Samata, 21/2021
Oleh Muhammad Yusuf, Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Ada beberapa pandangan yang melihat bahwa ekstremisme, radikalisme, dan terorisme muncul sebagai protes atas ketidakadilan. Di sisi lain, kemunculannya dianggap mengganggu dan bahkan menjadi ancaman. Memang mestinya tidak perlu ada itu semua. Kita tentu sepakat jika suasana aman dan damai. Semua merindukan kesejahteraan dan keadilan itu yang terasa ada selalu.
Apa sesungguhnya ekstremisme? s Secara harfiah ekstrimisme bermakna "kualitas atau keadaan yang ekstrem" atau "advokasi ukuran atau pandangan ekstrem". Kini, istilah tersebut banyak dipakai dalam esensi politik atau agama, yang mengacu kepada ideologi yang menggunakan istilah ini atau beberapa orang yang mematuhi konsensus sosial) berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. Namun, ekstremisme juga dipakai dalam diskursus ekonomi.
Pemahaman tersebut dapat dijadikan acuan dalam menyoal tentang ekstrimisme yang sedang ramai dibincangkan beberapa hari terakhir. Dari perspektif akademik, ini layak dipertanyakan tujuan penerbitan suatu Peraturan Presiden tentang ekstrimisme. Perlukah ekstrimisme biru diatur? Ataukah dapat dibeli tunai dengan kesejahteraan sosial, keadilan sosial dan keadilan hukum? Perlu disadari bahwa amanat konstitusi yaitu tujuan negara mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Apalagi wakil rakyat yang memang memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak berpendapat yang bertujuan melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dan pelaksanaan UU sangat wajar dan memang seharusnya memberikan masukan kepada Pemerintah. Banyak pakar yang mempertanyakan motif Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024. Terkait hal itu antara lain, seperti Sukamta yang memberikan beberapa catatan kritis terkait adanya Perpres tersebut.
Pertama, beliau mempertanyakan “Apa motif pemerintah melahirkan Perpres tentang esktremisme ini? Padahal sudah ada UU Terorisme yang dipergunakan untuk memberantas teroris. Apakah perpres ini benar-benar menyasar pencegahan tindakan terorisme atau punya motif lain.
Kedua, tafsir pemerintah terkait multitafsir ekstremisme. Menurut dia, tafsir ekstremisme versi pemerintah tersebut berbahaya bagi keadilan hukum dan iklim demokrasi. "Pemerintah membuat tafsir sendiri mengenai ekstrimisme yang tidak jelas bentuk dan ukurannya. Sehingga, dalam tataran teknis menjadi multitafsir. Misalnya, ada laporan dari masyarakat tentang kejadian ekstremisme kepada kepolisian terhadap orang atau kelompok dengan keyakinan tertentu yang dianggap mendukung ekstrimisme kekerasan. Polisi pun berpotensi akan menafsirkan laporan secara subjektif. Makna ekstrimisme menjadi multitafsir bahkan menjadi ambigu.
Menurutnya, jika pemerintah serius ingin memberantas terorisme, ia menyarankan agar pemerintah mempergunakan Undang-Undang Terorisme. Sebab selama ini UU Terorisme hanya dipergunakan untuk mengadili pelaku teroris dengan baju agama Islam. Perpres tersebut dinilai bukan benar-benar bertujuan memberantas ektremisme kekerasan mengarah ke terorisme.
Diketahui Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024. Perpres yang ditandatangani pada 6 Januari ini bertujuan untuk mencegah ancaman ekstremisme berbasis kekerasan dan mengarah pada aksi terorisme di Indonesia.
"Bahwa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan," Demikian bunyi pertimbangan dalam Perpres ini.
Dalam sistem demokrasi, negara tak perlu sibuk dengan upaya menyeragamkan paham dan pendapat. Justru, negara harus terbiasa dan terbuka dengan keragaman dengan menghargai, melindungi, dan memenuhi kepentingan rakyat. Paham masyarakat tidak bisa dikontrol. Yang bisa dilakukan adalah membuka ruang komunikasi dan dialog beradab antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk ormas. Jika suatu ideologi dinilai berbahaya bagi keutuhan NKRI maka rakyat Indonesia sendiri yang akan berhadapan. Apalagi kalau pemerintah bekerja mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tugas utama pemerintah (negara) adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia. Jika negara berhasil mendistribusi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia akan merawat NKRI, sebab itulah tujuan bernegara. Jika negara gagal mewujudkan keadilan sosial maka negara akan terus-menerus menuduh penyebab. Oleh karena itu, perlu diuji, apakah ekstrimisme itu sebagai sebab ataukah ekstrimisme lahir sebagai akibat kegagalan negara menghadirkan kesejahteraan dan keadilan? Sudah pasti, menjaga NKRI itu adalah amanat konstitusi sebagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia itu juga merupakan amanat konstitusi. Dan, negara hadir untuk tujuan tersebut.
Mencegah ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, "yes", sampai di situ pasti kita sepakat. Akan tetapi berapapun UU dan peraturan untuk mencegahnya, akan tetap bermasalah sampai negara hadir mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial. Jika negara gagal mendistribusi kesejahteraan dan keadilan sosial maka potensi selalu ada. Apalagi jika ruang komunikasi tertutup. Saya yakin itu disadari semua, meski tidak semua lantas terwujud.
Rakyat akan menuntut apabila negara gagal melaksanakan amanat konstitusi. Sebaliknya, Negara akan mengidentifikasi rakyat makar terhadap negara. Karena itu, perlu dibuka komunikasi agar rakyat tidak benci kepada pemerintah dan pemerintah pun hadir untuk melayani dan mewujudkan kepentingan warga negara. Kita mendorong pemerintah untuk fokus bekerja mewujudkan amanat konstitusi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Pemerintah mestinya fokus melaksanakan agenda reformasi memberantas korupsi, kolusi, dan Nepotisme (KKN). Memastikan tegaknya hak azasi manusia dan tegak hukum yang berkeadilan. Sebagian masyarakat Indonesia masih percaya pemerintah memiliki komitmen untuk mewujudkan agenda reformasi tersebut. Meski ini mesti dikontrol oleh oposisi bersama rakyat untuk menjaga keseimbangan.
Sayangnya, dana bansos yang merupakan hak rakyat miskin dikorupsi oleh menterinya sendiri tatkala rakyat sangat membutuhkan, apalagi saat Pandemi covid-19. Uang BPJS diduga dikorupsi hingga 43 triliun oleh pejabatnya, dan kasus tipikor lainnya. Ini mesti diberantas agar rakyat Indonesia tau dan percaya bahwa negara masih ada untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan hadirnya keadilan dan kesejahteraan, mak ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tidak pernah hadir dalam tindakan. Keluarga, lembaga pendidikan, ormas, dan akan bersama-sama pemerintah akan mencegah ekstremisme dan radikalisme serta terorisme jika pemerintah berhasil mengakrabkan rakyat dengan negaranya sendiri.
Justru, tindakan ekstrem negara yang melampaui kewajaran, berupa korupsi bansos, dugaan korupsi dana BPJS, dan lainnya yang dilakukan oleh pejabat negara ini jauh lebih ekstrem dan lebih radikal. jumlah hutang yang sudah pada batas ekstrem kata sebagian pakar ekonomi.Bahkan, ada pandangan yang mengatakan bahwa cara pandang negara lah terhadap masalah yang sudah radikal.
Dari ruang akademik kita mencerdaskan kehidupan bangsa. Salam nalar kritis!
0 komentar