Oleh: Muhammad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Catatan Awal
Dalam tema tulisan ini saya menggunakan istilah 'adab" untuk mengungkap pola interaksi edukatif antara guru dan murid. Adab lebih bersifat operasional sedang akhlak bersifat konsep nilai yang mencakup semua pola hubungan (sosial, enviromental, dan spritual). Meskipun saya juga menggunakan istilah akhlak dan moral. Sebab, keduanya tidak bisa dipisahkan. Keseluruhannya merupakan cakupan pendidikan. Tapi, kini pendidikan lebih cenderung sebagai transfer ilmu pengetahuan saja.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memang sangat penting. Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu diakui dunia. Namun, kita tidak berlebihan khawatir dengan hal itu. Sebab, seluruh negara di dunia sadar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sebuah keniscayaan.
Hal yang dikhawatirkan adalah hilangnya adab dan akhlak dari para ilmuwan. Jika ilmu pengetahuan grafiknya cenderung naik, sedang adab dan akhlak grafiknya menurun drastis maka negara sedang bergerak menuju kehancuran. Trend yang demikian sangat berbahaya bagi generasi bangsa.
Pendidikan: Proyek Ilmu dan Akhlak
Seharusnya majelis ilmu, sekolah, dan universitas itu tidak sekedar menjadi tempat melahirkan generasi yang cerdas, melainkan sebagai tempat melahirkan generasi yang berakhlak mulia. Proyek pendidikan semestinya juga merupakan proyek Akhlakul Karimah, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebuah negara mencapai kejayaannya. Dengan akhlak dan moral yang baik, sebuah bangsa akan mampu survive dalam kejayaannya.
Paradigma pendidikan saat ini yang terkesan hanya memprioritaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan adab sopan santun yang menjadi dasar pembentukan akhlak mulia hampir hilang ditelan zaman. Kini, trend undang-undang perlindungan anak mendahului lahirnya undang-undang perlindungan guru.
Akibat dari itu, Anda bisa menyaksikan ketika para orang tua dan siswa melaporkan guru kepada pihak berwenang tanpa sedikitpun rasa hormat kepada guru. Ini tentu benar secara hukum, namun minus etika atau kosong adab. Guru kadang menjadi olok-olokan orang tua murid atau murid itu sendiri. Pastilah bukan Anda yang dimaksud. Saya yakin Anda orang yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan adab sopan santun.
Urgensi Pendidikan Adab & Akhlak
Ada sebuah ungkapan Ali bin Abi Thalib yang cukup fenomenal mengenai pendidikan anak yakni “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.
Dalam ungkapan itu digunakan ,ادبوا (addibuu) yang merujuk kepada adab atau sopan santun dan tata krama. Maka, pantas jika para ulama sepakat, "Kada al-adab qabla al-'ilm" (Posisi adab itu sebelum ilmu).Bahkan Syaikh Ibnu Mubarak, seorang ulama yang sangat shalih, berkata, "Thalabtul adab tsalatsuna sanah wa thalabtul 'ilm 'isyrina sanah" (Aku belajar adab 30 tahun lamanya, sedang aku belajar ilmu hanya 20 tahun lamanya).
Ta'zhim: Adab Pencari Ilmu
Ta'zhim (penghormatan) murid kepada guru ini dapat diekspresikan dengan berbagai macam cara. Di antaranya, mencium tangan guru, membawa tas dan kitab mereka ke dalam kelas, memapah dan membantu mereka berjalan. Kalau di Indonesia, Anda masih bisa menyaksikan adab santri kepada kyai. Para santri mencium tangan gurunya sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Itu bukan hal baru. Itu tradisi lama di masa lalu hingga kini. Anjuran menghormati guru ini sudah lama diajarkan oleh para ulama terdahulu. Mereka tidak segan berebut untuk mencium tangan guru, ustaz, ataupun kiai yang sudah mengajarkan ilmu kepada mereka.
Bahkan, Imam Muslim, seorang ahli hadis yang paling terkenal di dunia Islam, pada saat bertemu gurunya Imam Bukhari, tidak segan untuk mencium kening dan kakinya. Imam Muslim tau bahwa mencari ilmu bukan sekedar ilmu melainkan ilmu yang disertai berkah dan manfaat ilmu. Itu bukan syirik, bukan menyembah kyai. Itu adalah ekspresi sikap ta'zhim (penghormatan) santri kepada kyai.
Sekali lagi, ini tentu bukan suatu penyelewengan dan penyimpangan. Andaikan tidak benar dan dilarang di dalam Islam, tentu Imam Muslim sebagai ahli hadits tidak akan melakukannya dan Imam Bukhari pasti sudah melarangnya. Anjuran Nabi Saw untuk menghormati yang besar dan menyayangi yang kecil adalah ajaran tentang pola interaksi edukatif yang seimbang dan harmonis.
Dalam konteks itu, orang alim adalah orang yang besar. Kebesarannya bukan karena umurnya yang lebih tua saja, tetapi lantaran ilmunya. Karena itu, siapapun yang mengajarkan ilmu maka ia berhak untuk dihormati. Sebab, tidak menutup kemungkinan usia guru lebih muda daripada muridnya. Bagaimanapun, ia tetap guru, dan karena wajib Anda hormati jika ia gurumu.
Syekh Nuruddin 'Itr dalam Lamahat Mujazah fi Ushuli 'Ilalil Hadits mengutip sebuah riwayat tentang adab Imam Muslim saat bertemu gurunya. Riwayat ini berasal dari Ahmad Ibnu Hamdun Al-Qashar bahwa Imam Muslim pernah mendatangi Imam Bukhari untuk bertanya tentang hadis mu'allal. Ketika bertemu, beliau langsung mencium kening gurunya dan berkata.
"Biarkan aku mencium dua kakimu wahai mahaguru, pemuka ahli hadis, dan pakar dalam kajian 'ilal hadits."
Imam Muslim yang sudah sangat tersohor pada masanya tidak enggan untuk menghormati dan bersikap merendah di hadapan gurunya. Ia tidak sekadar cium tangan, tetapi juga mencium kaki gurunya.
Ada sebuah pesan moral dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib .Ali bin Abi Thalib r.a. yang pernah mengatakan, "Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya."Ali r.a. mencontohkan, sekecil apa pun ilmu yang didapat dari seorang guru tak boleh diremehkan.
Demikian pula Imam Syafi’i. Beliau pernah membuat rekannya terkagum-kagum karena tiba-tiba saja ia mencium tangan dan memeluk seorang lelaki tua. Para sahabatnya bertanya-tanya, "Mengapa seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih banyak ulama yang lebih pantas dicium tangannya daripada dia?"
Imam Syafi’i menjawab, "Dulu aku pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab, "Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh."
Hanya ilmu itu yang didapat Imam Syafi’i dari orang tua itu. Namun, sang Imam tak pernah lupa akan secuil ilmu yang ia dapatkan. Baginya, orang tua itu adalah guru yang patut dihormati. Sikap sedemikian pulalah yang menjadi salah satu faktor yang menghantarkan seorang Syafi’i menjadi imam besar. Imam Syafi'i pun menghormati guru-gurunya yang lain, termasuk Sayyidah Nafisah.
Keteladanan Guru
Kita memang tidak cukup berharap tiba-tiba adab dan akhlak peserta didik itu menjadi baik. Kita butuh proses, pendampingan yang intensif dan konsisten serta keteladanan yang nyata dari guru. Saya teringat pepatah "guru kencing berdiri murid kencing berlari". Poin utama yang ditekankan dalam hal ini adalah kekuatan keteladanan. Keteladanan mengalahkan teori apapun. Hal ini mempunyai relevansi dengan pesan Imam Syafi'i kepada seorang alim yang hendak mengajar anak-anak seorang khalifah.
Imam Syafi'i pernah memberi nasihat kepada Imam Abu Abdish Shamad, gurunya anak-anak Khalifah Harun Al-Rasyid, "Ketahuilah, yang pertama kali harus kamu lakukan dalam mendidik anak-anak khalifah adalah memperbaiki dirimu sendiri. Karena, sejatinya paradigma mereka terikat oleh paradigma dirimu. Apa yang mereka pandang baik, adalah apa-apa yang kau lakukan. Dan, apa yang mereka pandang buruk, adalah apa-apa yang kau tinggalkan".
Rekrutmen calon guru - baik negeri maupun swasta - mestinya bukan hanya berdasarkan latarbelakang akademik semata (keahlian). Syarat moral mestinya menjadi syarat utama bagi calon pengajar. Sebab, mereka bukan hanya akan melakukan transfer ilmu, tetapi juga melakukan transfer nilai akhlak mulia. Akhlak akan terbangun dari keseluruhan pola interaksi yang terjadi. Dan, yang paling penting adalah pendidikan adab itu dimulai dari rumah tangga.
Catatan Akhir
Tradisi "madduppa barakka'" (Bugis) atau 'ngalap berkah' bukanlah sesuatu yang baru dan berasal dari pengaruh tradisi lokal sebagaimana dituduhkan sebagian pihak. Ini merupakan tradisi yang diwariskan oleh ulama secara turun temurun meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Para murid mesti paham ta'zhim penghormatan kepada guru bukanlah menyembah, bukan syirik. Ini soal adab sopan santun dan tata krama yang tidak terpisahkan dari pendidikan.
Perbaikan moral dan akhlak bangsa mesti dimulai dari perbaikan pendidikan. Para calon pendidik, selain butuh kompetensi intelektual, juga butuh kompetensi moral dan spiritual. Syarat moral dibutuhkan untuk pembangunan moral dan akhlak bangsa. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dilandasi nilai-nilai luhur hanya melahirkan sarjana yang minus akhlak. Otak kaya ilmu, namun hati yang kosong dari akhlak mulia. Wallahu a'lam bishsh-shawab.
Salam!
0 komentar