BLANTERORBITv102

    AL-HAFIDH IBNU HAJAR AL-ATSQALANI

    Rabu, 17 Februari 2021

     

    Muhammad Yusuf 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Samata, 17/2/2022


    Komentar Awal

    Seperti biasanya, di pagi hari sebelum beraktivitas yang lain, saya gunakan sejenak waktu menggerakkan jari jemari tanganku di atas ponsel untuk menulis hasil bacaan saya. Ini adalah bentuk sapaan saya kepada para mahasiswa dan pembaca di manapun Anda berada. Ini adalah media silaturahim dan silatul-fikri (komunikasi ide). Semoga bermanfaat!

    Catatan kali ini mengangkat bagian kecil dari biografi Imam Al-Atsqalani. Bukan hanya tentang beliau, melainkan kisah seorang anak yatim-piatu yang tumbuh dan berkembang menjadi seorang alim besar yang tidak hanya lintas negara. Beliau juga ulama lintas generasi,yang melintasi abad lamanya. Bahkan hingga kiamat datang, insyaallah. Kontribusi intelektualnya melalui karya-karya beliau yang banyak. Salah satunya, yaitu Kitab Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari. Kitab ini lahir dari tangan anak yatim-piatu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani.

    Para santri di pondok-pondok pesantren tentu tak asing dengan nama Ibnu Hajar al-Asqalani. Ulama ini mengarang sejumlah kitab yang senantiasa dijadikan referensi atau dipelajari di pondok-pondok pesantren. Kitab yang dikarangnya antara lain Fath al-Bari, Bulugh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan lainnya. 

    Ibnu Hajar Al-Atsqalani

    Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani Al-Asqalani. Namun, ia lebih dikenal dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ahli hadis. Karyanya yang berjudul Fath al-Bari (Kemenangan Sang Pencipta) merupakan syarah (penjelas atau komentar) atas kitab sahihnya Imam Bukhari. Oleh banyak ulama, karya Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut disepakati sebagai kitab penjelasan yang paling detail yang pernah dibuat.

    1. Kelahirannya

    Ibnu Hajar dilahirkan pada tahun 773 Hijriah dan wafat pada tahun 852 Hijriah. Mengenai tempat kelahirannya, ada beberapa pendapat. Ada yang menyebutkan ia dilahirkan di Kota Asqalan, Palestina. Versi lain menyebutkan bahwa ia lahir, besar, dan meninggal dunia di Mesir.

    2. Sifat Fisiknya

    Ibnu Hajar digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tinggi badan sedang, berkulit putih, muka bercahaya dan berseri-seri, bentuk tubuh indah, lebat jenggotnya, serta pendek kumisnya. Dia juga memiliki pendengaran dan penglihatan yang sangat baik. Giginya tampak kuat dan utuh serta mempunyai fisik yang kekar dan kuat. Di samping itu, ia juga dikenal sangat fasih dalam berbicara, lirih suaranya, cerdas ungkapannya, pandai strateginya, dan pintar dalam bersyair.

    3. Yatim-piatu

    Dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya Syekh Ahmad Farid, disebutkan bahwa Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu. Ayahnya meninggal ketika ia berumur empat tahun dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitul Maqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. 

    Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

    Meskipun beliau tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu, namun ia senantiasa menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah pengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.

    4. Hijrah ke Mesir

    Ketika sang kakak memutuskan berhijrah ke Makkah, Ibnu Hajar turut serta. Saat bermukim di Tanah Suci, Ibnu Hajar dimasukkan ke Al-Maktab (sekolah khusus untuk belajar dan menghafal Alquran). Ia saat itu baru menginjak usia lima tahun. Salah seorang gurunya di Al-Maktab adalah Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir. Guru lainnya adalah Syamsuddin Al-Athrusy.

    5. Menghafal Al-Qur'an

    Akan tetapi, saat menimba ilmu di Al-Maktab, Ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran. Kemudian, ia belajar oleh seorang fakih (ahli fikih) dan pengajar sejati, yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada ulama inilah, Ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alquran ketika berumur sembilan tahun.

    6. Menjadi Imam di Masjidil Haram

    Ketika berumur 12 tahun, ia ditunjuk sebagai imam sholat tarawih di Masjidil Haram. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 785 H. Ketika sang kakak pindah ke Mesir pada 786 H, Ibnu Hajar juga turut serta. Di Mesir, Ibnu Hajar benar-benar berusaha belajar. Dia menghafal beberapa kitab, di antaranya kitab al-Hawi karangan Al-Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnu Hajib.

    7. Keahliannya

    Kendati sudah menimba ilmu di banyak tempat, Ibnu Hajar belum merasa puasa dengan ilmu yang telah diperolehnya. Ia kemudian memutuskan berguru kepada Al-Hafizh Al-Iraqi, seorang syekh besar yang terkenal sebagai ahli fikih dari Mazhab Syafii. Selain menguasai fikih, Syekh Al-Hafizh juga menguasai ilmu tafsir, hadits, dan bahasa Arab.

    8. Menjadi Alim (Ulama)

    Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dalam masa itu, Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam, Yaman, dan Hijaz. Di bawah bimbingan Syekh Al-Hafizh, Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan hadis.

    9. Demi Kepentingan Umat

    Setelah sang guru wafat, Ibnu Hajar belajar dengan Nuruddin Al-Haitsami dan Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih. Melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadis, gurunya ini memberi saran kepada Ibnu Hajar agar mempelajari ilmu fikih. Sebab, sang guru yakin bahwa banyak orang akan membutuhkan ilmu itu. Selain itu, sang guru beralasan bahwa ulama di daerah tersebut akan habis sehingga keberadaan Ibnu Hajar amat diperlukan sebagai penerus para ulama setempat.

    10. Menjadi Qadhi dan Khatib

    Setelah mendapatkan berbagai bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Hajar memutuskan untuk kembali ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Selama bermukim di Mesir, ia tercatat pernah menjadi qadhi (hakim) selama kurang lebih 21 tahun. Beliau adalah seorang hakim yang menganut Mazhab Syafii.

    Ibnu Hajar Al-Asqalani, selain dikenal sebagai ulama yang sangat wara' (senantiasa berhati-hati terhadap sesuatu yang tidak jelas), beliau juga seorang hakim yang sangat adil ketika beliau menjabat sebagai Qadli al-Qudhat(hakim agung).Karena ketegasan dan kekritisannya terhadap sebuah permasalahan, jabatannya sebagai hakim sering kali mengundang ketidakpuasan dari penguasa (pejabat pemerintah) Mesir ketika itu. 

    Karena itu pula, beberapa kali jabatan beliau sebagai hakim agung terpaksa dicopot. Menurut catatan, pencopotan jabatan hakim agung itu terjadi hingga enam kali. Namun demikian, beliau tak pernah meminta jabatan itu, tapi justru penguasa sendiri yang akhirnya meminta beliau kembali untuk jabatan tersebut.

    Selain itu, Ibnu Hajar juga menjadi syekh dari para guru hadis dan mengajarkan ilmu fikih di beberapa tempat di negeri Mesir. Ia juga kerap diminta naik mimbar sebagai khatib di Masjid Amru bin Ash dan Masjid Al-Azhar.

    Penulisan Kitab Fathul Bari

    Semasa hidupnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani banyak sekali mengarang kitab-kitab dalam bermacam-macam bidang ilmu. Akan tetapi, karangannya yang sangat terkenal ialah kitab Fath Al-Bari (Kemenangan Sang Pencipta), yang merupakan syarah kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari. Kitab Fathul Bari disepakati sebagai kitab penjelasan yang paling detil yang pernah dibuat.

    Dari 82 macam kitab syarah yang pernah ditulis sepanjang masa, yang paling terkenal adalah kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hajar ini. Kitab Fath Al-Bari terdiri dari 17 jilid. Kitab ini disusun oleh Ibnu Hajar dari tahun 813 H sampai dengan tahun 842 H.

    Mengenai tahun penyusunannya ada juga yang menyebutkan bahwa kitab itu mulai ditulis tahun 817 H dan selesai tahun 842 H. Maka tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.

    Dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar menjelaskan masalah bahasa dan i’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan di kitab lainnya. Ia juga menjelaskan dari segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fikih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak.

    Di samping itu, dia mengumpulkan seluruh sanad hadis dan menelitinya, serta menerangkan tingkat kesahihan dan kedhaifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab-kitab hadis.

    Fath Al-Bari mempunyai mukaddimah yang bernama Hadyus Saari. Menurut penilaian para ulama, Mukaddimah ini amat tinggi nilainya. Seandainya ia ditulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. Sebab, ia merupakan kunci untuk memahami Shahih Bukhari.

    Kemudian Al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah. Pada mulanya, uraian dan pembahasan direncanakan ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun, dia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya yang mengakibatkan kitab itu selesai tapi tidak sempurna. Karena itu, ia menulis kitab syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fath Al-Bari.

    Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hangat dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.

    Akhir Hayatnya

    Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang qadhi begitu terpilih untuk yang keenam kalinya pada tahun 852 H. Tak lama berselang, ia jatuh sakit di rumahnya. Ketika tengah sakit hingga membawanya kepada kematian, Ibnu Hajar berkata, Ya, Allah, bolehlah Engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah Engkau tidak memberikanku pengampunan.”

    Pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah, berselang dua jam setelah shalat Isya, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun di dekat Ibnu Hajar untuk membacakan surah Yasin. Ketika sampai ayat ke-58, keluarlah roh dari jasadnya.

    Berita wafatnya sang ulama ini menimbulkan luka mendalam bagi warga. Mereka menganggap, hari itu merupakan hari musibah yang sangat besar.Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non-Muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu, pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar saat itu datang melayat.

    Pesan Moral

    Berharap setelah Anda membaca artikel mini ini, sadar bahwa jika Anda seorang yang sedang menyandang status sebagai anak yatim, piyatu, atau bahkan yatim-piatu maka tak usah larut dan tenggelam dalam kesedihan. Bangkitlah, karena Anda pasti orang yang potensial! Boleh jadi Allah sedang mempersiapkan Anda sebagai orang besar. 

    Atau, jika Anda menjumpai anak yatim, piatu, bahkan yatim-piatu maka janganlah Anda meremehkan atau memandang remeh. Boleh jadi dia sedang dipersiapkan sebagai pemimpin terbaik untukmu esok. Atau menjadi penerang jalan hidupmu kelak.

    Bayangkan ketika Nabi Saw. menerima surah Al-Muzzammil. Lewat surah itu, beliau yang tumbuh dalam status yatim-piyatu itu diperintahkan untuk bangkit memimpin peradaban dunia dengan tuntunan Islam. 

    Hidup dengan status yatim-piatu tidak membuat Al-Atsqalani menjadi anak yang tak bermanfaat. Bahkan beliau lebih tekun dan melejitkan potensi kecerdasannya. Ia rajin belajar dengan kesungguhan dan keikhlasan yang mengantarkan dirinya menjadi seorang alim besar yang dicatat dengan tinta emas sejarah.

    Begitu pula Ibnu Hajar Al-Atsqalani misalnya, berbagai jabatan dan amanah penting telah ditunaikan. Namun, beliau lebih dikenal sebagai alim besar terutama dalam bidang hadis. Beliau menjadi ilmuwan dunia sepanjang zaman. Seperti ulama hadis lainnya, Al-Atsqalani menghafal Al-Qur'an sebelum menekuni hadis dan bidang-bidang lainnya. Diyakini bahwa keberkahan Al-Qur'an menjadi jalan kebaikan baginya dan kebaikan untuk umat Islam.

    Pesan moral yang tersirat di balik statusnya sebagai anak yatim-piatu itu amat mendalam. Terkadang Allah Swt. menjadikan yatim atau yatim-piatu lalu Allah menolong hamba-Nya itu menjadi generasi yang lebih tangguh menghadapi tantangan. 

    Sejarah mencatat bahwa banyak ilmuwan dan tokoh besar yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam status yatim, piyatu, atau yatim-piatu. Oleh karena itu, negara dan masyarakat wajib merawat dan memfasilitasi pendidikan anak yatim, piyatu, dan yatim piyatu, sebab boleh jadi mereka akan menjadi tokoh atau pemimpin yang memberikan manfaat dan maslahat bagi banyak orang. Wallahu a'lam bishsh-shawab.

    Salam!