BLANTERORBITv102

    Antara Panggung Politik dan Vaksin Covid-19

    Rabu, 20 Januari 2021


     ANTARA PANGGUNG POLITIK DAN VAKSIN COVID-19

    Samata, 20/1/2021

    Oleh Muhammad Yusuf,  Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Dewasa ini masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia, khususnya diselimuti kecemasan, karena penularan wabah covid-19 semakin massif. Sementara penanganannya dengan vaksin juga menimbulkan keraguan dan ketakutan terhadap masyarakat masyarakat. Mereka ragu karena belum ada bukti vaksin itu efektif atau tidak. Tidak saja ragu, bahkan mereka diliputi oleh ketakutan. Mereka ketakutan karena takut jangan sampai vaksin itu berakibat lebih buruk. Pro dan kontra soal vaksin masih terjadi.

    Bahkan, akibat protes menohok dari legislator membuat ambiguitas semakin menjadi-jadi. Dan, akibat  lontaran kritik itu pula, Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning dirotasi dari Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan ke Komisi VII yang membidangi masalah energi. 

    Peristiwa tersebut tergambar dalam surat Fraksi PDIP DPR bernomor 04 / F-PDIP / DPR-RI / 2022, terkait perubahan penugasan di Alat Kelengkapan Dewan dan pengelolaan kepada pimpinan DPR RI. Dan, surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, pada 18 Januari 2021.

    Memang ini mengundang tanda tanya, karena selama empat periode Ribka tidak pernah meninggalkan Komisi IX. Sebelum digeser, Ribka mengeluarkan pernyataan menohok yang terkait vaksin yang berseberangan dengan rekan separtainya bahkan dengan kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.

    Ribka Tjiptaning menegaskan:  "Kalau masalah vaksin, saya tetap tidak mau divaksin, mau pun sampai yang 63 tahun bisa divaksin. Saya sudah 63 nih, mau semua usia boleh tetap (saya tolak). Misalnya saya hidup di DKI, semua anak cucu saya dapat mencegah Rp 5 juta bayar saya bayar, saya jual mobil kek, "kata Ribka di Ruang Rapat Komisi IX DPR, Senayan, Jakarta saat rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.Ini menarik perhatian karena beberapa pertimbangan.

    Pertama, ia adalah kader PDIP, satu kendaraan dengan presiden Jokowi yang teridentifikasi sebagai anak eks aktivis PKI. Sedangkan pernyataan tersebut disampaikan secara terbuka sehari sebelum vaksinasi serentak dimulai dengan Presiden Jokowi yang mengawali. Sebagai keturunan eks PKI, ia pernah menulis satu buku bertajuk "Aku Bangga jadi Anak PKI" yang memantik kontroversi dan kemarahan para anti PKI. Tapi kritiknya seolah benar-benar membela kepentingan rakyat banyak.

    Kedua, ia sudah empat periode berada di komisi X DPR-RI yang membidangi kesehatan dan ia memang berlatarbelakang sebagai dokter. Dua kapasitas ini (legislator di komisi IX dan sebagai seorang dokter)  mendukung dirinya jika ia berbicara. Sebagai wakil rakyat, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:

    1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

    2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang / kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan undangan-undangan.

    3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden melakukan hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden .

    Sebenarnya, soal rotasi di DPR itu merupakan sebuah peristiwa yang sangat lazim dan biasa. Akan tetapi, publik mencoba menarik argumen mengapa ia digeser ketika dia menggunakan haknya sebagai anggota dewan dalam menjalankan fungsi pengawasan, terutama ketika mengkritik kebijakan pemerintah. Apalagi rotasi terjadi tidak berselang lama dengan kritik yang dilontarkan terkait vaksin.

    Kritik yang terkesan memojokkan pihak istana tentu menimbulkan multitafsir. Influenzers dan buzers pada bingung, kan? Dari perspektif ilmu komunikasi politik, sebagian pakar menilai, - di antaranya Arqam Azikin - bahwa Ribka Tjiptaning sedang mencari panggung politik untuk periode berikutnya. Itu karena ia merasa sudah mendapatkan tekanan dan penolakan dari masyarakat anti PKI. Bahkan pihak, baik tokoh, individu, ormas yang bersuara tidak menolaknya, terutama dari kalangan muslim dan ormas Islam akibat teridentifikasi dirinya sebagai keturunan mantan aktivis PKI.

    Bisa dilihat ketika ia dan atas nama sebagian besar menolak untuk divaksin. Dan ia siap membayar jika harus membayar denda. Kalau jual perlu mobilnya. Kalimat itu tentu menunjukkan bahwa ia sedang membela kepentingan pribadi dan keluarganya. Sebab, kalau untuk rakyat, itu tidak mungkin. Sebab, rakyat banyak yang tidak mampu membayar sampai 5 juta seperti Ribka Tjiptaning. Boro-boro bayar 5 juta / orang, memenuhi kebutuhan makan saja susah, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Mungkin memang benar, ia sedang mencari panggung politik seperti kata pengamat, Arqam Azikin, Dosen Unismuh Makassar itu. Dan dari perspektif itu tidak ada yang salah. Hanya saja terlalu dini. Lebih fokus bekerja dengan baik.

    Intinya, jangan latah, mahasiswa. Ini semua politik yang harus segera dilihat dari perspektif yang tepat. Karena sebuah permainan politik, sehingga wajar kalau pemberi pengaruh dan buzers mempertimbangkan masyarakat agar mengikuti pemerintah atau beroposisi terhadap penguasa. Hasilnya = menakutkan dan menakutkan. Harus Disebut "No Justice No Trust". Panggung sandiwara politik sedang melebar. Meski 2024 masih lama, tapi uji coba sudah terjadi. Para akademisi, tidak perlu baper, yo jadi penonton yang cerdas kritis! Sambil menyaksikan apa yang sedang terjadi, kita semua tetap menaati protokol kesehatan dan berdoa selalu. Semoga kita semua selama!