BLANTERORBITv102

    DAUN YANG JATUH TIDAK MEMBENCI ANGIN

    Rabu, 03 Februari 2021

     


    DAUN YANG JATUH TIDAK MEMBENCI ANGIN
    Pesan moral untuk para khalifah


    3/2/2021

    Oleh Muhammad Yusuf Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar


    Tema di atas diadopsi dari sebuah novel karya Tere Liye "Daun yang jatuh tidak membenci angin". Apa jadinya kalau daun jatuh memprotes angin? Di sinilah pentingnya menerima takdir. Menerima takdir itu sebuah keindahan dan seni. Menerimanya menjadikan hidup ini menjadi indah untuk dijalani. Namun sebelumnya, Maafkan saya, karena mungkin tulisan ini butuh nalar filosofis sedikit untuk memahaminya. Tapi jangan khawatir. Saya percaya, Anda akan memahaminya. Ini tentang keikhlasan. 

    Orang bijak menganalogikan keikhlasan itu 'bagaikan bunga yang sabar selama kuncupnya untuk kemudian mekar dengan indah. Atau ulat yang sabar menanti dalam kepompong untuk bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang cantik'. Itulah perumpamaan orang-orang yang sabar dan ikhlas. Balasan setiap keikhlasan pasti indah. 

    Iqra' (bacalah) ayat Tuhan yang terhampar. Di sana ada keterangan dan tamsil tentang keikhlasan. 'Belajarlah keikhlasan dari akar pohon. Akar pohon itu letaknya tersembunyi di dalam tanah dan tidak semua manusia peduli dan mengaguminya. Walaupun begitu, dia tetap bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah dan pamrih untuk kehidupan batang dan dedaunan." Akar, meski tersembunyi, ia menopang sebuah pohon hingga buahnya yang enak dimakan, indah dipandang, ditunggu musimnya datang, sumber ekonomi. Sedangkan akar tetap tersembunyi di dalam tanah untuk menyuplai makanan yang dibutuhkan oleh pohon dan mengantarkan pada seluruh bagian-bagiannya.

    Seperti biasanya, saya mengambil ponsel saya sambil menikmati teh panas atau kopi susu, saya membaca ayat Tuhan yang tertulis dan mencari relasi dengan ayat-ayat Tuhan yang terhampar. Butuh waktu 15-40 menit untuk merangkai kalimat sebagai cantolan makna. Kutemukan ada "ayat keikhlasan" dalam segelas teh, secangkir kopi susu. Seumpama akar yang tersembunyi pada pohon, namun menentukan segalanya pada sebatang pohon. 

    Ketahuilah, di dalam segelas teh dan secangkir kopi susu, ada juga satu zat tersembunyi, yang larut kedalamnya. Ia tak terlihat, namun terasa, dan bahkan menentukan rasa. Dia bernama "gula'. Gula tak pernah menonjolkan diri. Ketika tehnya manis atau kopi susunya mantap, maka yang disebut "tehnya oke bangat" atau "kopinya mantap". Tapi, tahukah Anda bahwa yang menentukan teh jadi oke dan kopi jadi mantap, adalah masuknya gula. 

     Saya masih terinspirasi dengan artikel sebelumnya, dari kutipan salah satu kalimat dalam karya Tere Liye yang mengatakan "bekerja dalam diam, biarkan kesusksesan yang berbicara'." Kalimat ini sungguh bukan hanya sebuah kalimat biasa. Kalimat ini mengandung kedalaman makna yang mengajarkan sebuah nilai spritual yang tinggi. Bekerjalah dengan tetap diam. Dimana Allah selalu memantau setiap apa yang kita kerjakan. Untaian kalimat eksotisnya yang menginspirasiku untuk menganalogikan daun. Daun merupakan sumber energi bagi sebatang pohon dan tumbuhan.

    Seumpama pohon, ada akar yang bekerja tersembunyi menjalar dan menyusuri kedalaman tanah untuk memperoleh air dan saripati tanah demi memberikan gizi kepada pohon yang menjadi tanggung jawabnya. Pun, ada daun bekerja melakukan fotosintesis (memasak dan mengolah) dengan sistem bantuan matahari. Bapak dan ibu seumpama itulah. Bapak bekerja ikhlas seperti akar yang tersembunyi dan tenggelam mencari sumber makanan (rezeki) bagi keluarga. Ibu laksana daun yang melakukan fotosintesis (mengolah dan menyajikan makanan) untuk sebatang pohon yang bernama "rumah tangga".

    Dari jari jemari tangan ayah yang tenggelam belepotan dengan tanah itulah ia memberi sumber makanan (rezeki) dengan air (bersih dan halal) dan saripati tanah (bergizi). Akar dan daun bekerja berdasarkan sunnatullah (hukum alam). Pada saatnya kelak, pohon (yang bernama rumah tangga) itu berbuah lebat dan indah. 

    Anak-anak diandaikan buah pada pohon. Ia dinanti kehadirannya. Dinanti musim berbuah dan panen. Semua orang yang menyaksikan, melihatnya ada harapan masa depan kehidupan. Tatkala tiba musim panen, buah-buah itu dipetik, dijual, dan dinikmati banyak orang. Dia memberi gizi bagi kelangsungan hidup. Di kala itulah mereka memuji dan menyanjung buah itu. Akar dan daun tak pernah iri dirinya tak dipuji, juga tak pernah minta bagi hasil (balasan) dari harga penjualan buah. Setelah itu, buah diimport dan diekspor keluar negeri menebar manfaat. Tinggallah akar pohon dan daun itu fokus pada fungsinya. Terus-menerus menopang untuk tegaknya pohon (rumah tangga).

    Fungsi Daun

    Dengan fitrahnya yang agung, dedaunan akan menjalankan fungsinya untuk ber-fotosintesis demi kelangsungan hidup sebatang tumbuhan atau sebatang pohon. Energi yang dihasilkannya juga sebuah energi mahadahsyat berupa oksigen dan uap air. Dedaunan ini ibarat seorang istri (ibu) sejati. Dapur adalah tempat yang membuatnya menjadi istimewa karena amanah dan pengorbanannya yang luar biasa.

    Dari jari jemari tangannya tersaji makanan untuk suami dan anak-anaknya. Dari rahimnya terlahir anak-anak yang sehat sebagai penyejuk mata hati. Dari jiwanya tersemat rasa bahagia saat melihat suami dan anak-anaknya menggenggam prestasi.  Istri tak akan mengeluh, meski letih, tak pernah dihargai dengan apapun. Ia akan belajar ikhlas seikhlas daun yang jatuh dan akan selalu berusaha untuk tidak membenci angin.

    1. Daun Simbol keteduhan

    Warna hijau pada daun melambangkan keteduhan dan kesegaran. Dari semua warna yang ada, warna hijau adalah warna yang paling menenangkan mata. Bahkan, demi kesehatan mata, seseorang dianjurkan untuk sering memandang ke pohon yang berdaun hijau.

    Ini mengandaikan bahwa pada kehidupan yang bermanfaat dan memancarkan keteduhan sebagaimana pada pepohonan akan membangkitkan energi positif bagi yang lain. Kita bisa menjadi manusia sebagaimana dedaunan hijau yang menginspirasi orang lain dengan cara sederhana.

    Menariknya, dedaunan memancarkan keteduhan sebagai kodrat hidupnya. Dedaunan menyuplai kesegaran tanpa beban, tanpa pencitraan, tanpa pamrih. Ini tentang cinta dan kebermanfaatan yang harus selalu dimiliki setiap manusia. Siapapun boleh memerankan diri sebagai daun yang melakukan fotosintesis (mengolah dan menyajikan makanan).

    2. Daun pandai beradaptasi

    Pepohonan yang bertumbuh pada tanah akan mengeluarkan daun yang begitu pandai beradaptasi sesuai cuaca dan iklim yang ada. Daun sanggup menyesuaikan diri pada kondisi alam di sekitarnya. Bahkan saat kemarau tiba, daun rela menggugurkan dirinya untuk menjaga air tanah tidak menguap. Dengan begitu tanaman tetap bisa hidup. Ibu adakalanya "berbohong" mengatakan "aku kenyang nak" karena dia tahu bahwa anaknya menginginkan makanan itu. Walaupun ibu juga sesungguhnya sangat ngiler dengan makanan itu. Tapi, cinta kepada anaknya mengalahkan nafsu makannya.

    Untuk diketahui, tumbuhan yang di tanam di padang pasir akan mengeluarkan dedaunan yang ramping dan memiliki lapisan kutila yang tebal sehingga air dalam selnya tidak gampang menguap. Ini peristiwa menarik bagaimana kehidupan harus memiliki kehidupan adaptasi yang kuat. Dengan kemampuan ini, dedaunan mengajarkan kita untuk hidup tegar dan kuat di segala kondisi.

    3. Daun itu mandiri

    Tak ada yang lebih mandiri dari dedaunan. Sejatinya, daun dapat memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis melalui sinar matahari. Namun, tetap harus dipahami bahwa dalam satu pohon yang utuh ada akar yang menyuplai pada daun dan menjadi landasan berdirinya sebatang pohon. Daun dapat mengerjakan sendiri semua yang dibutuhkannya tanpa bantuan orang lain. Tapi, memang ada fakta menarik pada fenomena daun. Daun mampu beradaptasi secara kuat pada lingkungannya. Karena kemampuan adaptasi pada daun maka ini sekaligus mengajarkan tentang kemandirian. Kemampuan adaptasi merupakan modal kemandirian dalam hidup.

    4. Daun hidup bekerjasama

    Mungkin terlupa dalam pantauan manusia, betapa dedaunan hidup bekerjasama. Sehelai daun ternyata saling mendukung dengan dedaunan lainnya untuk menjaga keberlanjutan hidupnya. Bila suatu pepohonan memiliki dedaunan yang rimbun nan hijau, itu berarti pohon tersebut hidup dengan baik. Menariknya, semakin sejahtera kehidupan pohon, semakin besar pula manfaat yang ia berikan pada lingkungan dan manusia.

    Dedaunan saja hidup dengan saling bekerjasama, tentu manusia juga sejatinya harus demikian bukan? Kalau manusia yang egois berarti ia tidak pernah belajar pada dedaunan. Simaklah bagaimana dedaunan tidak egois dan begitu pandai membalas budi. Daun seolah menyadari bahwa eksistensi dirinya berkat dukungan dari akar, batang, buah, bunga dan juga tanah.

    Karenanya, daun yang rimbun juga akan menjalar ke akar yang kuat dan batang yang kokoh. Daun mengerti bahwa setiap hal yang kita dapat bukan sepenuhnya kita ambil sendiri. Tidak boleh egois. Karena itu, daun mendapat hasil makanan dari fotosintesis, untuk kemudian dibagikan ke seluruh bagian tanaman tanpa terkecuali.

    5. Daun tiada henti memancarkan kebaikan

    Tak ada yang paling istimewa dari dedaunan. Daun bekerja untuk kehidupan tanpa henti dan tanpa lelah sedikit pun. Pada siang hari, zat asam arang CO-2 yang ada di udara diserapnya. CO-2 digunakan oleh daun untuk proses ‘memasak’ yang dikenal sebagai proses fotosintesis.

    Keluarannya akan terdapat dua zat bermanfaat, yaitu energi (zat gula) dan oksigen O2. Banyaknya oksigen yang dikeluarkan daun inilah yang menjadikan udara di sekitar daun pada siang hari menjadi terasa sejuk.

    Sehelai daun daja bermanfaat, bila ia menyatu menjadi hutan akan menjadi paru-paru dunia. Hutan menyimpan air untuk kehidupan dan menyuplai oksigen alami terus-menerus. Ini pelajaran menarik bagi manusia untuk menjadi pribadi yang tiada henti menebarkan kehidupan. 

    6. Daun itu indah dan pemurah

    Simaklah betapa beragamnya bentuk dan corak warna dedaunan. Semuanya menawarkan keindahan dan kesegaran. Dedaunan seolah melambangkan tentang cinta kasih tanpa batas.Daun memancarkan kesejukan yang menghidupkan lingkungan sekitarnya. Ini pertanda betapa di balik keindahannya, dedaunan itu pemurah. Bayangkan saja, bagaimana daun berbagi oksigen secara gratis pada kita manusia.

    Filosofi daun semua mengajarkan tentang kehidupan yang sejatinya harus bermakna dan memberikan kebermanfaatan secara luas. Itulah sebaik-baiknya kehidupan!

    Ketahuilah bahwa dari mulut seorang 15 abad silam mengandaikan manusia terbaik dan paling berkontribusi bagi kehidupan. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani. lihat Shahihul Jami’ no:3289). Kebermanfaatan merupakan tolok ukur paling akur untuk menakar nilai seseorang. Jadi, tak perlu minder selama Anda hidup dalam kebermanfaatan.

    Jika Anda berperan sebagai 'daun' telah melakukan tugas ber-fotosintesis (hidup melayani) atau berperan sebagai 'akar' menyuplai sumber kehidupan keluarga maka Anda telah memerankan diri dalam drama kehidupan. Allah sungguh tak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Dia menyaksikan seluruh peran Anda sebagai Khalifah di bumi. 

    Bila sesi drama kehidupan sudah selesai maka sudah waktunya para pemeran  istirahat. Daun jatuh atau akar pun lapuk, tak.masalah. yang penting peran drama kehidupan sudah sudah dijalankan dengan maksimal. Demikian ilustrasi bahwa "wafatnya orang baik (saleh) adalah waktu istirahat baginya. Sedangkan kematian orang jahat adalah waktu istirahatnya masyarakat". 

    Inti tamsil (analogi) pohon, daun, akar, dan buah tersebut adalah ajaran tentang tauhid. Bahkan, maksud dan asal seluruh syariat Anbiya AS adalah tauhid, sehingga masalah tauhidl-ah yang paling banyak disebutkan di dalam Alquran. Simaklah kode dari langit berikut!

    Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya setiap musim, dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpmaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikit pun.” (Q.S. Ibrahim: 24-26). 

    Pesan moral dari tamsil (analogi) di atas adalah pesan ketauhidan bagi para pemeran drama kehidupan sebagai Khalifah di bumi. Sebuah drama kehidupan keluarga seumpama pohon. Ayah (suami) berperan sebagai 'akar'. Sebagai ibu (istri) berperan sebagai daun, dan anak-anak adalah buahnya. Siap diekspor dan diimpor demi menebar manfaat. Perlu dicatat, buah yang berkualitas tidak ditanam atau tumbuh di lingkungan (rumah tangga) yang buruk. Rumah tangga adalah pondasi sebuah masyarakat dan bangsa. Maka Nabi menyebut 'ibu sebagai madrasah pertama'.

    Daun yang jatuh memang tidak membenci angin. Dia ikhlas. Akar pun tak protes jika buahnya diambil asal untuk menebar manfaat bagi makhluk Tuhan. Tapi daun dan akar kecewa bila hutan-hutan, pepohonan dengan daun dan batang serta akarnya mengamuk bila mereka ditebang oleh para konglomerat pengusaha tambang batu bara yang tak tahu tugasnya sebagai Khalifah yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi dan melestarikan lingkungan. "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]: 41).

    Sungguh menyedihkan memang, karena beberapa tahun terakhir, Indonesia masih termasuk salah satu dari daftar nama negara perusak hutan tercepat di dunia. Para konglomerat pengusaha tambang dan pihak yang memberi izin adalah tindak berjamaah mengeksplotasi hutan, mereka adalah pencabut paru-paru kehidupan (dunia). Mungkin peran menjadi ibu rumah tangga atau ayah yang tenggelam mencari sumber rezeki halal untuk anak-anaknya serta mendidiknya dengan baik itu lebih mulia daripada pengusaha tambang batu bara, tambang emas, atau tambang minyak yang merusak lingkungan. Para orang tua merupakan pilar utama masa depan generasi.

    Salam nalar kritis!