Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata, 17/2/2022
Komentar Awal
Ibnu Hajar Al-Atsqalani
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani Al-Asqalani. Namun, ia lebih dikenal dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ahli hadis. Karyanya yang berjudul Fath al-Bari (Kemenangan Sang Pencipta) merupakan syarah (penjelas atau komentar) atas kitab sahihnya Imam Bukhari. Oleh banyak ulama, karya Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut disepakati sebagai kitab penjelasan yang paling detail yang pernah dibuat.
1. Kelahirannya
Ibnu Hajar dilahirkan pada tahun 773 Hijriah dan wafat pada tahun 852 Hijriah. Mengenai tempat kelahirannya, ada beberapa pendapat. Ada yang menyebutkan ia dilahirkan di Kota Asqalan, Palestina. Versi lain menyebutkan bahwa ia lahir, besar, dan meninggal dunia di Mesir.
2. Sifat Fisiknya
Ibnu Hajar digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tinggi badan sedang, berkulit putih, muka bercahaya dan berseri-seri, bentuk tubuh indah, lebat jenggotnya, serta pendek kumisnya. Dia juga memiliki pendengaran dan penglihatan yang sangat baik. Giginya tampak kuat dan utuh serta mempunyai fisik yang kekar dan kuat. Di samping itu, ia juga dikenal sangat fasih dalam berbicara, lirih suaranya, cerdas ungkapannya, pandai strateginya, dan pintar dalam bersyair.
3. Yatim-piatu
Dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya Syekh Ahmad Farid, disebutkan bahwa Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu. Ayahnya meninggal ketika ia berumur empat tahun dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitul Maqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya.
Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Meskipun beliau tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu, namun ia senantiasa menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah pengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
4. Hijrah ke Mesir
Ketika sang kakak memutuskan berhijrah ke Makkah, Ibnu Hajar turut serta. Saat bermukim di Tanah Suci, Ibnu Hajar dimasukkan ke Al-Maktab (sekolah khusus untuk belajar dan menghafal Alquran). Ia saat itu baru menginjak usia lima tahun. Salah seorang gurunya di Al-Maktab adalah Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir. Guru lainnya adalah Syamsuddin Al-Athrusy.
5. Menghafal Al-Qur'an
Akan tetapi, saat menimba ilmu di Al-Maktab, Ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran. Kemudian, ia belajar oleh seorang fakih (ahli fikih) dan pengajar sejati, yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada ulama inilah, Ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alquran ketika berumur sembilan tahun.
6. Menjadi Imam di Masjidil Haram
Ketika berumur 12 tahun, ia ditunjuk sebagai imam sholat tarawih di Masjidil Haram. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 785 H. Ketika sang kakak pindah ke Mesir pada 786 H, Ibnu Hajar juga turut serta. Di Mesir, Ibnu Hajar benar-benar berusaha belajar. Dia menghafal beberapa kitab, di antaranya kitab al-Hawi karangan Al-Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnu Hajib.
7. Keahliannya
Kendati sudah menimba ilmu di banyak tempat, Ibnu Hajar belum merasa puasa dengan ilmu yang telah diperolehnya. Ia kemudian memutuskan berguru kepada Al-Hafizh Al-Iraqi, seorang syekh besar yang terkenal sebagai ahli fikih dari Mazhab Syafii. Selain menguasai fikih, Syekh Al-Hafizh juga menguasai ilmu tafsir, hadits, dan bahasa Arab.
8. Menjadi Alim (Ulama)
Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dalam masa itu, Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam, Yaman, dan Hijaz. Di bawah bimbingan Syekh Al-Hafizh, Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan hadis.
9. Demi Kepentingan Umat
Setelah sang guru wafat, Ibnu Hajar belajar dengan Nuruddin Al-Haitsami dan Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih. Melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadis, gurunya ini memberi saran kepada Ibnu Hajar agar mempelajari ilmu fikih. Sebab, sang guru yakin bahwa banyak orang akan membutuhkan ilmu itu. Selain itu, sang guru beralasan bahwa ulama di daerah tersebut akan habis sehingga keberadaan Ibnu Hajar amat diperlukan sebagai penerus para ulama setempat.
10. Menjadi Qadhi dan Khatib
Setelah mendapatkan berbagai bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Hajar memutuskan untuk kembali ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Selama bermukim di Mesir, ia tercatat pernah menjadi qadhi (hakim) selama kurang lebih 21 tahun. Beliau adalah seorang hakim yang menganut Mazhab Syafii.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, selain dikenal sebagai ulama yang sangat wara' (senantiasa berhati-hati terhadap sesuatu yang tidak jelas), beliau juga seorang hakim yang sangat adil ketika beliau menjabat sebagai Qadli al-Qudhat(hakim agung).Karena ketegasan dan kekritisannya terhadap sebuah permasalahan, jabatannya sebagai hakim sering kali mengundang ketidakpuasan dari penguasa (pejabat pemerintah) Mesir ketika itu.
Karena itu pula, beberapa kali jabatan beliau sebagai hakim agung terpaksa dicopot. Menurut catatan, pencopotan jabatan hakim agung itu terjadi hingga enam kali. Namun demikian, beliau tak pernah meminta jabatan itu, tapi justru penguasa sendiri yang akhirnya meminta beliau kembali untuk jabatan tersebut.
Selain itu, Ibnu Hajar juga menjadi syekh dari para guru hadis dan mengajarkan ilmu fikih di beberapa tempat di negeri Mesir. Ia juga kerap diminta naik mimbar sebagai khatib di Masjid Amru bin Ash dan Masjid Al-Azhar.
Penulisan Kitab Fathul Bari
Dari 82 macam kitab syarah yang pernah ditulis sepanjang masa, yang paling terkenal adalah kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hajar ini. Kitab Fath Al-Bari terdiri dari 17 jilid. Kitab ini disusun oleh Ibnu Hajar dari tahun 813 H sampai dengan tahun 842 H.
Mengenai tahun penyusunannya ada juga yang menyebutkan bahwa kitab itu mulai ditulis tahun 817 H dan selesai tahun 842 H. Maka tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
Dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar menjelaskan masalah bahasa dan i’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan di kitab lainnya. Ia juga menjelaskan dari segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fikih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak.
Di samping itu, dia mengumpulkan seluruh sanad hadis dan menelitinya, serta menerangkan tingkat kesahihan dan kedhaifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab-kitab hadis.
Fath Al-Bari mempunyai mukaddimah yang bernama Hadyus Saari. Menurut penilaian para ulama, Mukaddimah ini amat tinggi nilainya. Seandainya ia ditulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. Sebab, ia merupakan kunci untuk memahami Shahih Bukhari.
Kemudian Al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah. Pada mulanya, uraian dan pembahasan direncanakan ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun, dia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya yang mengakibatkan kitab itu selesai tapi tidak sempurna. Karena itu, ia menulis kitab syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fath Al-Bari.
Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hangat dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.
Akhir Hayatnya
Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang qadhi begitu terpilih untuk yang keenam kalinya pada tahun 852 H. Tak lama berselang, ia jatuh sakit di rumahnya. Ketika tengah sakit hingga membawanya kepada kematian, Ibnu Hajar berkata, Ya, Allah, bolehlah Engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah Engkau tidak memberikanku pengampunan.”
Pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah, berselang dua jam setelah shalat Isya, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun di dekat Ibnu Hajar untuk membacakan surah Yasin. Ketika sampai ayat ke-58, keluarlah roh dari jasadnya.
Berita wafatnya sang ulama ini menimbulkan luka mendalam bagi warga. Mereka menganggap, hari itu merupakan hari musibah yang sangat besar.Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non-Muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu, pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar saat itu datang melayat.
0 komentar