BLANTERORBITv102

    KEADILAN HUKUM UNTUK SEMUA, DIBUTUHKAN KETELADANAN PEMIMPIN ini

    Jumat, 29 Januari 2021

    Oleh Muhammad Yusuf, 

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Paccinnongan-Gowa, 28-02-2021

    I. Prolog

    Pada tulisan ini, saya tidak mencantumkan teks ayat, hanya nama surah dan nomor ayat untuk memandu pembaca mengecek lebih lanjut ayat-ayat tersebut. Karena tulisan ini mungkin terasa panjang, dan jika lelah membacanya sekaligus, maka Anda boleh mencicilnya dua atau tiga kali untuk membacanya. 

    Pada materi yang lalu, saya sudah menyampaikan satu hadis yang relevan dengan subtema tentang keteladanan pemimpin dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Kali ini kita kembali mereview hadis yang menunjukkan pentingnya pemimpin untuk menjadi teladan dalam penegakan hukum yang berkeadilan. 

    Kisah tentang keteladanan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam penegakan hukum. Hakim Agung pada pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan keberanian dan keadilan yang tidak pandang bulu. Keadilan memang seharusnya dimulai kepada pemimpin untuk menunjukkan bahwa hukum merupakan panglima tertinggi dalam sebuah negara hukum.

    II. Pemimpin yang adil

    Berdasarkan riwayat (hadis), diperoleh matan hadis tentang tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah pada hari kiamat dimana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Pemimpin yang adalah menempati posisi pertama dari tujuh golongan tersebut. Hadis dimaksud sebagai berikut:

    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

    "Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Saw. , Beliau Saw. bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam/pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya".

    Pada kajian sebelumnya, kita sudah mendapatkan penjelasan mengenai takhrij al-hadis, fiqh al-hadits, dan Syarh al-hadits, atau naqd al-hadits (analisis terhadap sanad dan matan serta sabab al-wurud). Pada tulisan ini, saya tidak mengulangi lagi analisis-analisis tersebut. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk melihat dari segi urgensinya seorang pemimpin untuk berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kesetaraan manusia di depan hukum. Hadis di atas menunjukkan tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah pada hari kiamat. Dati ketujuh golongan itu, menempatkan pemimpin yang adil berada pada posisi pertama.

    III. Penjelasan

    Dari beberapa hadis yang juga sama dengan tuntunan Al-Qur'an, hukum yang berkeadilan berlaku untuk semua. Sehingga, tidak ada pihak yang kebal hukum. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat biasa dan pejabat negara, kawan maupun lawan politik, itu sama kedudukannya di mata hukum. Pihak yang mengkritisi kebijakan dan pihak yang memujinya dan mendukung sama saja di depan hukum. Di saat itulah, penegakan hukum benar-benar teruji tatkala penegak hukum mengadili pihak oposisi atau lawan politik penguasa. Hal ini tegas dalam Al-Qur'an Surah al-Maidah ayat 8:

    "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan'".

    Penegak hukum tidak boleh memutuskan berdasarkan kebencian. Dalam menegakkan hukum, penegak hukum hanya berpihak pada keadilan dan kebenaran, bukan pada pribadi atau golongan. Membuat keputusan hukum semata-mata mengharap ridho Allah. Ia mesti memutuskan dengan didukung alat bukti yang cukup, kuat, dan akurat. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan sahabat beliau. Pernah beliau dengan tegas menolak ajakan berkompromi dan bersekongkol dalam ketidakadilan dengan pembesar Yahudi ketika ada anak pembesar yang melakukan pencarian. Hukum potong tangan mesti ditegakkan kepada siapapun apabila terbukti dan terpenuhi syaratnya tindak pencurian. 

    IY. Keteladanan Khalifah Ali bin Abi Thalib

    Begitu juga sahabat beliau, Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjabat sebagai Khalifah. Simak kisahnya berikut ini! Pada zaman khulafaur- rasyidin, keadaan rakyat cukup baik. Baik kaum Muslim maupun kafir dzimmi, menerima kepemimpinan yang adil. Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin yang terakhir pada masa ini.

    Pada era Khalifah Ali, pusat kekuasaan Islam dipindahkan dari Madinah ke Kufah (Irak). Adalah suatu kebiasaan Ali, yakni gemar mengetuk pintu rumah-rumah yang dijumpainya dalam perjalanan menuju masjid menjelang subuh.

    Suatu kali, Ali melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara. Tiba-tiba, Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Keponakan Rasulullah Muhammad Saw. itu pun menghampirinya.
    Dia memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, Ali merasa yakin bahwa benda itu miliknya.

    Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah. "Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?" tanya Ali. "Baik-baik saja, wahai khalifah," jawab si Yahudi ini.

    Ali kemudian menunjuk pada baju perang yang sedang dijemur. "Aku melihat ada baju perang di depan rumahmu. Apakah itu kepunyaan Anda?" selidik Ali.
    "Kan, baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja baju perang itu punyaku," terang pria Yahudi itu.

    "Tapi aku yakin baju ini milikku," tegas Ali lagi. Sahabat Nabi Saw. itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut. Akan tetapi  orang Yahudi itu toh tetap bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.

    Singkat cerita, sampailah keduanya di gedung pengadilan. Khalifah Ali masuk, diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah. Dan, begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa. "Wahai khalifah, silakan mengantre," kata hakim. Khalifah Ali pun menuju ke barisan antrean dari yang paling belakang. Beberapa lama kemudian, dia pun bisa mendaftarkan perkaranya.

    Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, apa pokok persoalannya. Begini Pak Hakim yang mulia: "Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaan aku," terang Ali.

    Setelah mendengarkan dengan seksama, maka selanjutnya hakim bertanya: "Bagaimana menurut engkau?" tanya sang hakim kepada si Yahudi. Dia menjawab pertanyaan hakim kepadanya: "Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku tegaskan bahwa baju perang itu adalah milikku," 

    Selanjutnya, hakim mengajukan pertanyaan: "Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?" tanya Hakim kepada Khalifah Ali.

    Beliau menjawab sejujurnya: "Yang tahu bahwa baju itu kepunyaan aku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku," ujar Ali.

    Hakim pun menegaskan: "Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama ini, kesaksian anak atas orang tuanya--atau orang tua atas anaknya--tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari para saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istri engkau. Sementara, hukum agama ini mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh (diganti menjadi) satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?" tanya Hakim.

    Demi keadilan, Ali sejenak berpikir dan kemudian berkata, "Tidak ada wahai Hakim yang mulia.". Atas jawaban Ali tersebut, maka sang hakim mengetok palu. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si Yahudi. Sidang pun selesai.

    Kebetulan, sidang tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka, sang hakim pun turun dari kursi kebesarannya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali. Meski tetap cinta dan hormat kepada Ali, sang hakim memutuskan berdasarkan prosedur pengadilan dan alat bukti.

    Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, sementara si Yahudi tadi berdiri kebingungan. Dia bingung, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami sistem dan akhlak kepemimpinan yang adil seperti itu. 

    Yahudi tadi pun berlari menyusul Khalifah Ali dan sang hakim. "Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!". "Ada apa?" tanya Ali keheranan. "Apakah sudah selesai pengadilan ini?" tanya dia. "Tentu saja. Baju itu milikmu, meski aku yakin betul baju itu milikku. Tetapi hukum sudah memutuskan, ya sudah," jelas Ali yang disaksikan sang hakim. 

    "Sungguh, wahai Khalifah. Baju perang ini adalah milikmu. Aku mencurinya dua hari yang lalu," terangnya kemudian. "Mengapa tidak engkau ungkapkan itu di pengadilan?" tanya sang hakim.

    Orang Yahudi itu lantas menuturkan, sejak awal dia terus memperhatikan. Hingga akhirnya dia menyadari, betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Dan, sebagai orang yang lama tinggal di Irak, si yahudi dan kaumnya terbiasa dengan perilaku yang sewenang-wenang dan ketidakadilan dari penguasa dan negara.

    Dia menuturkan, seandainya berperkara dengan raja dari kalangan terdahulu--sebelum Islam masuk ke Irak--maka bisa saja baju tadi atau apa pun yang dimilikinya direbut secara paksa oleh penguasa. Sebab, rakyat sudah dibuat tak berkutik, apalagi masyarakat yang dari kalangan tidak seiman dengan raja.

    Namun, Ali ternyata tidak begitu. Sebagai khalifah, Ali justru mengajaknya ke pengadilan. Sesampainya di gedung pengadilan, dia menyaksikan sendiri Ali diperlakukan biasa saja, padahal jelas-jelas Ali seorang khalifah. Tetap saja Ali mengantre sebagaimana masyarakat umumnya. Itu tidak mungkin terjadi pada era sebelum kedatangan Islam. Si Yahudi mengungkapkan, para hakim dan aparat saat itu mesti taat sebagai bawahan raja. Mereka pasti mengistimewakan raja di atas orang-orang biasa.BSi Yahudi itu lebih kaget lagi ketika tadi Hakim menolak kesaksian Ali. 

    Dia baru tahu, dalam hukum Islam, kesaksian diatur sedemikian rinci untuk memastikan keadilan ditegakkan. Dalam Islam, tidak bisa seorang anak menjadi saksi atas orang tuanya. Karena itu, Ali tidak mampu menghadirkan saksi-saksi lain yang diminta, sehingga keterangan sang khalifah pun tertolak.

    Akhirnya, keteladanan Khalifah dalam penegakan hukum yang berkeadilan "Maka saksikanlah oleh Tuan-tuan sekalian, asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasuulullah," kata pria itu. Khalifah Ali dan sang hakim pun bertakbir.  Hal itu membuktikan bahwa keadilan adalah kebenaran, kekuatan, dan kebuthan universal.

    Buya Hamka berkata, "Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian.". Ali bin Abi Thalib telah membuktikan kalimat in.

    IV. Keadilan untuk Semua

    Dari kisah tersebut, Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin yang taat pada hukum Allah meskipun terhadap diri beliau sebagaimana firman Allah pada Surat An-Nisa ayat 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu...".

    Bagi kalangan muslim yang berprofesi sebagai hakim, Al-Quran juga memberikan haluan. Meskipun, mungkin ada perbedaan soal tafsirannya, namun, secara umum, beberapa ayat Al-Quran telah menunjukkan beberapa prinsip penting. Hakim dan Khalifah membuktikan bahwa hukum harus ditegakkan meskipun terhadap diri, penguasa, ataupun orang lain, apapun keadaan dan latarbelakang mereka.

    Setelah Anda menyimak kisah luar biasa di atas, selanjutnya saya mengajak Anda untuk membaca dan mendalami ayat-ayat Al-Qur'an yang menuntun kepada kita mengenai prinsip-prinsip penegakan hukum yang berkeadilan.

    Pertama, berlaku adil. Berlaku adil adalah perintah Allah. Jelas, bahwa ini adalah perintah Allah. Karena itu, jika kita tidak berlaku adil, itu menyalahi perintah Allah dan kita berdosa.

    Disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 58, yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(Q.S An-Nisa: 58)

    Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk berlaku adil. Misalnya, Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 42 dan Al-Quran Surat An-Nahl ayat 90. Kedua ayat ini senada dengan ayat di atas.

    Kedua, Tidak pandang bulu atau pilih kasih dan tidak tebang pilih. Berlaku adil itu pada semua orang. Meskipun terhadap kerabat, jika salah harus dikatakan salah. Tanpa pandang bulu, apakah itu terhadap orang kaya atau orang miskin. Tidak boleh pandang bulu. Ini juga perintah Allah.

    Disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 135 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan untuk menjadi saksi, maka ketahuilah bahwa Allah Maha teliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Q.S An-Nisa: 135)

    Ketiga, mengadili tanpa kebencian. Perasaan benci ataupun cinta tidak boleh memengaruhi pengambilan keputusan hukum. Dalam mengadili suatu perkara, kita dan khususnya hakim, tidak boleh mengadili berdasarkan kebencian. Kebencian terhadap salah satu pihak atau kedua pihak. Sehingga, hakim memberikan hukuman lebih berat dari yang seharusnya. Atau sebaliknya, menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari yang seharusnya. Tidak mengadili berdasarkan kebencian, ini juga perintah Allah dalam Al-Quran.

    Disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Maidah: 8)

    Keempat, tidak mengikuti hawa nafsu. Poin ini sesungguhnya merangkum semua prinsip di atas. Hawa nafsu itu kecenderungan diri. Kemauan kita sebagai seorang manusia. Sebagai manusia, tentu kita ingin yang macam-macam. Dan, keinginan semacam ini akan menyesatkan. Ini tidak diperbolehkan.

    Dalam Al-Quran Surat Shad ayat 26 disebutkan yang artinya, “Wahai Dawud, Sesungguhnya engkau Kami jadikan sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia secara adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat disebabkan karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S Shad: 26)

    Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat lain yang melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu. Terlebih lagi dalam mengadili perkara. Kita tidak boleh mengadili berdasarkan hawa nafsu. Bahkan dalam banyak hal, kita tidak boleh menuruti hawa nafsu. Kita harus melihat aturan syariat, dan juga aturan hukum yang berlaku.

    Jadi, sekali lagi, berlaku adil, tidak pandang bulu, mengadili tanpa kebencian, dan tidak mengikuti hawa nafsu. Paling tidak, empat hal itu adalah prinsip-prinsip penting yang harus dipegang teguh oleh kalangan Muslim yang berprofesi sebagai penegak keadilan. Itu adalah pesan Al-Quran. Pesan-pesan Allah yang terdokumentasi dalam kitab suci. Dan sebagai seorang Muslim, terlebih lagi berprofesi 

    Bagaimana dengan konteks penegakan hukum di Indonesia? UUD 1945 menjamin tegaknya hukum yang berkeadilan kepada seluruh warga negara. Dalam konstitusi Indonesia dengan tegas memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

    Keteladanan pemimpin dan keadilan penegak hukum adalah impian semua orang. Keadilan merupakan kebenaran universal dan kebutuhan yang menjadi hak azasi bagi setiap manusia. Orang yang terhukum pun akan sadar bahwa atas dasar keadilan ia menerima. Orang yang dimenangkan pun menolak menerima kemenangan jika tidak atas dasar keadilan. Kasus Khalifah Ali bin Abi Thalib dan seorang Yahudi adalah contohnya. Justru, keteladanan ini memiliki keagungan menjadikan orang yang keras kepala dan keras hati menjadi luluh dan menerima Islam.

    Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata bahwa Nabi Saw. pernah berkhutbah dan menyampaikan,

    أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

    “Amma ba’du: Sesungguhnya keadaan telah membinasakan umat sebelum kalian, yaitu ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman hadd. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 4304 dan Muslim no. 1688).

    Hadis ini sama sekali tidak bermaksud menunjukkan bahwa Puteri beliau (Fatimah) itu mencuri, beliau suci. Pesan moral hadis itu sesungguhnya adalah, prinsip penegakan hukum tidak tebang pilih, tidak ada yang kebal hukum, mata hukum tidak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Penegasan Nabi Saw. menunjukkan persamaan manusia di depan hukum.

    Dari Abu Hurairah, Nabi Saw. bersabda,

    لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

    “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong, begitu pula mencuri tali lalu tangannya dipotong.” (HR. Bukhari no. 6783 dan Muslim no. 1687)

    Pencuri yang dikenakan hukum potong tangan adalah yang sudah mukallaf yaitu baligh (dewasa) dan berakal (tidak gila atau hilang ingatan). Juga hukum potong tangan dikenakan bagi orang yang mengambil barang dengan tujuan untuk dimiliki. Begitu pula pencuri mengambilnya dalam keadaan darurat atau butuh. Begitu pula barang yang dicuri adalah barang bernilai (berharga). 

    Lalu, bagaimana dengan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara atau pejabat publik di Indonesia? Pertanyaan ini akan dibincangkan pada kesempatan yang lain, mengingat tulisan ini sudah cukup panjang. Namun, pesan moral utama yang hendak disampaikan adalah, jika sebuah negeri yang mendambakan kesejahteraan sosial maka keadilan sosial dan keadilan hukum mesti juga diwujudkan oleh para penguasa. Kesejahteraan dan kemakmuran akan terwujud bersamaan dengan tegaknya keadilan hukum dan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Sebaliknya, kehancuran sebuah negeri apabila hukum tidak tegak, bahkan apabila hukum dapat dibeli. 

    V. Epilog

    Keadilan merupakan ajaran Islam yang amat mendasar dalam Islam. Bahkan bukan hanya dalam Islam. Dalam semua agama samawi hingga kearifan budaya-budaya lokal juga selalu menempatkan keadilan sebagai nilai-nilai utama yang dianut dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu, keadilan mesti ditegakkan untuk semua, tanpa tebang pilih dan pandang bulu. Bahkan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, kerabat, dan lainnya. Keadilan ditegakkan atas dasar iman dan taqwa, bukan atas dasar kebencian. Dalam menegakkan hukum yang berkeadilan, pemimpin (pemerintah) mesti menjadi teladan. 

    Salam nalar kritis!