Oleh Muhammad Yusuf
15 abad atau 1400 tahunan silam, Nabi Muhammad Saw. membacakan Surat Al Ashr dihadapan publik.
وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ)“
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS.103.Al-Ashr: 1-3).
Ayat ini diwahyukan pada periode Mekkah. Surat ini menyebut satu dimensi masa yang sudah sangat familiar di kalangan masyarakat Arab Mekkah ketika itu. Ini menerangkan kebiasaan bangsa Arab di waktu sore hari, mereka sering duduk-duduk menghabiskan waktu tanpa manfaat dan tanpa ada aktifitas, tanpa mengingat akan adanya keberadaan Tuhan, tanpa berpikir adanya kehidupan akhirat. Mereka terbiasa "kongko-kongko" tanpa ada perbincangan penting dan bermanfaat.
Mereka hanya berleha-leha, bersantai santai, sambil mengobrol dan bergosip tentang urusan dunia, tentang kemegahan, kedudukan, kekayaan dan kemewahan hidup. Yang tak jarang mengakibatkan pertengkaran, muncul rasa iri dan permusuhan diantara mereka. Hingga tak menyadari waktu terus berjalan, tak menyadari hari memasuki rembang petang dan kemudian dengan cepat kegelapan malampun menyelimuti bumi. Kegelapan malam menyelimuti negeri mereka.
Mereka tak puas dengan waktu. Merasa kurang, merasa obrolannya belum tuntas, mereka lama lama menyalahkan waktu. Terutama waktu ashar yang terlalu cepat berlalu.
Tatkala Nabi Muhammad Saw. menghampiri mereka dan membacakan Surat Al-Ashr tersebut ke hadapan mereka, bukannya mereka sadar akan kekeliruannya, justru mereka kesal dan mencemooh Nabi Saw, menganggap sebagai pengganggu saja. Mereka tak butuh nasihat.
Bagaimana kalau kita tarik benang sejarah itu ke ruang kehidupan modern? Sikap manusia modern saat ini sepertinya tak berbeda jauh dengan sikap sikap umat jahiliyyah 1400 tahunan silam, hanya beda bentuk dan kondisi, yaitu larut oleh kerepotan hidup dan kesibukan urusan duniawi, melupakan pengabdian dan ibadah kepada-Nya. Bahkan saking sibuknya, seolah tak ada waktu untuk mengurusi keluarga, ibadahnya. Rumah seolah mirip dengan tempat penginapan. Keluar pagi fan balik tengah malam. Interaksi dengan keluarga inti hanya sedikit. Komunikasi tidak hangat karena lebih sering dengan alat teknologi informasi dan komunikasi.
Kita mencoba mentadabburi hakikat Surat Al-Ashr ini. Sebagaimana dengan surat-surat dan ayat-ayat dalam Al-Qur’an lainnya, maka tidak hanya cukup di maknai secara harfiahnya saja melainkan sangat luas dan padat dengan berbagai makna dan hakikat.
Redaksi surat Al-Ashr ini ber-genre lampau tetapi berplat form universal futuristic. Artinya, telah terjadi dan pasti akan terjadi (menemui /menyaksikan keadaan itu sepanjang zaman hingga di hari masa depan nanti). Dimensi waktu hanya yang lalu, kini, dan akan datang. Yang lalu jadi i'tibar, kini ada kenyataan, masa depan adalah bayangan. Kesempatanmu adalah hari ini. Yang akan datang belum tentu kesempatanmu (untuk berbuat baik).
Sedangkan dari plat form universal futuristic maknanya bahwa ayat ayat dalam Al-Ashr ini berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu atas alam kehidupan semesta (universal) yang berbeda tetapi bagi makhluk kehidupan ciptaan-Nya, bertahap akan memasuki (bertransformasi) ke arah sana (the future).
Ahli tafsir menerankan, bahwa itulah sebabnya surat Al-Ashr ini tidak dimulai dengan ayat : “Alladzina amanu…” (kepada orang orang yang beriman…)”, tetapi dimulai dengan redaksi, “Wal ‘Ashri…” (demi masa). Yang maknanya adalah bahwa dimensi ruang dan waktu alam kehidupan semesta ini telah dalam genggaman-Nya, telah di hitung-Nya, telah ditetapkan-Nya dan seluruh makhluk pasti akan menemui serta mengalami kejadiannya dimasa depan nanti.
Sebab Allah telah mengetahui keadaan demikian, maka Dia mengingatkan kepada manusia manusia yang masih tersisa di akhir zaman ini agar tidak mengalami nasib naas seperti umat-umat terdahulu. Dan dalam memberi peringatan itu, Allah tidak langsung berkata-kata dengan manusia secara langsung sebab tidak mungkin benda saling berbicara dengan bayangan di dalam cermin dan adalah manusia itu hanyalah merupakan “bayangan-Nya”. Dari perspektif sufistik, seluruh universe (alam semesta) termasuk manusia adalah tajalli Tuhan.
Oleh karena itu Allah mengadakan perantara/media, yakni terakhir melalui Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya yang terakhir untuk alam semesta. Dan ketika Nabi Muhammad Saw. kini telah tiada, maka Allah masih memiliki Muhammad lain yakni : Al-Qur’an yang kemudian diestafetkan kepada para pengikut-pengikut Muhammad, para pembaca qalam-Nya, para penebar kebenaran kebenaran-Nya dan para alim ulama yang kesemuanya itu merupakan Muhammad Muhammad lain dan Wali yang di hadirkan oleh Allah. Maka menjadilah kita Muhammad Muhammad-Nya yang mengingatkan pada manusia akan pentingnya memanfaatkan waktu dan kesempatan yang sangat singkat (di dunia).
Kemudian obyeknya adalah laku perbuatan yang bernilai Muhammad. Jangan kebalik, Muhammad hanya dijadikan obyek alasan untuk gontok gontokan mencari pembenaran. Itulah salah satu alasan mengapa sosok Nabi Muhammad Saw. tidak bergambar, tidak divisualisasikan dengan lukisan ataupun foto seperti manusia manusia agung lainnya.
Sebab ternyata sudah menjadi kecenderungan nafs khayal manusia, yang selalu berlebihan dalam mengagungkan benda materi hingga akhirnya lama kelamaan men-Tuhankan benda/materi, termasuk menuhankan manusia seperti umat-umat yang lain. Tuhan mengetahui keadaan ini dan sejarah telah membuktikan kenyataannya.
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Kalimat di atas juga ditemukan dalam salah satu puisi Khairil Anwar. Memang, dari sejak kita dibuaian hingga di atas keranda berjalan saat datang kematian. Senyum, tangis, suka, duka mewarnai hari hari kita. Dan saat hadir senyum dan suka ria mencumbui kita, maka manusia ingin hidup 1000 tahun lamanya. Namun saat seseorang frustasi kehilangan asa, serasa kita ingin memecat nyawa saat ini juga. Ingin menyudahi hidup (bunuh diri).
Kadang kita juga merasa begitu lama hidup di dunia, sejak kita dilahirkan hingga saat ini atau sampai tua nanti. Dan mungkin kadang kita merasa bahwa dunia ini sudah ada sejak lama dan manusia sudah ada sejak zaman purba hingga masa modern kini dan merasa kehidupan ini masih akan berlangsung lama.
Kita lebih beruntung apabila kita mengetahui rahasianya, mengapa Allah bersumpah demi masa ? Sebab sesungguhnya hidup dan umur manusia serta kehidupan panggung dunia ini sesungguhnya tak berlangsung lama, hanya sebentar saja, hanya dalam hitungan jam saja.
Mari kita singkap rahasia mengapa Allah bersumpah demi masa. Mari kita jabarkan teori relatifitas masa yang pernah dikemukakan oleh Albert Einstein, dan sesuai dengan surat Al-Ashr yang tersebut diatas.
Masa dunia dengan masa akhirat berbeda jauh akibat perbedaan dimensi ruang dan waktu. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dengan rumusan, salah satunya sebagai berikut :
1 hari akhirat setara dengan 1000 tahun waktu bumi. Ini disingkap melalui teks Al-Qur'an.
وَیَسۡتَعۡجِلُونَكَ بِٱلۡعَذَابِ وَلَن یُخۡلِفَ ٱللَّهُ وَعۡدَهُۥۚ وَإِنَّ یَوۡمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلۡفِ سَنَةࣲ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya SEHARI disisi Tuhanmu adalah seperti SERIBU TAHUN menurut perhitunganmu.” (QS.Al Hajj:47).
Berdasar ayat tersebut diatas, kita memperoleh suatu formula (yang mungkin sejalan dengan teori relatifitas) yang dapat dianalogikan sebagai berikut :
Yaitu dikenal dengan formula 1:1000 (satu banding seribu), atau 1 hari akhirat = 1000 tahun waktu bumi .
Jika 1 hari = 24 jam, maka :
1 hari (24 Jam) akhirat = 12.000 bulan waktu bumi atau 1000 tahun.
½ hari (12 jam) akhirat = 6.000 bulan waktu bumi atau 500 tahun.
¼ hari (6 jam) akhirat = 3.000 bulan waktu bumi atau 250 tahun.
1/8 hari (3 jam) akhirat = 1.500 bulan waktu bumi atau 125 tahun.
1/16 hari (1.5 jam) akhirat = 750 bulan waktu bumi atau 62.5 tahun
Maka apabila :
Menurut data sensus dunia, bahwa tingkat rata-rata harapan hidup manusia sekitar 62.5 – 70 tahun. Jika dikonversi dengan masa akhurat, maka :
62.5 (usia) X 12 bulan = 750 bulan atau 22.500 hari atau 540.000 jam,
= 540.000 : 22.500 = 24
= 24 : 16 = 1.5
Atau = 1/16 hari masa akherat.
(ternyata Al-Qur’an itu matematik loh).
Ini berarti, jika tingkat rata rata harapan hidup manusia sekitar 62.5 – 70 tahun, maka lamanya hidup manusia di dunia ini menurut waktu langit hanya dalam waktu 1,5 jam sampai dengan 1.7 jam saja !
Baik, sampai di sini cobalah renung dulu sejenak, jangan melanjutkan membaca. Kemudian cobalah buka lembar Al-Qur’an dan coba renungi kembali hakekat Surat Al-Ashr dalam-dalam, kemudian tengok surat QS. 23.Al-Mu’minuun:114.
قَـٰلَ إِن لَّبِثۡتُمۡ إِلَّا قَلِیلࣰاۖ لَّوۡ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Maka artinya, hidup manusia di dunia ini oleh Allah, hanya diberi waktu cuma 1.5 jam saja. Ini baru pada perhitungan surat Al-Ashr, belum jika di konvert dengan teori masa pada dimensi ruang dan waktu menurut planet akherat yang lainnya, seperti dalam formula surat : QS.70.Al-Ma’aarij :4, yang kadar masanya lebih jauh lagi yakni 1 hari sama dengan 50.000 tahun.
تَعۡرُجُ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَیۡهِ فِی یَوۡمࣲ كَانَ مِقۡدَارُهُۥ خَمۡسِینَ أَلۡفَ سَنَةࣲ
[Surat Al-Ma’arij 4]
Maka, pantas tidak jika Allah menurunkan ayat tersebut? Maka patut tidak jika Nabi Muhammad Saw. selalu mengingatkan kepada kita akan masalah waktu?
Pada artikel yang lalu saya sudah memaparkan negara negara dengan harapan hidup penduduknya tidak ada yang mencapai 100 tahun. Apalagi usia rata rata UU umat Rasulullah antara 60-70 tahun (dunia) yang ekuivalen dengan 1,5-1,7 jam saja dengan waktu di akhirat. Maka demi masa, manusia pasti rugi jika tidak beriman, tidak beramal saleh, tidak saling mengingatkan mengenai kesabaran dan kebenaran.
Bersambung pada Artikel selanjutnya..
***
Samata, 14 Januari 2021
Wallahu a'lam.
0 komentar