beliau baru benar-benar berketetapan hati mempelajari hadis pada 230 H. Pada periode itu, sang ahli hadis menjelajah hingga ke Khurasan, Irak, Syria, Hijaz, dan Mesir. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Irak, ia belajar kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; serta di Mesir, berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya.

    Selain nama-nama di atas, dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, guru Imam Muslim adalah ahli hadis terkenal, yaitu Imam Bukhari. Imam Muslim belajar hadis kepada Imam Bukhari. Saat kunjungan Imam Bukhari ke Nisapur, dimanfaatkan Imam Muslim untuk belajar kepadanya.

    Menuntut Ilmu itu Jihad

    Istilah 'menuntut ilmu' di masa lalu benar-benar meninggalkan kampung halaman dan melakukan lawatan mencari sumber-sumber ilmu. Pencari ilmu mempersiapkan bekal perjalanan dan biaya hidup selama menuntut ilmu. Ada diantara mereka yang menjual hartanya sebagai bekal. Hal itu juga dilakukan oleh Imam Muslim. Beliau mempelajari ilmu dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan serta sikap hormat kepada para gurunya.

    "Barangsiapa belum pernah merasakan pahitnya mencari ilmu walau sesaat, ia akan menelan hinanya (pahitnya) kebodohan sepanjang hidupnya." (Imam Syafi’i). 

    Melawat untuk menuntut ilmu adalah pengalaman para tokoh-tokoh ilmu pengetahuan. Mereka laksana memburu (ilmu) lalu mengikat buruannya dengan menulis kitab-kitabnya. Menuntut ilmu memang membutuhkan perjuangan. 

    Karena menurut ilmu membutuhkan perjuangan maka ia disebut jihad fisabilillah. Dan, penuntut ilmu yang ikhlas berjalan meninggalkan rumah atau kampungnya menuju sumber-sumber ilmu maka ia berada pada jalan Allah dan kematian disebut syahid.

    Kesungguhan dan keikhlasan Imam Muslim dalam menuntut ilmu telah membawanya menjadi ulama hadis terbaik sepanjang sejarah. Itu pula yang dimiliki oleh Imam Muslim.

    Menuliskan & Mengajarkan Ilmu

    Kematian para syuhada si Medan Perang tentu sebuah pengorbanan dan syahid. Namun, tanpa bermaksud merendahkan dan mengesampingkan perjuangan syuhada mempertahankan agama Islam, sebait kalimat dari seorang Ulama pada sekitar abad XIV Masehi, bernama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Kalimat itu bukanlah hadis dari Nabi Muhammad Saw., akan tetapi maknanya begitu dalam dan futuristik, yaitu, 

    "Setetes tinta dari penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tercurah dari para syuhada".

    Kalimat ini tidak muncul tiba-tiba. Pasti ada konteks yang melatarbelakangi serta ada pesan yang ingin disampaikan. Tentulah Ibnu Qayyim tidak bertujuan melemahkan dan meninabobokan umat Islam menjadi apatis dan skeptis dalam menghadapi realitas perjuangan.
    Kalimat itu terlontar sekitar abad XIV, setelah dan sebelum berbagai perang besar generasi penerus Nabi Muhammad berlangsung.  

    Menurut beliau, setetes tinta dilambangkan sebagai puncak kemuliaan dan keagungan dibandingkan dengan darah yang tercurah dari badan para pejuang Islam yang syahid di medan perang Suci. 

    Kedudukan seorang penulis yang mengabadikan tulisannya dalam menjunjung tinggi nama Allah dan Agama Islam, lebih tinggi dari kedudukan para syuhada. Kalimat itu mengandung motivasi untuk bangkit menyelamatkan umat dari kebodohan. 
    Jadi mirip dengan konteks ketika Jepang hancur pasca kalah melawan Amerika.

    Ketika Jepang pernah terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua. Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. 

    Ketika mendengar pertanyaan aneh dari Kaisar maka para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. 

    Pernyataan Ibnu Qayyim dan pertanyaan Kaisar Hirohito tersebut tidaklah muncul dari ruang hampa. Ibnu memandang betapa urgennya menyelamatkan ilmu-ilmu itu melalui tulisan atau karya. Sedangkan Kaisar Hirohito memandang bahwa kebangkitan dan kemajuan bangsanya harus dengan pendidikan atau ilmu.

    Dalam upaya membangun pendidikan dan ilmu pengetahuan maka guru berada di garda terdepan. Jadi pernyataan Ibnu Qayyim dan pertanyaan Kaisar Hirohito tersebut bukan mengesampingkan peran syuhada dan serdadu. Penekanannya adalah pada kebangkitan melalui ilmu pengetahuan.

    Saya ingin mengatakan kepada Anda, khususnya para mahasiswa, "setiap perkataan yang muncul ada konteksnya. Dan, setiap kontkes ada perkataan yang tepat". Tempatkanlah perkataan itu pada konteks yang tepat. Memahami sebuah pernyataan tidak bisa dipisahkan dari konteks. Sebab, pemahaman terhadap sebuah teks atau pernyataan yang terpisah dari konteks kemunculannya hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan kekacauan.

    Dalam konteks
     pernyataan Ibnu Qayyim dan pertanyaan Kaisar Hirohito tersebut, Guru atau ulama yang menulis itu mulia dan sangat dibutuhkan. Atau penulis yang juga mengajarkan ilmunya itu pahlawan. 

    Namun, harap maklum! Menjadi penulis ilmu atau pengajar itu didahului oleh proses perjalanan mengembara mencari ilmu. Pencarian itulah sebuah jihad. Menulis dan mengajarkannya juga sebuah jihad besar. Bahkan tinta pena penulis lebih utama daripada tetesan darah para syuhada seperti ungkapan Ibnu Qayyim. Atau mengajarkan ilmunya lebih dibutuhkan daripada serdadu. 

    Komentar Akhir

    Untuk para penuntut ilmu, teradapat beberapa pelajaran yang dapat diperoleh dari kisah singkat tentang pengembaraan Imam Muslim dalam mendapatkan dan mempelajari hadis.

    Pertama, mengembara mencari ilmu kepada sumber-sumber utamanya yang mempertegas silsilah keilmuan And. Kedua, mengajarkan ilmu yang didapatkan. Ketiga, tulislah ilmu itu sebelum lenyap dari memori Anda, dan agar dapat bertahan lama manfaatnya hingga lintas generasi. Keempat, menuntut ilmu membutuhkan lawatan yang biaya, tenaga, waktu, dan kesungguhan, serta keikhlasan. Wajar, jika mengembara dalam rangka menuntut ilmu - karena Allah - itu disebut jihad fisabilillah.

    Kelima, kebesaran Iman Muslim khususnya dan ulama pada umumnya adalah karena dedikasi dan karya-karya monumentalnya. Tanpa pengabdian dan karya-karya monumental, maka kepintaran tidak banyak memberi manfaat. Pengalaman beliau mengajarkan kepada kita bahwa jika kita bermanfaat dalam waktu yang lama maka ajarkan ilmu dan berkarya. Imam Muslim telah berhasil mempersembahkan karya monumental terbaiknya, Shahih Muslim.

    Terakhir, latarbelakang perbedaan kebangsaan, kesukuan, dan warna kulit tidaklah menghalangi seseorang atau siapapun untuk berkontribusi dan berkarya serta menjadi pemimpin ilmu pengetahuan. Imam Muslim dan gurunya, Imam Bukhari bukanlah orang Arab. Namun mereka merupakan ahli hadis terbaik sepanjang sejarah. Itu menunjukkan bahwa menguasai ilmu-ilmu Islam tidak mestilah orang Arab. Nabi bersabda:

     "Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang ‘Arab di atas orang ‘Ajam (non ‘Arab), tidak ada keutamaan bagi orang Ajam di atas orang Arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan" [HR. Ahmad, 5/411 dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 2700].

    Wallahu a'lam bishsh-shawab

    Salam!